Cerita Kemanusiaan Seharusnya Tidak Menyesatkan
Manusia gemar bercerita, tak hanya melalui tuturan atau tulisan, melainkan juga lewat kehidupannya sendiri. Namun, sepanjang sejarah manusia, hoaks atau kabar bohong selalu menghantui.
”Livet er det dejligste Eventyr. Life itself is the most wonderful fairy tale.”
Hidup adalah petualangan terbaik. Hidup merupakan dongeng yang paling indah. Pesan dalam bahasa Denmark (Danish) dan bahasa Inggris itu menjadi salam perpisahan bagi siapa pun yang mengunjungi Rumah Dongeng (Eventyrhuset) Hans Christian (HC) Andersen (1805-1875) di Kopenhagen, Denmark. Hidup HC Andersen, pendongeng asal Denmark itu, memang seperti dongeng, penuh warna.
Pesan itu menegaskan pula bahwa manusia sesungguhnya adalah makhluk yang gemar bercerita, tak hanya melalui tuturan atau tulisan, melainkan juga lewat kehidupannya sendiri. Impian oleh seseorang, dibangun, dan coba diwujudkan lewat berbagai tahapan, adalah cerita yang bisa menarik bagi orang lain.
Ada inspirasi di dalamnya, tetapi pada saat yang sama, mungkin juga ada kekonyolan, yang bisa mengundang gelak tawa. Beragam, seperti panggung kehidupan, yang hidup serta menghidupi kisah manusia dan kemanusiaannya.
God Bless, kelompok musik Rock di negeri ini pada 1977 pun memopulerkan hidup yang bagaikan ”Panggung Sandiwara” itu, melalui lagu karya Ian Antono dan Taufik Ismail:
Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah ber- ubah. Kisah Mahabratha atau tragedi dari Yunani.
Setiap kita dapat satu peranan, yang harus kita ma- inkan. Ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura.
Mengapa kita bersandiwara...?
Manusia adalah makhluk pencerita. Hidup menjadi cerita. Demikianlah pesan pimpinan umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus pada perayaan hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54, yang tahun ini bertepatan dengan hari Minggu (24/5/2020). Komunikasi sosial menjadi bagian penting dalam dokumen Dekret Konsili Vatikan II (1963), yang berjudul ”Inter Mirifica”, yang berarti di antara yang mengagumkan. Komunikasi sosial menjadi penting di antara temuan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi yang memang mengagumkan.
Hari Komunikasi Sosial Sedunia pun diperingati setiap tahun secara internasional. Warga dunia diingatkan pentingnya berkomunikasi secara benar untuk membangun peradaban. Kehidupan manusia yang baik bisa dibangun melalui komunikasi yang baik dan informasi yang benar, serta bukan informasi bohong (hoaks) atau ujaran kebencian.
Kehidupan manusia yang baik bisa dibangun melalui komunikasi yang baik dan informasi yang benar.
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya, Yoyon Mudjiono melalui Jurnal Ilmu Komunikasi Nomor 1, April 2012 merumus- kan komunikasi sosial ”setidaknya mengisyaratkan berkomunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kepentingan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Lewat komunikasi kita bisa bekerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Orang yang tak pernah berkomunikasi dengan manusia (lain), bisa dipastikan akan tersesat karena ia tidak berkesempatan menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial”.
”Saya ingin mengkhususkan pesan tahun ini pada tema ”Cerita”. Saya yakin, kita perlu menghirup kebenaran dari cerita-cerita yang baik supaya tidak tersesat. Itulah cerita yang membangun, bukan menghancurkan; cerita yang membantu menemukan kembali akar dan kekuatan untuk bergerak bersama,” ingat Paus Fransiskus.
Manusia adalah makhluk pencerita, karena ia makhluk yang berkembang, yang menemukan siapa dirinya. Ia juga diperkaya oleh berbagai cerita dalam hari-hari. Namun, Paus Fransiskus menegaskan, sejak awal mula cerita kita telah mendapatkan ancaman dari si jahat, yang meliuk-liuk sepanjang sejarah. Cerita yang dimanfaatkan untuk tujuan kekuasaan akan berumur pendek. Cerita baik bisa melampaui batas ruang dan waktu.
Sayangnya, seperti dipaparkan Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) M Harry Sulistyo Pr, setiap hari sekurang-kurangnya sejuta kata, yang terangkai menjadi cerita, masuk dalam otak manusia. Namun, mengutip sebuah survei, kata yang paling banyak masuk dalam pikiran manusia itu, adalah yang terkait dengan kekecewaan atau patah hati dan ujaran kebencian. Barulah kata yang terkait dengan cinta pada urutan ketiga terbanyak diterima pikiran manusia.
Gelombang cerita bohong
Hidup adalah cerita, dan otak manusia lebih banyak menerima kata yang mengecewakan serta ujaran kebencian tampaknya sudah dipahami manusia sejak lama. Joseph Goebbels (1897-1945), Menteri Propaganda di masa Adolf Hitler (Nazi) pun mengungkapkan, ”If you repeat a lie often enough, people will believe it, and you will even come to believe it yourself.” Kebohongan jikalau disampaikan berulang-ulang, orang akan memercayai, dan Anda juga akan memercayainya (Kompas, 27/3/2019).
Pernyataan Goebbels lebih dari 70 tahun lalu itu kini terasa relevan dengan semakin berkembangnya hoaks dalam kehidupan masyarakat. Hoaks, yang pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2017) diartikan sebagai ’berita bohong’, tak hanya menyebar di Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Kabar bohong tak hanya memperdaya masyarakat, tetapi juga mengguncangkan pemerintahan dan memecah belah rakyat di sejumlah negara. Warga dunia pun geram terhadap hoaks.
Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, saat lebih dari 5,53 juta orang di 213 negara atau kawasan di dunia terpapar virus korona baru, dengan 347.192 orang meninggal, seperti dilaporkan Worldometer.info, Senin (25/5/2020), cerita bohong tetap bertebaran. Di Indonesia, data Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Senin, memperlihatkan ada 22.750 kasus positif Covid-19, dengan 1.391 orang meninggal. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga 5 Mei lalu ditemukan 1.401 konten hoaks dan disinformasi Covid-19 beredar di masyarakat. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menegaskan, kabar bohong itu bisa menyesatkan masyarakat.
Hoaks oleh sebagian orang dianggap sebagai bagian budaya post-truth. ”Kebenaran” cuma diukur dari keberulangan (viral) sebuah informasi. Pengelola media sosial, seperti Facebook dan Twitter, serta pengelola media percakapan publik, Whatsapp, pun ramai-ramai melawan hoaks, antara lain dengan membuat iklan untuk mengedukasi masyarakat. Literasi digital, meski belum masif di Indonesia, terus dilakukan. Kesadaran diri masyarakat untuk selalu mengecek informasi yang diterima terus digelorakan.
Nyaris tidak ada orang di negeri ini, serta di negara lainnya, yang tidak marah pada hoaks. Bahkan, mereka yang sadar atau tidak juga ikut memproduksi dan menyebarkan kabar bohong itu, turut meneriakkan perang melawan hoaks. Namun, sampai saat ini hoaks masih menyebar, bergelombang, serta menjadi virus dan mengguncangkan masyarakat.
Wacana mengatasi hoaks secara menyeluruh pun mengemuka di khalayak, seperti dilaporkan Kompas, Kamis (28/3/2019). Penghapusan hoaks di media sosial perlu diikuti dengan menggiatkan literasi digital dan penegakan hukum. Muncul wacana pembuat konten hoaks dan penyebarnya di Indonesia diperlakukan sebagai pelaku terorisme, dan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Padahal, selama ini pelaku pembuatan berita bohong dan penyebarnya dikenai dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta Kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Sanksi pidananya bisa mencapai 10 tahun.
Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM), filsuf Romawi, mengingatkan, semakin banyak aturan, semakin sedikit keadilan. Jika hoaks masih menyebar, tidak berarti hukuman tak menjerakan pelaku dan masyarakat, tetapi boleh jadi aparat masih kurang tegas. Penegakan hukum masih dinilai pilih kasih pula.
Literasi digital dan pencegahan penyebaran hoaks harus terus digalakkan. Penyebaran hoaks adalah kejahatan. Wartawan, sebagai pencerita, harus ikut dalam memerangi hoaks, dengan tidak memproduksi atau menyebarkan berita bohong. Tugas wartawan, adalah menyatakan kebenaran, serta bertanggungjawab pada publik dan menjaga nilai luhur kemanusiaan. Setiap cerita tentang manusia memiliki martabat luar biasa.
Manusia juga harus terus diingatkan bahwa mereka tidak hidup sendiri, terkait dengan manusia lain. Fisikawan Fritjof Capra mengingatkan, ”Di semua lingkup gerak alam, kita menemukan sistem-sistem kehidupan yang bertengger pada sistem-sistem kehidupan lain. Jaringan-jaringan bergantungan pada jaringan lain. Batas-batas sistem-sistem kehidupan bukan merupakan batas pemisah, melainkan hanya batas-batas identitas saja. Semua sistem kehidupan berinteraksi satu sama lain dan saling berbagi sumber daya melewati batas-batasnya.” (Jusuf Sutanto dalam Menelusuri Jejak Capra; Menemukan Integrasi Sains, Filsafat, dan Agama; Kanisius, 2004). Seharusnya cerita kemanusiaan tidak menyesatkan....