Esoterisme beragama menjadi relevan dalam melihat Ramadhan di tengah pandemi. Bagi kaum eksoteris Covid-19 merupakan penghalang kesempurnaan Ramadhan, sebaliknya kaum esoteris menganggap sebagai tantangan keutamaan.
Oleh
Masdar Hilmy Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya
·5 menit baca
Secara anatomis, realitas agama terbentuk dari dua komponen: komponen wadah atau kulit dan komponen isi atau inti. Komponen wadah adalah dimensi eksterioritas-permukaan agama yang tampak di kulit luarnya (surface structure) dan bisa diamati seperti gerakan ritual, aspek festival budaya beserta segala syiar atau gebyar sosiologisnya. Sebaliknya, komponen isi mencakup interioritas agama yang menjadi ruh, jiwa, dan kedalaman spiritual agama yang menempati struktur terdalam (deep structure).
Meminjam Frithjof Schuon (1981), dimensi eksterioritas agama disebut eksoterisme agama. Sementara itu, dimensi interioritas agama disebut sebagai esoterisme agama. Sepanjang sejarahnya, kedua komponen ini tak jarang terlibat dalam sebuah dialektika kontestasi yang saling mendominasi dan menegasikan. Sekalipun demikian, kedua dimensi tersebut sebenarnya dapat diintegrasikan secara simultan dalam melihat realitas sebuah ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Dalam spektrum pemikiran Islam, pertarungan keduanya terefleksi dalam kontestasi antara tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf Sunni mendasarkan argumentasi teologisnya pada tekstualitas Al Quran dan hadis Nabi. Sementara itu, tasawuf falsafi mendasarkan argumentasinya pada pemikiran filsafat dan ajaran ketuhanan.
Secara anatomis, realitas agama terbentuk dari dua komponen: komponen wadah atau kulit dan komponen isi atau inti.
Dalam tingkatan ekstrem, masing-masing membentuk sebuah epistemic block yang tak jarang bereskalasi menjadi pertarungan zero-sum-game yang saling menegasikan dan mem-persekusi satu sama lain melalui bantuan rezim berkuasa.
Eksoterisme Ramadhan
Dalam bentuk yang paling sederhana, kedua komponen di atas sebenarnya tidak perlu saling berhadapan. Artinya, keduanya dapat bekerja bersama-sama untuk melihat sebuah realitas ibadah. Dengan demikian, eksoterisme dan esoterisme beragama tidak harus diposisikan secara diametral yang saling bertarung dan menegasikan, melainkan menyatu menjadi sebuah chemistry dalam mengonstruksi kebermaknaan eksistensial sebuah ibadah. Jika dimensi eksoterik lebih banyak melihat sebuah ibadah dari sisi fikih-syariatnya, maka esoterisme lebih melihatnya dari sisi tasawuf dan kedalaman spiritualitasnya.
Eksoterisme beragama melihat puasa Ramadhan sebagai serangkaian ritual wajib yang harus dilakukan oleh setiap Muslim sesuai dengan ketentuan syariat. Artinya, kaum eksoteris lebih mengaksentuasi dimensi syarat-rukun (baca: fikih atau syariat) dalam setiap ibadah ritual. Sah dan tidaknya sebuah ibadah terletak pada terpenuhi-tidaknya syarat-rukun ibadah tersebut. Soal bagaimana kedalaman makna spiritual sebuah ibadah tidak menjadi perhatian kaum eksoteris.
Sebaliknya, kaum esoteris selalu melihat ibadah dari perspektif kedalaman isi atau makna spiritualitasnya. Bagi kaum esoteris, ibadah ritual yang dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi kewajiban tidak akan memberikan kebermaknaan spiritual dan eksistensial terhadap si pelakunya.
Kaum esoteris lebih berkepentingan terhadap dimensi dalam-interior ketimbang permukaan-eksterior sebuah ibadah. Misalnya, kita sering membaca atau mendengar kisah para pelaku sufi yang tidak menjalankan ibadah haji, tetapi mendapat predikat haji mabrur tanpa menjalani ritual ibadah haji karena bekalnya disedekahkan kepada kaum papa.
Sebaliknya, kaum esoteris selalu melihat ibadah dari perspektif kedalaman isi atau makna spiritualitasnya.
Sayangnya, dalam melihat ibadah puasa dan ibadah lain di bulan Ramadhan, kebanyakan umat Islam terjebak dalam perspektif eksoterisme beragama. Mereka hanya melihat puasa sebagai kewajiban beragama yang dilakukan sesuai rambu-rambu fikih atau syariat. Pandangan semacam ini memang tidak sepenuhnya salah. Namun, dalam perspektif Imam Ghazali, pandangan semacam ini mewakili kaum awam yang tidak mendapatkan keutamaan puasa bagi pelakunya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.
Ibadah sosio-kultural
Di balik kehadiran pandemi Covid-19, pada Ramadhan kali ini barangkali terselip sebuah pesan untuk meretas makna ibadah yang jauh lebih hakiki ketimbang biasanya (ritual as usual). Gempita umat Islam menyambut Ramadhan secara umum memang benar-benar istimewa, mengalahkan bulan-bulan lain dalam beribadah.
Tidak mengherankan jika ada kesan kita sering kali mengistimewakan (dalam pengertian menomorsatukan) bulan ini ketimbang bulan-bulan yang lain sepanjang tahun. Mereka begitu antusias menjalankan serangkaian ibadah ritual di bulan ini, tetapi mengendur di sisa-sisa bulan berikutnya.
Bulan Ramadhan memang istimewa karena di dalamnya terdapat serangkaian ibadah yang dijanjikan oleh Allah pahala berlipat ganda. Oleh karena itu, André Möller (2005) menyebut rangkaian ibadah di bulan ini sebagai Ramadanic ritual complex. Tak jarang umat Islam merayakan kehadiran Ramadhan secara berlebihan dengan mengeksploitasi dimensi eksterioritas-kulit luarnya ketimbang asyik-masyuk dalam dimensi kedalaman spiritualnya.
Kita menjadi sangat konsumtif di bulan ini dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal demikian merupakan efek domino dari dominasi eksoterisme beragama yang cenderung melihat Ramadhan dari kulit luarnya saja, bukan dari kedalaman makna spiritualnya.
Tak jarang umat Islam merayakan kehadiran Ramadhan secara berlebihan dengan mengeksploitasi dimensi eksterioritas-kulit luarnya ketimbang asyik-masyuk dalam dimensi kedalaman spiritualnya.
Sebagai akibatnya, kerinduan kaum eksoteris terhadap Ramadhan terletak pada aspek festival Ramadhan yang lebih bersifat sentimental-ornamental ketimbang spiritual-eksistensial. Mereka niscaya meratapi Ramadhan di tengah pandemi sebagai Ramadhan yang terdegradasi atau kurang sempurna karena banyak masjid menjadi sepi, tidak ada shalat Tarawih atau buka puasa bersama, tidak ada sahur on the road, tidak ada mudik ataupun halal bihalal, dan seterusnya.
Segala keceriaan dan kegembiraan mendadak hilang dari lanskap keberagamaan Muslim akibat pandemi Covid-19. Kaum eksoteris cenderung meratapi kehadiran pandemi yang telah mengamputasi berbagai keceriaan kultural Ramadhan. Pendek kata, di mata kaum eksoteris, ibadah menjadi sangat sosiologis ketimbang spiritual.
Pengayaan eksistensial
Sebaliknya, lebih dari sekadar menjalankan kewajiban, kaum esoteris lebih melihat apa makna terdalam ibadah puasa bagi pengayaan eksistensial si pelaku. Ibadah puasa baru bisa dikatakan bermakna secara spiritual ketika dimensi teleologis puasa (takwa dalam maknanya yang hakiki) dapat diraih oleh si pelaku. Si pelaku puasa tidak akan terjebak dalam dimensi permukaan ibadah tersebut.
Mereka tidak peduli dengan segala bentuk hiruk-pikuk dan keramaian perayaan Ramadhan. Lebih dari itu, kaum esoteris niscaya akan menggali kedalaman spiritual ibadah tersebut dalam rangka menggapai makna eksistensial-spiritual Ramadhan serta relevansinya bagi perbaikan kualitas diri dan kehidupan secara umum.
Dalam konteks inilah, esoterisme beragama menjadi relevan dalam melihat Ramadhan di tengah pandemi. Ada atau tiadanya pandemi tidak mengurangi keutamaan Ramadhan serta tidak menggoyahkan mereka dalam menggali makna terdalam setiap ibadah yang dilakukan. Jika kaum eksoteris cenderung meratapi Covid-19 sebagai penghalang kesempurnaan Ramadhan, kaum esoteris menganggapnya sebagai tantangan untuk tetap meraih keutamaan Ramadhan.
Dalam konteks inilah, esoterisme beragama menjadi relevan dalam melihat Ramadhan di tengah pandemi.
Yang terpenting adalah bagaimana agar nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa seperti empati sosial, taat asas, disiplin, tata kelola, etos kerja, dan semacamnya dapat diobyektivasi dan diinternalisasikan dalam karakter pribadi si pelaku ibadah. Inilah yang dalam konsepsi Al-Ghazali disebut sebagai puasanya orang yang sangat khusus (khawwas al-khawwas).
(Masdar Hilmy, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya)