Informasi Tak Tentu Arah di Masa Wabah
Bukan hanya virus korona, musuh masa pandemi juga kecemasan, kepanikan, ketakutan, hoaks, dan rumor. Sayangnya, masyarakat kini merasakan ketidakpastian. Masyarakat disodori pernyataan para pejabat yang tidak jelas.
Betapa membingungkan mencermati informasi yang disampaikan pemerintah dalam mengatasi meluasnya virus korona baru penyebab Covid-19. Informasi yang seharusnya mampu memberikan panduan yang pasti bagi masyarakat untuk berpikir, bersikap, dan bertindak justru menunjukkan hal sebaliknya.
Aneka informasi yang digulirkan pemerintah terkesan tidak terkoordinasi dengan baik. Para menteri yang membantu Presiden Joko Widodo seakan-akan mengucapkan dan juga mengedarkan berbagai instruksi yang justru saling bertentangan. Bahkan, lebih buruk lagi, kalangan pembantu presiden itu berbantah dengan apa yang diinginkan presiden.
Itulah informasi tak tentu arah yang terjadi pada situasi kritis di masa wabah.
Kekisruhan informasi itu seperti fenomena yang terjadi menjelang Presiden Jokowi menyampaikan ada dua kasus warga Indonesia yang positif terinfeksi korona pada 2 Maret 2020.
Ada menteri menyatakan korona tidak mungkin mampu masuk ke negeri ini. Sebab, prosedur yang harus dilewati si virus maut itu sedemikian berbelit-belit.
Menteri lain menyatakan bahwa kita kebal korona karena kita telah terbiasa makan nasi kucing. Ada pula menteri yang menyatakan bahwa virus korona dapat dicegah kedatangannya karena kita rajin berdoa.
Informasi yang seharusnya mampu memberikan panduan yang pasti bagi masyarakat untuk berpikir, bersikap, dan bertindak justru menunjukkan hal sebaliknya.
Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan di Indonesia kemungkinan terdapat banyak kasus korona, tapi karena instrumen untuk pengecekannya tidak akurat, maka belum dapat diketahui jumlah warga yang terinfeksi. Sang menteri tetap saja berkilah bahwa tidak ada kasus korona di negeri yang rakyatnya sungguh religius ini.
Semua kisruh informasi tersebut berawal dari pernyataan yang sama sekali tidak menggambarkan keseriusan. Berbagai informasi yang salah arah itu bermula dari aneka penyangkalan yang mengabaikan fakta dan kebenaran. Sampai saat ini, ketika Presiden Jokowi melarang masyarakat mudik, Kementerian Perhubungan justru mengizinkan semua moda transportasi beroperasi. Tentu saja dalih yang dikemukakan untuk bisa menaiki berbagai jenis kendaraan itu adalah mengikuti protokol kesehatan.
Begitu pula ketika terdapat instruksi agar masyarakat bekerja di rumah, muncul surat edaran bahwa para pekerja yang berusia di bawah 45 tahun diperintahkan masuk kerja. Kali ini ditambahi dengan dalih hanya 11 sektor pekerjaan yang diizinkan melakukan hal itu. Protokol kesehatan, lagi-lagi, dikemukakan pula sebagai syarat pembenarnya.
Serba gegabah
Memang, tidak mudah untuk mengelola informasi saat pandemi terjadi. Sebab, pandemi merujuk pada penularan penyakit yang terjadi secara cepat dalam kehidupan masyarakat, melampaui batas-batas wilayah. Korona menunjukkan buktinya, bahkan hingga level dunia. Konsekuensinya adalah penyebaran korona yang direspons dengan pemberian informasi yang serba gegabah justru mengakibatkan rakyat semakin gundah, bahkan marah.
Pemerintah, dalam hal ini lembaga kepresidenan, ialah pemegang informasi yang mutlak dan tidak boleh dibantah. Itu, tentu saja, dengan catatan bahwa informasi yang diproduksi dari institusi tersebut menunjukkan kejelasan dan memang telah dikoordinasikan secara sistemik dengan lembaga-lembaga negara di bawahnya.
Informasi yang disampaikan oleh para pejabat pemerintah seharusnya memang tidak saling bertentangan. Informasi bukanlah pernyataan yang dimaksudkan untuk mengundang tertawaan. Seperti dijelaskan Jorge Reina Schement (Information, 2001), kata itu berasal dari bahasa Latin, informare, yang bermakna ’memberi bentuk, membentuk, membentuk sebuah gagasan, atau mendeskripsikan’.
Informasi yang disampaikan oleh para pejabat pemerintah seharusnya memang tidak saling bertentangan.
Dalam kaitan ini, informasi dapat diartikan sebagai membentuk gagasan pada kepala seseorang. Jadi, informasi sengaja dihadirkan karena berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian. Hal ini dimaksudkan agar rakyat yang menerima informasi tentang perkembangan wabah korona mampu mengambil keputusan sebaik-baiknya. Dengan demikian, ketika pemerintah menggulirkan informasi yang menunjukkan hal yang saling berlawanan, justru masyarakat yang akan menjadi korban.
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih diterapkan dan diklaim tidak ada pengendoran. Namun, serentak dengan itu, pemerintah sudah memberi aba-aba pula bahwa masyarakat bisa beribadah di luar rumah, para karyawan harus masuk di tempat kerja, bahkan kampus atau sekolah bisa diaktifkan kembali.
Lagi-lagi ”mantra sakti” yang dipakai untuk membenarkan hal itu adalah protokol kesehatan yang ketat, dari kedisiplinan menjaga jarak secara fisik hingga sesering mungkin mencuci tangan. Sehati-hati protokol kesehatan diterapkan, belum ada garansi korona bisa berhenti menulari.
Kesalahan dalam mengelola informasi seperti itu sudah menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil menjalankan komunikasi yang mampu mengurangi atau menanggulangi risiko yang harus ditanggung masyarakat. Kegagalan mendasar yang terjadi dalam konteks ini adalah ketimbang menggunakan alat-alat dan komunikasi risiko untuk menciptakan pemahaman publik tentang risiko-risiko yang ditimbulkan pandemi, kalangan ahli dan pembuat kebijakan menggunakan bentuk komunikasi lain, yakni dukungan untuk menjalankan tindakan-tindakan tertentu (Thomas Abraham, The Price of Poor Pandemic Communication, 2010).
Seharusnya pemerintah terus gencar mendorong masyarakat untuk mencegah semakin meluasnya penularan korona. Namun, hal yang justru dijalankan pemerintah saat ini ialah mengajak masyarakat untuk menjalankan aktivitas pemulihan ekonomi yang justru berpotensi besar menimbulkan penularan. Pemerintah seharusnya memprioritaskan kesehatan masyarakat, dalam bentuk pengobatan yang baik ataupun pencegahan terhadap penularan Kkorona yang, ironisnya, terus-menerus bergerak naik.
Seharusnya pemerintah terus gencar mendorong masyarakat untuk mencegah semakin meluasnya penularan korona.
Situasi entropik
Ada dilema yang memang tidak mudah dipecahkan pemerintah dalam soal krusial ini, yakni pilihan untuk memprioritaskan kesehatan masyarakat atau bergerak cepat melakukan pemulihan ekonomi. Tampaknya suasana dilematis itu yang terus menunjukkan betapa informasi yang disampaikan pemerintah simpang siur.
Informasi yang seharusnya mampu mengurangi ketidakpastian justru berkedudukan sebagai aneka pernyataan yang makin menambah kekisruhan masyarakat. Informasi yang dalam sifat dasarnya mampu memberikan pencerahan justru menambah kebingungan. Informasi tidak dapat memberikan jalan keluar, tapi justru menciptakan kebuntuan.
Itulah yang disebut sebagai situasi entropik. Secara teoretis, informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian dalam sebuah sistem sinyal. Dalam cara kontraintuitif, teori informasi menjelaskan bahwa semakin tinggi informasi dalam sebuah sistem, maka makin tinggi juga ketidakpastian yang berlangsung di sana. Hal ini bisa terjadi karena makin banyak informasi, maka diikuti banyak keadaan yang bisa mengurangi kejelasan.
Entropi merujuk pada keacakan atau sedikitnya hal yang mampu diprediksi pada sebuah sistem. Pada situasi entropik yang tinggi, maka terdapat banyak hal yang sedikit bisa diorganisasikan, aneka hal yang dapat diprediksi mengalami penyusutan, dan semakin besar pula ketidakpastian (Stephen W. Littlejohn, Information Theory, 2007). Sinonim dari entropi adalah kekacauan, chaos, atau disorganisasi.
Memang, chaos yang terdapat dalam wabah ini belum sampai mengarah pada kerusuhan massa atau konflik horizontal dalam masyarakat. Chaos itu adalah berbagai informasi yang sama sekali tidak sinkron. Sebagai bukti, ketika korona semakin merebak, Presiden Jokowi mengajak negara-negara G-20 memeranginya. Namun, dalam beberapa minggu selanjutnya, Presiden Jokowi menyatakan kita harus berkompromi dengan korona, berdampingan dengannya, dan berdamai bersamanya.
Jika ukuran keberhasilan memerangi korona adalah semakin banyak pasien yang sembuh, makin melandainya kurva orang yang terinfeksi, dan korban jiwa semakin bisa terkurangi, maka tampaknya peperangan ini belum selesai sama sekali. Bahkan, korona sebagai musuh yang harus diusir dan dilawan justru semakin menghebat kekuatannya.
Bahkan, korona sebagai musuh yang harus diusir dan dilawan justru semakin menghebat kekuatannya.
Pada situasi semacam ini, ada level respons individual ataupun sosial dalam menghadapi pandemi korona. Level pertama, masyarakat mengalami ketakutan karena mereka tidak cukup memiliki pengetahuan tentang apa yang harus diperbuat. Korona, misalnya, bisa-bisa dituding sebagai hasil konspirasi. Level kedua, masyarakat panik dan cemas yang direalisasikan dalam bentuk perlawanan karena mereka merasa lebih tahu dan mencoba untuk mengabaikan nasihat-nasihat pemerintah karena masyarakat merasa terlalu dikontrol.
Level ketiga, kemarahan yang dapat mengarah pada anarki dan kekacauan. Hal ini terjadi karena masyarakat merasa pemerintah tidaklah terbuka dalam memberikan informasi atau informasi tersebut membingungkan. Bahkan, bisa jadi informasi tersebut menyesatkan. Level keempat, masyarakat menerima keadaan yang terjadi dan menjalankan solusi yang diberikan pemerintah (Antonio Ventriglio, Cameron Watson, dan Dinesh Bhugra, Pandemics, Panic and Prevention: Stages in the Life of COVID-19 Pandemic, 2020). Masyarakat agaknya telah memahami dan menerima pandemi ini sebagai persoalan besar yang harus dijalani dan dilampaui.
Masyarakat pun masih mengerti penegasan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa musuh terbesar bukanlah korona, melainkan kecemasan, kepanikan, ketakutan, hoaks, dan rumor. Lebih dari itu, apa yang dirasakan masyarakat ialah ketidakpastian. Sebab, informasi yang disampaikan pemerintah memang tiada kejelasan arah. Selain menghadapi pandemi korona yang entah kapan selesainya, masyarakat pun disodori hiruk pikuk pernyataan para pejabat yang membuat masyarakat makin terpuruk.
(Triyono Lukmantoro, Pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang)