Puasa dan Jihad Lawan Korona
Puasa Ramadhan itu kaya fungsi dan merupakan terapi solutif bagi yang menjalaninya dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan kekhusyukan, berbasis iman dan ilmu yang memadai, membuahkan spirit jihad tinggi melawan korona.
Puasa Ramadhan tahun ini diselimuti pandemi Covid-19 yang telah menjangkiti tidak kurang dari 213 negara. Covid-19 tidak hanya menakutkan, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa dan nyawa umat manusia tanpa mengenal agama, suku bangsa, budaya, strata sosial ekonomi dan pendidikan.
Covid-19 telah membuat ekonomi dunia porak-poranda. Berbagai sektor kehidupan, pariwisata, perhotelan, transportasi, pertanian, perdagangan, perindustrian, dan sebagainya nyaris lumpuh. Akibatnya, warga dunia dihadapkan krisis kemanusiaan global.
Secara teologis, menurut sabda Nabi Muhammad SAW, Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan juga penawar atau obatnya.
Covid-19 termasuk wabah virus penyakit yang sangat berbahaya dan dapat menular dengan cepat dan masif, dari orang ke orang melalui kontak fisik atau kerumunan. Hingga saat ini, vaksin penawarnya belum ditemukan. Sebagai bangsa beragama, apakah kita harus menyerah kalah melawan pandemi ini?
Tentu saja tidak. Sebaliknya, kita harus berjihad melawan pandemi dengan segala daya upaya, baik pendekatan klinis, medis, maupun nonmedis (spiritual dan psikologis). Puasa Ramadhan dengan aneka ibadah di dalamnya diyakini menjadi salah satu strategi dan solusi mental spiritual dalam mengatasi dan memenangi jihad melawan Covid-19. Bagaimana memaknai Ramadhan sebagai bulan jihad melawan korona?
Dimensi puasa
Puasa merupakan ibadah universal, lintas agama, suku bangsa, budaya, bahasa, dan masa. Puasa tidak hanya dijalani umat Islam, tetapi juga umat terdahulu dan umat agama lain, dengan tata cara dan tradisi masing-masing. Diyakini, puasa itu tidak hanya berdimensi ubudiyah (ibadah), tetapi juga sarat manfaat fisik, psikis, dan medis, termasuk melawan pandemi Covid-19.
Menurut sabda Nabi Muhammad SAW, puasa itu perisai atau benteng pertahanan diri yang kokoh (HR Muslim). Karena itu, puasa berfungsi sebagai benteng mental spiritual orang yang berpuasa agar selalu berada dalam keseimbangan diri sehingga watak dan selera rendah manusia yang bersumber dari hawa nafsu dapat dikendalikan dan dikelola menjadi kekuatan dan ketahanan mental-spiritual yang prima. Pertahanan dan ketahanan diri ini merupakan aktualisasi nama-nama terbaik Allah (al-Asma’ al-Husna) dan nilai-nilai kemanusiaan (akhlak mulia).
Puasa Ramadhan sejatinya merupakan pendidikan mental spiritual yang bertujuan membentuk pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT.
Menurut Al-Ghazali, melalui pendidikan spiritual Ramadhan, shaimin dan shaimat (orang-orang yang berpuasa, lelaki dan perempuan) dididik memiliki kompetensi transformasi spiritual dari karakter ”budak hawa nafsu” (’abdul hawa) menjadi hamba Allah (’abdullah) yang berkarakter positif.
Jadi, puasa berorientasi pada pembentukan karakter atau integritas pribadi yang tangguh, sabar, disiplin, tidak mudah tergoda oleh hawa nafsunya, dan selalu merasa diawasi Allah SWT, sehingga berakhlak terpuji dan mencintai kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kedamaian.
Manusia sering kali diperbudak nafsu dan godaan setan karena semua aliran darah manusia berpotensi dirasuki bujuk rayu setan. Menurut Al-Ghazali, ada dua nafsu yang menyebabkan manusia diperbudak nafsunya, yaitu nafsu ammarah (amarah) dan nafsu lawwamah (menyesali diri).
Menurut Al-Ghazali, ada dua nafsu yang menyebabkan manusia diperbudak nafsunya, yaitu nafsu ammarah (amarah) dan nafsu lawwamah (menyesali diri).
Kedua nafsu ini menjadi penghalang pencapaian derajat takwa. Kedua nafsu ini menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan dan perbuatan dosa sehingga menjadi manusia hina dan tidak bermartabat. Puasa Ramadhan melejitkan spiritualitas dan moralitas sehingga menjadi hamba yang berakhlak mulia karena yang paling mulia di mata Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Dengan keimanan, keikhlasan, dan kesabarannya dalam beribadah, shaimin dan shaimat memiliki spirit jihad yang tinggi dalam melawan Covid-19. Kesucian hati dan pikiran shaimin dan shaimat mengantarkan kepada kedekatan spiritual dengan Allah SWT sehingga doanya diyakini mudah dikabulkan oleh-Nya.
”Ada tiga jenis doa yang tidak akan ditolak, yaitu doa pemimpin yang adil, doa orang yang berpuasa hingga berbuka, dan doa yang dizalimi” (HR At-Turmudzi). Kesucian Ramadhan merupakan momentum terbaik untuk berdoa memohon pertolongan dan perlindungan dari bahaya Covid-19.
Dengan demikian, dimensi teologis puasa Ramadhan menyerukan pentingnya peningkatan iman dan imun shaimin dan shaimat agar memiliki ketahanan diri yang kuat untuk melawan Covid-19. Mereka membentengi dan ”mempersenjatai diri” dengan doa-doa perlindungan dan permohonan keselamatan bangsa dan umat manusia dari bahaya Covid-19. Doa yang tulus dan khusyuk itu merupakan senjata shaimin dan shaimat untuk ”mengetuk pintu-pintu langit” agar menurunkan pertolongan, kasih sayang, dan perlindungan-Nya untuk semua.
Dimensi mental spiritual Ramadhan juga menjadikan shaimin dan shaimat berjiwa sabar dan tegar karena memang puasa itu melatih stabilitas emosi dan kemampuan menahan diri dari rasa haus, lapar, dan yang membatalkan puasa. Sebab, ”puasa adalah separuh dari kesabaran” (HR Abu Dawud). Orang yang sabar itu dicintai dan dibersamai Allah SWT. Kesabaran dalam beribadah Ramadhan menjadi kunci kedisiplinan dan ketegaran mental spiritual untuk berjihad melawan Covid-19.
Kesabaran dalam beribadah Ramadhan menjadi kunci kedisiplinan dan ketegaran mental spiritual untuk berjihad melawan Covid-19.
Terapi spiritual
Puasa Ramadhan juga melatih shaimin dan shaimat memiliki kecerdasan spiritual dan sosial. Pembiasaan bangun tidur lebih awal pada waktu sahur sarat pelajaran kehidupan bahwa shaimin dan shaimat harus disiplin waktu, beribadah, berolahraga, belajar, dan bekerja.
Waktu sahur (sepertiga malam terakhir) merupakan waktu paling baik dan mustajab, tidak hanya untuk memulai aktivitas baru, tetapi juga untuk beristigfar dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena di waktu sahur inilah Allah dan para malaikat-Nya turun ke langit dunia untuk menghampiri dan ”mendata” para hamba-Nya yang sedang beribadah, beristigfar, dan berdoa kepada-Nya, dan pasti dikabulkan dan dipenuhi apa yang menjadi harapan mereka.
Dari segi medis, pembiasaan bangun tidur waktu sahur memungkinkan shaimin dan shaimat menghirup oksigen paling bersih dan segar sehingga kebutuhan oksigen tubuh dapat dipenuhi, dan pada gilirannya badan menjadi lebih bugar dan pikiran menjadi lebih jernih dan sehat. Nabi SAW selalu mendoakan umatnya agar diberikan keberkahan bagi yang bangun di pagi hari (waktu sahur).
Sebagai bulan Al Quran, Ramadhan menyerukan back to Al Quran melalui tadarus: menyimak, membaca, merenungkan, menghayati, dan mengamalkan pesan-pesan moral Al Quran dalam kehidupan. Berinteraksi dengan Al Quran secara intens selama Ramadhan merupakan amalan unggulan yang dapat menenteramkan jiwa, menghilangkan rasa gundah gulana, stres, dan menjadi penawar penyakit hati.
Riset di sejumlah universitas di Barat, seperti California dan Florida University, membuktikan biblioterapi (al-’ilaj bi al-qira’ah) sangat efektif untuk mengobati berbagai penyakit berat. Sya’ban al-Khalifah dalam artikelnya, al-’Ilaj bi al-Qira’ah, menyatakan rumah-rumah sakit sudah saatnya mengembangkan biblioterapi dengan memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al Quran dan lainnya, seperti musik klasik, sebagai bagian dari proses penyembuhan berbagai penyakit.
”Dan Kami turunkan Al Quran suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” (QS al-Isra’ [17]: 82). Jihad melawan korona perlu dilakukan tidak hanya dengan pendekatan klinis dan medis, tetapi juga pendekatan spiritual, seperti doa dan biblioterapi tersebut.
Dalam buku The Miracle of Fasting: Proven Throughout History of Physical, Mental & Spiritual Rejuvenation, Paul C Bragg dan Patricia Bragg menegaskan, berpuasa merupakan ibadah sekaligus terapi paling menyehatkan bagi tubuh manusia. Secara medis, puasa dapat membersihkan dan mendetoksifikasi racun dan ”sampah makanan” dalam tubuh.
Melalui puasa, sel-sel dan hormon dalam tubuh direjuvenasi (diremajakan); sedangkan energi fisik, mental, dan spiritual dibugarkan. Puasa ibarat sekolah militer di mana pembelajar ”berperang” melawan musuh yang ada dalam diri sendiri (hawa nafsu, godaan setan, energi negatif).
Selain itu, puasa juga menumbuhkan inner spiritual harmony (harmoni spiritual dalam diri) sehingga dapat membentengi diri dari berbuat jahat dan maksiat.
Jihad melawan korona perlu dilakukan tidak hanya dengan pendekatan klinis dan medis, tetapi juga pendekatan spiritual, seperti doa dan biblioterapi tersebut.
Karena itu, orang yang berpuasa itu memiliki jiwa pejuang dan pemenang; sanggup menghadapi aneka ujian kehidupan, termasuk pandemi Covid-19, sekaligus berani melawan musuh dalam diri sendiri. Dengan kata lain, puasa Ramadhan itu kaya fungsi dan merupakan terapi solutif bagi yang menjalaninya dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan kekhusyukan, berbasis iman dan ilmu yang memadai sehingga mudah-mudahan membuahkan spirit jihad tinggi dalam melawan dan mengatasi pandemik korona.
(Muhbib Abdul Wahab,
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia)