Mencegah Perbudakan ABK
Sebenarnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan itu telah mengatur sanksi bagi perusahaan yang tak memiliki sertifikat HAM perikanan. Namun, pemberlakuan sanksi administratif saja tidak cukup. Perlu sanksi pidana.
Stasiun televisi Korea Selatan, MBC, membuat gempar warga Indonesia setelah merilis berita pembuangan jenazah anak buah kapal asal Indonesia ke laut.
Pembuangan jenazah ini dilakukan pihak kapal di mana mereka bekerja. Menurut Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, ABK asal Indonesia itu bekerja di sebuah kapal ikan berbendera asing dan pembuangan jenazah telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga.
Terlepas apakah pembuangan jenazah ABK itu telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga atau belum, tentunya peristiwa ini dapat memperburuk citra Indonesia di mata internasional karena dianggap tak mampu melindungi warga negaranya. Berdasarkan informasi ABK Indonesia lainnya, yang juga bekerja di kapal yang sama, selama bekerja, mereka hanya mendapatkan waktu istirahat tiga jam, upah yang tidak layak, serta perlakuan diskriminasi dan penyiksaan (perbudakan).
Peristiwa perbudakan yang dialami ABK asal Indonesia bukan hal baru. Masih banyak kejadian lainnya, seperti peristiwa 2014 yang mengungkap lebih dari 682 orang di Benjina dan 373 orang di Ambon menjadi korban perbudakan. Perbudakan ABK ini disebabkan praktik perdagangan manusia.
Peristiwa perbudakan yang dialami ABK asal Indonesia bukan hal baru.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), setidaknya 1.207 dari 1.258 ABK yang bekerja di kapal ikan asing merupakan korban perdagangan manusia di perairan domestik Indonesia. Pelakunya tidak hanya agensi penyalur tenaga kerja ABK, tetapi juga perusahaan di bidang perikanan. Mereka kerap melakukan transaksi perdagangan di tengah laut dengan cara memindahkan ABK dari kapal ikan Indonesia ke kapal ikan asing.
Sertifikasi HAM perikanan
Untuk mencegah praktik perdagangan dan perbudakan ABK, dibutuhkan instrumen hukum yang tegas mengatur kewajiban perusahaan perikanan untuk menghormati hak asasi manusia. Selain itu, dibutuhkan instrumen hukum yang memungkinkan negara masuk ke dalam wilayah operasi perusahaan agar dapat melihat dan mengawasi kegiatan apa yang dilakukan serta untuk menilai kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan kewajibannya menghormati HAM.
Baca juga : Benahi Perlindungan ABK Perikanan Indonesia di Kapal Ikan Asing
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang pada saat itu dinakhodai Susi Pudjiastuti telah tepat menanggapi permasalahan tentang perdagangan dan perbudakan ABK ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/Permen-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan yang diharapkan dapat mencegah, melindungi, dan menekan angka eksploitasi terhadap ABK Indonesia dari tindakan kejahatan yang dilakukan perusahaan perikanan.
KKP menjadi kementerian pertama yang mewajibkan perusahaan dalam ruang lingkupnya untuk menghormati HAM sehingga harus dijadikan contoh kementerian lain mengingat perusahaan termasuk aktor yang berkontribusi besar dalam kasus HAM di Indonesia. Peraturan itu tegas mengatur beberapa kewajiban yang harus dipatuhi setiap perusahaan perikanan, di antaranya (i) kewajiban membentuk sistem HAM dan (ii) kewajiban memiliki sertifikat HAM perikanan. Peraturan itu juga memuat aturan sanksi bagi perusahaan yang tak memiliki sertifikat HAM perikanan berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha.
Peraturan itu juga memuat aturan sanksi bagi perusahaan yang tak memiliki sertifikat HAM perikanan berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha.
Melalui ketentuan sertifikat HAM perikanan inilah, negara (dalam hal ini KKP) memainkan peran pentingnya mencegah perdagangan dan perbudakan ABK karena negara diberikan ruang untuk masuk ke dalam wilayah internal dan operasi perusahaan dalam rangka melaksanakan audit sistem HAM yang dimiliki perusahaan sebelum menerbitkan sertifikat HAM perikanan.
Dengan demikian, negara dapat mengetahui apakah perusahaan telah menjamin hak ABK atas pekerjaan yang layak dan adil dengan cara menilai sistem perekrutan, perjanjian kerja, pengupahan, waktu kerja, dan waktu istirahat ABK. Jika dalam penilaian ada temuan yang tak sesuai peraturan perundang-undangan, negara berwenang menolak atau mencabut sertifikat HAM perikanan yang tengah diajukan atau dimiliki sehingga konsekuensinya perusahaan itu tidak akan dapat beroperasi.
Baca juga : Di Tengah Pandemi, Pencurian Ikan di Perairan Sulawesi Utara Tidak Berhenti
Tak hanya terkait hak atas pekerjaan yang layak dan adil, sertifikat HAM perikanan juga menuntut perusahaan menjamin kriteria hak-hak ABK lainnya, seperti hak dapat perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, hak dapat lingkungan hidup yang layak dan sehat, hak atas jaminan sosial, hak atas kesejahteraan, dan hak atas rasa aman. Dari seluruh kriteria hak-hak yang telah diatur sertifikat HAM perikanan itu, negara wajib mengaudit dan mengawasi pelaksanaannya.
Sangat disayangkan, dari komprehensifnya ketentuan yang telah diatur peraturan itu, justru peraturan ini tak diterapkan secara efektif padahal telah berlaku sejak Desember 2015. Dari wawancara yang saya lakukan pada 2019, masih banyak perusahaan tak memiliki sertifikat HAM perikanan karena merasa belum dapat sosialisasi dari KKP sehingga dijadikan alasan untuk tak membentuk sistem HAM.
KKP harus tegas. KKP tak perlu membuang waktu untuk sosialisasi ke seluruh perusahaan perikanan di Indonesia karena hukum kita telah jelas menganut asas presumptio iures de iure, di mana semua orang dianggap telah mengetahui hukum. Tanpa sosialisasi pun, KKP berwenang menindak tegas dan memberi sanksi perusahaan yang tak memiliki sertifikat HAM perikanan.
Tanpa sosialisasi pun, KKP berwenang menindak tegas dan memberi sanksi perusahaan yang tak memiliki sertifikat HAM perikanan.
Mengatur sanksi pidana
Sebenarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan itu telah mengatur sanksi bagi perusahaan yang tak memiliki sertifikat HAM perikanan, yaitu berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha perikanan, izin penangkapan ikan dan/atau izin kapal pengangkut ikan. Namun, pemberlakuan sanksi administratif saja tidak cukup. Diperlukan sebuah formulasi baru, yaitu dengan menambah ketentuan sanksi pidana bagi korporasi/perusahaan yang diatur dalam UU No 31/2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 45/2009 (UU Perikanan).
Dengan demikian, mengefektifkan sertifikat HAM perikanan dan mengatur sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak memiliki sertifikat itu merupakan syarat mutlak untuk mencegah terulangnya peristiwa perdagangan dan perbudakan ABK Indonesia. Jika negara gagal melindungi ABK, sama halnya negara telah melakukan pelanggaran HAM.
Muhammad Alfy Pratama, Direktur Eksekutif Corpo Rights Business & Human Rights Law.