Bangsa Indonesia, termasuk mayoritas umat Islam-nya, bisa memberikan sumbangsih secara universal terhadap masa depan umat manusia tanpa memandang latar belakangnya. Saling terhubung, bekerja sama, dan saling bantu.
Oleh
Robikin Emhas
·5 menit baca
Masa depan umat manusia tampak gelap kalau membaca penjelasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa wabah virus korona diperkirakan tidak akan pernah tumpas, bahkan ketika vaksinnya sudah tersedia kelak.
Mungkin akan sama seperti campak yang vaksinnya sudah tersedia puluhan tahun lalu, tetapi masih banyak anak yang terjangkit karena tidak divaksinasi. Apalagi jika menyimak paparan Direktur Regional WHO untuk Eropa Henri P Kluge yang menyatakan kompleksitas masalah dan ketidakpastian ada di depan dan karena itu, ”tidak ada jalur cepat untuk kembali normal”.
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengingatkan masyarakat Indonesia untuk berdamai dengan Covid-19 seolah ungkapan keputusasaan. Seruan Kepala Negara agar masyarakat bersiap memasuki fase new normal alias kehidupan normal yang baru menyempurnakan pandangan pesimistis itu.
Seruan Kepala Negara agar masyarakat bersiap memasuki fase new normal alias kehidupan normal yang baru menyempurnakan pandangan pesimistis itu.
Waktunya pas betul dengan momentum umat Islam merayakan Idul Fitri. Hari yang lazimnya disambut sukacita setelah berpuasa sebulan penuh selama Ramadhan mendadak berubah cara merayakannya, tanpa takbir keliling.
Tradisi bersalam-salaman dan saling mengunjungi sanak saudara dan handai tolan diganti silaturahmi daring: melaui pesan singkat, voice call atau video call. Kehidupan sosial pelik: penghasilan tak ada, pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana, bantuan sosial dari pemerintah seakan sekadar pelipur lara. Pokoknya tidak menggembirakan dan terjadi kemuraman kolosal.
Perlukah berputus asa? Tidak. Malahan itu secercah harapan; semacam maklumat bahwa umat manusia harus selalu terhubung satu sama lain, di mana pun berada dan tak akan pernah menyerah kalah, lalu punah. Seruan ”berdamai” bukan berarti seperti mengibarkan bendera putih di tengah pertempuran, kemudian perwakilan manusia berunding dengan delegasi virus korona.
Pengejawantahan ”normal baru”
Berdamai berarti beradaptasi: menyesuaikan dengan kebiasaan dan lingkungan baru karena umat manusia menginsafi eksistensinya di dunia ini berdampingan dengan makhluk hidup lain, termasuk virus korona, virus-virus lain, bakteri, dan organisme-organisme bersel tunggal, seperti parasit malaria.
Frasa new normal mungkin terdengar baru, tetapi perilaku manusia untuk beradaptasi sama sekali tidak baru. Miliaran orang di dunia sekarang menerima begitu saja kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah tahu sabun bisa membunuh bakteri dan virus yang dapat menyebabkan penyakit.
Frasa new normal mungkin terdengar baru, tetapi perilaku manusia untuk beradaptasi sama sekali tidak baru.
Namun, praktik itu disadari pentingnya barulah sejak abad ke-19, setelah seorang dokter Hongaria bernama Ignaz Semmelweis, pada 1847, dengan gigih menyosialisasikan wajib mencuci tangan kepada para dokter dan perawat sebelum melakukan operasi bedah.
Sekarang, semua orang dianjurkan untuk lebih rajin mencuci tangan dengan sabun, mengenakan masker, dan menjaga jarak (physical distancing). Praktik itu mungkin akan tetap begitu di masa mendatang, bahkan sampai tanpa disadari bahwa masyarakat telah menjalani kehidupan yang berbeda dari sebelumnya.
Barangkali memang tak ada cara cepat untuk kembali normal, sebagaimana peringatan Kluge, tetapi kehidupan harus normal lagi. Anak-anak harus bersekolah lagi, orang dewasa mesti kembali bekerja, tempat-tempat ibadah juga mesti dibuka lagi, agar kehidupan bergeliat lagi.
Tentu saja, bagi Indonesia, tidak sekarang waktunya, karena bangsa ini masih berjibaku mengendalikan wabah tersebut. Pernyataan Presiden mesti dimaknai sebagai wara-wara untuk masyarakat Indonesia agar mulai bersiap menjalani kehidupan normal yang baru, sembari menantikan vaksin Covid-19 tersedia dan diproduksi secara massal.
Bagi umat Islam, istilah new normal memang baru, tetapi gagasan dasarnya lawas. Setiap Idul Fitri, para ulama dan cerdik cendekia selalu mengingatkan hakikat kembali fitri atau suci serta menjalani kehidupan baru setelah melakoni pembersihan jiwa selama Ramadhan. Rasanya tidak ada lagi orang yang tak memahami makna Idul Fitri itu dan karena itu tak perlu diulas lagi.
Yang perlu, dan penting, adalah mengejawantahkannya dalam kehidupan sosial sesuai kondisi di tengah pandemi Covid-19 sekarang. Anjuran saling membantu, saling menolong, saling berbagi, dan kesetiakawanan sosial sebagai manifestasi ketakwaan terhadap Allah mesti diperbarui dan diperluas.
Anjuran saling membantu, saling menolong, saling berbagi, dan kesetiakawanan sosial sebagai manifestasi ketakwaan terhadap Allah mesti diperbarui dan diperluas.
Kerja sama kolosal
Saling membantu tidak hanya orang per orang dengan bersedekah, tetapi kolektif dan kolosal yang melibatkan seluruh komponen bangsa—pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, dan industri.
Para pemimpin dunia mulai menggemakan kerja sama multinasional untuk memerangi Covid-19 karena disadari mustahil berhasil kalau bekerja sendiri-sendiri. Bangsa Indonesia juga mesti saling bekerja sama dan berbagi agar, setidaknya dalam jangka pendek, segera melewati fase kritis pandemi korona.
Katakanlah, misalnya, satu provinsi atau kota/kabupaten telah melewati fase kritis darurat Covid-19, mereka bisa membantu daerah lain, barangkali dengan berbagi tenaga kesehatan atau peralatan medis. Akan sangat membantu juga kalau pemerintah daerah yang umpama saja masih ada sisa anggaran untuk bantuan sosial, bisa disumbangkan sebagiannya untuk menambal kekurangan di daerah lain.
Berbagi informasi juga tidak kalah penting. Kita tahu, sebagaimana pernyataan Presiden, ada daerah yang relatif berhasil mengendalikan laju penularan Covid-19 tanpa menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sementara daerah lain sudah mati-matian memberlakukannya, tapi belum menunjukkan tanda-tanda terkendali.
Nah, daerah yang berhasil itu, atau telah melewati fase kritis, bisa berbagi informasi dan strategi kepada pemerintah daerah lainnya.
Ringkasnya, bangsa Indonesia harus membalikkan situasi kemuraman kolosal menjadi kerja sama kolosal. Jika Indonesia telah melewati fase kritis, wajib membantu negara lain yang belum mentas dari kesulitan.
Bangsa Indonesia, termasuk mayoritas umat Islam-nya, bisa memberikan sumbangsihnya secara universal terhadap masa depan umat manusia, tanpa memandang latar belakangnya. Kalau semua berkomitmen untuk saling terhubung, bekerja sama dan membantu, pantaskah tersedia ruang untuk pesimistis dan tak yakin akan kemenangan?
(Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)