Karena darurat pandemi Covid-19, umat tidak bisa mudik ke kampung halaman. Namun, hal itu tidak perlu diratapi sebab substansi mudik dan Idul Fitri yang sesungguhnya dalam Al Quran bermakna kembali kepada ampunan Tuhan.
Oleh
Biyanto
·4 menit baca
Setelah umat Islam menjalankan ibadah puasa sebulan penuh selama bulan Ramadhan 1441 Hijriah, kini umat merayakan hari kemenangan Idul Fitri. Namun, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini umat merayakan Idul Fitri dalam kesunyian akibat kondisi pandemi Covid-19.
Tentu dibutuhkan penyesuaian tata cara beribadah dan saat umat merayakan hari besar agama di tengah kondisi darurat. Untuk itulah, sejumlah ormas keagamaan mengeluarkan panduan beribadah di tengah Covid-19. Pada intinya, imbauan itu berisi anjuran agar umat menjalankan ibadah di rumah bersama keluarga tercinta.
Untuk menghindari bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa, pemerintah juga telah membuat kebijakan agar umat menyelenggarakan shalat Idul Fitri di rumah bersama keluarga tercinta. Kebijakan ini diperuntukkan bagi daerah yang masuk zona merah Covid-19.
Sementara daerah yang menurut keputusan pihak berwenang masih aman diperbolehkan untuk menyelenggarakan shalat Idul Fitri berjemaah di tanah lapang atau masjid. Penting diingat bahwa yang berhak untuk memutuskan daerah tertentu aman atau tidak adalah pemerintah dengan mempertimbangkan pandangan para ahli.
Namun, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini umat merayakan Idul Fitri dalam kesunyian akibat kondisi pandemi Covid-19.
Perayaan Idul Fitri juga selalu diikuti budaya mudik ke kampung halaman. Budaya mudik seolah menjadi ritual bagi mereka yang berada di perantauan. Tujuannya adalah merayakan Idul Fitri bersama orangtua, saudara, dan teman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa istilah mudik berasal dari kata ”udik” berarti kampung, desa, atau dusun. Kata udik juga diartikan hulu sungai, tempat semua aliran air berawal. Dari situlah dipahami bahwa mudik berkaitan dengan ajaran agar seseorang kembali ke daerah asal untuk mengingat masa lalunya saat memulai kehidupan di kampung halaman.
Yang menarik untuk dicermati, mudik telah menjadi budaya lintas etnis dan agama. Budaya mudik tidak mengenal latar belakang sosial ekonomi. Semua orang dari berbagai etnis, budaya, agama, dan kelas sosial-ekonomi, berkeyakinan bahwa mudik ke kampung halaman sangat bermakna bagi kehidupan.
Berbagai motivasi turut menyertai pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem orangtua, silaturahmi dengan saudara, nyekar anggota keluarga yang telah meninggal dunia, reuni bersama teman, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Tradisi berbagi yang dilakukan pemudik merupakan pelajaran berharga. Mereka telah mengamalkan ajaran yang sangat penting, yakni memberi (religious gift). Karena tergolong fenomena yang unik, Andre Moller dalam karyanya Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2002) mengatakan bahwa mudik merupakan aktivitas keagamaan yang khas di Nusantara untuk menyambut Ramadhan dan Idul Fitri.
Dengan berbagai motivasi, biasanya pemudik rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Pemudik juga begitu menikmati perjalanan meski harus bersusah payah, berdesak-desakan, bahkan terkadang tidak memedulikan keselamatan diri.
Tengoklah ketika pemudik berdesak-desakan di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Harus diakui, ritual mudik pada tahun ini pasti tidak semeriah sebelumnya. Hal itu karena pemerintah secara resmi telah melarang mudik. Pemerintah juga berkomitmen untuk memberikan sanksi bagi pelanggar mudik.
Bukan hanya pemerintah, para ulama yang berhimpun dalam berbagai organisasi keagamaan juga mengimbau para perantau untuk tidak mudik. Peraturan ini tidak hanya untuk perantau dalam negeri, para pekerja migran Indonesia di luar negeri juga dilarang mudik.
Larangan pemerintah dan imbauan ulama penting sebagai bagian dari usaha memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Umat diharapkan mematuhi semua peraturan pemerintah dan imbauan ulama. Sementara pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam penanganan Covid-19 juga harus konsisten.
Dapat dibayangkan jika pemerintah tidak konsisten dengan peraturan yang diundangkan. Petugas di lapangan pasti kesulitan menerjemahkan peraturan yang berubah-ubah. Dampaknya, umat juga akan kebingungan. Kondisi ini berpotensi memicu perdebatan yang tak berujung.
Dalam kondisi darurat Covid-19, umat diharapkan untuk menjalankan shalat Idul Fitri di rumah. Umat harus menyadari bahwa menjaga keselamat jiwa (hifdh al-nafs) dari bahaya Covid-19 merupakan kewajiban sekaligus perintah agama (QS. Al-Baqarah: 195).
Sementara shalat Idul Fitri dalam ajaran agama merupakan sunnah. Tidak boleh yang sunnah mengalahkan yang wajib. Meski harus beribadah di rumah, umat tetap dapat merayakan Idul Fitri dengan memperbanyak bacaan takbir, tahmid, dan tahlil seraya bermohon kepada Allah SWT agar negeri tercinta dibebaskan dari Covid-19.
Kondisi tersebut tidak perlu diratapi karena semua orang harus menjaga diri dan keluarga dari bahaya Covid-19. Bukankah substansi mudik dan Idul Fitri dalam Al Quran bermakna kembali kepada ampunan Tuhan? Pada konteks inilah Allah berfirman: Dan, bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Ali ’Imran: 133).
Kalam Ilahi tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera mudik rohani dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan. Bahkan, mudik rohani seharusnya dilaksanakan setiap saat, tidak hanya menjelang Idul Fitri.
Substansi Idul Fitri justru mengajarkan pentingnya peningkatan ketaatan kepada Allah.
Dalam suasana kedaruratan seperti sekarang, umat harus menikmati Idul Fitri dengan sederhana dan penuh empati kepada mereka yang terdampak Covid-19. Dalam ajaran agama, Idul Fitri memang tidak seharusnya dirayakan secara berlebihan dengan berpakaian baru dan kebiasaan komsumtif lainnya.
Substansi Idul Fitri justru mengajarkan pentingnya peningkatan ketaatan kepada Allah. Hal itu sejalan dengan ajaran: laysal ’id liman labisal jadid wa lakinnal ’id liman taqwahu yazid (esensi Idul Fitri tidak terletak pada pakaian yang baru, tetapi ketakwaan yang terus bertambah).
(Biyanto, Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel,
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)