Masyarakat perlu diberdayakan untuk mampu menolong dirinya sendiri. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten mengakibatkan perilaku baru yang sudah terbentuk menjadi ”ambyar” dan harus mulai lagi dari awal.
Oleh
Eunike Sri Tyas Suci
·5 menit baca
Hari-hari terakhir menjelang Idul Fitri terjadi keramaian di sejumlah tempat, khususnya di pasar tradisional, supermarket, dan toko pakaian. Orang-orang berdesakan berbelanja, antrean kasir mengular seperti biasa. Transportasi penuh, jalanan kembali macet seperti sebelum pandemi. Masyarakat seolah lupa atau abai pada ancaman virus Covid-19 yang bisa menimpa mereka setiap saat.
Sejumlah kalangan merasa bahwa upaya mereka untuk tetap di rumah selama dua bulan menjadi sia-sia akibat perilaku masyarakat yang sembarangan ini. Pengorbanan petugas kesehatan yang bertaruh nyawa untuk menyelamatkan pasien-pasien yang terinfeksi seolah diabaikan. Mengapa demikian?
Sikap optimistis yang tidak realistis
Dalam penelitiannya di awal 1980-an, Neil D Weinstein bertanya kepada partisipan penelitian tentang kemungkinan mereka mengalami sejumlah masalah kesehatan dan ancaman kematian, dibandingkan dengan teman-temannya. Hasilnya menyebutkan, partisipan merasa yakin tidak akan mengalami masalah kesehatan atau ancaman kematian (antara lain kanker); sebaliknya mereka yakin mengalami kejadian-kejadian positif (antara lain punya rumah sendiri). Weinstein mengenalkannya sebagai optimism bias atau unrealistic optimism.
Pengorbanan petugas kesehatan yang bertaruh nyawa untuk menyelamatkan pasien-pasien yang terinfeksi seolah diabaikan.
Unrealistic optimism menjadi salah satu penjelasan mengapa kita begitu sulit untuk memahami risiko kesehatan di masa pandemi saat ini, padahal kita tahu bahwa sampai sekarang kasus positif Covid-19 di Indonesia selalu bertambah setiap hari dan sampai Kamis, 21 Mei 2020, telah menembus angka 20.162 kasus karena peningkatan drastis kasus 973 kasus baru.
Sejumlah ahli bahkan memperkirakan bahwa dua minggu terakhir bulan ini merupakan puncak kasus yang bisa mencapai 40.000 kasus. Aturan pembatasan yang awalnya hanya untuk dua minggu dan kemudian diperpanjang membuat sejumlah masyarakat frustrasi karena tidak ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.
Mendesaknya kebutuhan ekonomi dan persiapan Idul Fitri menjadi faktor-faktor yang menambah cairnya perilaku sehat baru yang seharusnya diterapkan selama pandemi. Mengapa mereka begitu berani berperilaku berisiko seolah-olah virus korona tidak akan pernah datang kepadanya? Saya akan menjelaskan keyakinan yang tidak realistis (unrealistic optimism) ini dengan model keyakinan sehat-sakit yang disebut Health Belief Model (HBM), konsep yang jauh lebih dulu muncul.
Model keyakinan sehat-sakit
Pada 1950-an Rosenstock dan kawan-kawan mengenalkan Health Belief Model untuk menjelaskan perilaku sehat-sakit di masyarakat, ketaatan pengobatan, termasuk penyakit-penyakit tidak menular yang membutuhkan perubahan perilaku jangka panjang. Model ini menyatakan bahwa orang akan mengubah perilaku sehatnya jika mempunyai keyakinan tentang kerentanan, keseriusan penyakit, hambatan dan manfaat untuk berperilaku sehat.
Dalam hal Covid-19, masyarakat diharapkan berperilaku sehat baru yang menjadi the new normal di mana memakai masker dan jaga jarak merupakan hal yang harus dilakukan saat berada di luar rumah. Ada empat keyakinan tidak realistis yang membuat orang enggan menerapkan perilaku sehat tersebut.
Ada empat keyakinan tidak realistis yang membuat orang enggan menerapkan perilaku sehat tersebut.
Yang pertama, perceived susceptibility atau keyakinan bahwa seseorang rentan untuk menderita penyakit tertentu. Sebagaimana diketahui, virus korona menyebar melalui percikan cairan (droplets) yang dikeluarkan oleh mereka yang terinfeksi saat bersin atau batuk. Dengan demikian, orang merasa tidak akan terinfeksi selama tidak ada orang yang batuk atau bersin di sekitarnya.
Namun, kita tidak pernah tahu bahwa orang di sebelah kita tidak akan pernah batuk atau bersin. Jawaban berikutnya: kan, sudah pakai masker! Lagi-lagi jawaban unrealistic optimism. Orang tidak menyadari bahwa sangat mungkin tanpa sadar telah menyentuh barang-barang yang sebelumnya tepercik cairan dari mereka yang positif korona atau tersentuh oleh orang yang tampak sehat tapi membawa virus.
Hal lain, kita tidak pernah tahu apakah masker kain yang digunakan selalu dicuci dengan sabun setelah kembali ke rumah. Jangan-jangan tidak pernah dicuci sejak dipakai pertama kali.
Yang kedua, perceived severity atau keyakinan atas keseriusan sebuah penyakit. Dalam hal keseriusan, kita semua tahu bahwa Covid-19 adalah virus yang mematikan dan belum ada obatnya. Sangat serius! Namun, berpengetahuan tidak selalu selaras dengan berperilaku.
Dalam kenyataan, banyak di antara kita masih melenggang dengan nyaman di tempat umum dan kerumunan. Mengapa? Karena yang sakit dan meninggal itu, kan, jauh di sana, di Jakarta, Jatim, dan kluster-kluster tertentu. Jauh dari saya dan keluarga, jadi tidak akan mengancam saya. Lagi-lagi unrealistic optimism. Dalam sejumlah kasus, seseorang baru merasakan keseriusan Covid-19 saat virus itu menimpa kerabat, teman, atau orang-orang yang dikenal, apalagi kalau sudah ada yang meninggal karenanya. Individu mulai merasa terancam.
Yang ketiga, perceived barriers atau keyakinan pada hambatan-hambatan untuk mencapai perilaku sehat yang diharapkan. Pandemi Covid-19 jelas meluluhlantakkan perekonomian masyarakat. Mereka yang sedikit di atas garis kemiskinan menjadi jatuh miskin, apalagi yang miskin makin miskin. Jaring pengaman sosial yang disediakan pemerintah menemui berbagai hambatan dalam menjaring masyarakat yang membutuhkan. Para pekerja informal yang tidak bergaji tetap harus bekerja untuk mempertahankan hidup.
Dalam sejumlah kasus, seseorang baru merasakan keseriusan Covid-19 saat virus itu menimpa kerabat, teman, atau orang-orang yang dikenal, apalagi kalau sudah ada yang meninggal karenanya. Individu mulai merasa terancam.
Bagaimana mungkin menaati aturan perilaku sehat untuk tetap di rumah? Selain kebutuhan ekonomi, ada kebutuhan psiko-kultural dalam menyambut Lebaran. Sejumlah masyarakat merasa perlu mudik untuk merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung, menyediakan berbagai makanan, memakai baju baru, dan lainnya.
Yang terakhir, perceived benefits atau keyakinan atas manfaat perilaku sehat baru. Masyarakat diharapkan memahami manfaat tinggal di rumah, mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Empat hal ini saya anggap utama, di samping mengonsumsi makanan sehat, berolahraga, berjemur untuk memperoleh vitamin D, dan lainnya yang saya anggap baru bisa dilakukan kalau empat yang utama sudah dipahami dan terapkan.
Untuk mencapai perilaku sehat baru, perceived benefit seharusnya mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan perceived barriers. Dalam kenyataan, tinggal di rumah bersama seluruh keluarga setiap hari justru berpotensi melahirkan konflik, pelecehan, KDRT, dan berbagai persoalan. Sementara keuntungan mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker tidak bisa langsung dirasakan.
Kerja sama berkesinambungan
Upaya mengubah perilaku sehat masyarakat Indonesia untuk terhindar dari infeksi Covid-19 sulit dicapai tanpa terlebih dulu mengubah keyakinan tentang kerentanan, keseriusan bahwa Covid-19 mengancam, serta untung-ruginya secara ekonomi, kultural, dan psiko-sosial. Mengubah perilaku tidak semudah membalik telapak tangan.
Untuk itu pemerintah, akademisi, LSM, tokoh agama, dan tokoh masyarakat perlu bekerja sama melakukan berbagai upaya, seperti promosi kesehatan yang berkesinambungan secara lintas sektoral dan lintas disiplin. Masyarakat perlu diberdayakan untuk mampu menolong dirinya sendiri. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten mengakibatkan perilaku baru yang sudah terbentuk menjadi ”ambyar” dan harus mulai lagi dari awal.
(Eunike Sri Tyas Suci, Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia, dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya)