Indonesia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk mereformasi struktur ekonomi, mengejar kemajuan teknologi, berpikir jauh ke depan, visioner, dan bersiap untuk bisa bangkit lagi dari hantaman Covid-19.
Oleh
Dato’ Sri Tahir
·5 menit baca
Covid-19 sudah menghentikan aktivitas sosial di dunia. Jika melihat semua negara yang ada, semuanya berjuang habis-habisan memberikan yang terbaik untuk menyelamatkan rakyat, perekonomian nasional, dan tatanan kehidupan. Ada yang melakukan quantitative easing (pelonggaran kuantitatif), pengurangan pajak, restrukturisasi kredit, dan sebagainya.
Semua usaha untuk menjamin likuiditas itu perlu, tetapi mari kita coba pikirkan tentang fungsi dasar dari uang. Salah satu fungsi uang ialah sebagai penyimpan nilai. Ketika kita memiliki lebih banyak uang yang ada di dunia, nilai keseluruhan dunia akan terdilusi.
Kita tidak melihat terjadinya inflasi karena kita memasuki atau dalam mode resesi, kondisi di mana orang tidak benar-benar mengonsumsi menggunakan uang. Di seluruh dunia terjadi penurunan nilai riil karena pandemi ini. Itulah seberapa berat situasi ekonomi yang kita hadapi.
Meningkatkan likuiditas dapat dianggap seperti memberikan transfusi darah yang menyelamatkan jiwa pasien di UGD. Suatu langkah penyelamatan yang harus terjadi. Pemerintah di seluruh dunia harus melakukan itu dalam waktu yang sangat genting ini.
Setelah krisis Covid-19 ini berakhir, mereka semua akan punya banyak utang. Namun, pemerintah di mana pun akan menyelamatkan ekonomi dulu: stimulus hari ini dan kehati-hatian fiskal (fiscal prudence) esok.
Namun, pemerintah di mana pun akan menyelamatkan ekonomi dulu: stimulus hari ini dan kehati-hatian fiskal (fiscal prudence) esok.
Setelah krisis Covid-19 berakhir, sebagian besar ekonomi mungkin akan kehilangan sekitar sepuluh tahun pembangunan. Ambil salah satu ekonomi terbesar dan terkuat: Amerika Serikat. Data Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan, karena Covid-19, pengangguran meningkat menjadi 14,7 persen. Ini hampir sama dengan saat Depresi Besar tahun 1931.
Tingkat pengangguran saat itu 15,6 persen. Butuh sekitar 10 tahun untuk menurunkan tingkat pengangguran menjadi 5,9 persen pada tahun 1941. Di antara tahun-tahun itu, bahkan pengangguran pernah naik 22,89 persen.
Jadi, politik dan proses seputar penurunan defisit anggaran setelah Covid-19 berlalu tidak perlu menjadi suatu kontestasi politis yang berlebihan. Semua masih akan memerlukan lebih banyak pengeluaran untuk konsumsi dalam waktu dekat. Pengeluaran untuk peningkatan kualitas layanan medis adalah salah satu bidang yang perlu diprioritaskan.
Belajar dari pengalaman SARS, MERS, Covid-19 mungkin bukan pandemi yang terakhir sehingga pemerintah perlu menyiapkan setumpuk uang untuk melawan dan meredam dampak dari krisis yang ada kemungkinan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Situasi RI dan peluang RI
Sebelum Covid-19, dunia takut akan hyperglobalization dan hilangnya jarak. Dahulu ada ketakutan akan perdagangan bebas dan robot yang dapat mengambil alih pekerjaan. Dengan demikian, ada berbagai dorongan untuk kebijakan-kebijakan proteksionis.
Berbagai kebijakan industri yang mungkin tidak sejalan dengan perjanjian perdagangan terkadang ditempuh. Namun, Covid-19 menghapus globalisasi: jarak kembali ada. Dan aspek jarak ini menciptakan penghalang alami yang bisa mengurangi tekanan persaingan. Kita dapat dan perlu mengambil keuntungan dari perubahan mendasar ini.
Ada lima kondisi yang diperlukan untuk dapat mengambil keuntungan: populasi, wilayah yang luas, keunggulan teknologi, besarnya permintaan lokal, dan ketersediaan sumber daya alam. Indonesia memiliki beberapa kondisi ini. Akan tetapi, Covid-19 juga menunjukkan kelemahan kita. Sebagai contoh, banyak pabrik harus menutup total operasi. Hal ini menandakan kita kurang memiliki keunggulan dalam bidang teknologi.
Ada lima kondisi yang diperlukan untuk dapat mengambil keuntungan: populasi, wilayah yang luas, keunggulan teknologi, besarnya permintaan lokal, dan ketersediaan sumber daya alam.
Data ketersediaan robot (sumber: Federasi Robotika Internasional) menunjukkan negara-negara dengan keunggulan teknologi 4th IR (revolusi industri generasi ke-4). Robot-robot industrial, mereka dapat dikendalikan secara otomatis dan digital. Beberapa di antaranya juga memiliki kemampuan belajar memperbaiki presisi dan akurasi dari tugas yang dilakukan. Robot juga tidak terpengaruh virus Covid-19.
Dalam hal ini, China muncul sebagai salah satu negara dengan stok robot industrial yang sangat tinggi. Dengan demikian, selama pandemi, ketika pekerja tinggal di rumah, sebagian tingkat produktivitas masih dapat dipertahankan. Pemulihan yang lebih cepat juga bukanlah hal yang mustahil karena pekerja, ketika kembali ke pabrik, tidak harus memulai dari nol.
Apa yang bisa RI lakukan
Covid-19 adalah krisis kesehatan masyarakat, tetapi darinya ada pelajaran dan juga kesempatan untuk memperbaiki diri. Yang terpenting, situasi ini menyadarkan kita akan kelemahan serta memberikan alasan yang kuat untuk segera bangkit dan mengatasi ketertinggalan.
Kita seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mereformasi struktur ekonomi. Kita bisa mengejar kemajuan teknologi dan kita harus melakukan itu. Kalau tidak, kita tidak hanya kehilangan bertahun-tahun pembangunan ekonomi, tetapi juga akan menjadi lebih miskin di tahun-tahun mendatang. Itu pun jika kita beruntung tidak ada pandemi lain yang menyerang.
Kemiskinan bisa menjadi lingkaran perangkap. Dunia belajar dari krisis keuangan global (global financial crisis/GFC) 2008-2009 yang menciptakan kemiskinan dan naiknya pengangguran. Dari situ, kita telah melihat di beberapa negara munculnya populisme.
Kita seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mereformasi struktur ekonomi.
Bahaya sebenarnya adalah pihak-pihak yang tidak bijaksana yang memanfaatkannya meski hal itu tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan semuanya dalam jangka panjang. Dan sekarang, Covid-19, untuk beberapa sektor ekonomi, bisa mengalami dampak penurunan sepuluh kali atau lebih merugikan daripada dampak GFC 2008-2009.
Kita perlu merelaksasi peraturan yang sejauh ini telah mengikat tangan dan kaki kita sendiri. Saya bertemu dengan Menteri Investasi Kamboja dan mereka selalu berhasil mempertahankan pertumbuhan sebesar 7 persen selama lebih dari 20 tahun. Mereka selalu bergerak memangkas peraturan yang merugikan diri sendiri.
Sekarang, Indeks Pembelian Manajer Indonesia telah mencapai rekor terendah dalam waktu singkat. Reformasi sangat diperlukan jika kita benar-benar bercita-cita untuk menjadi negara kaya pada tahun 2045. Kita harus menarik investasi dari negara-negara yang memiliki uang, tetapi kekurangan sumber daya seperti kita.
Tentu saja pembagian laba harus adil. Maka, kita perlu menempatkan sumber daya kita dan upaya terbaik untuk mengatasi ketertinggalan teknologi.
Itu tidak akan mudah. Mungkin akan lebih sulit dari waktu-waktu sebelumnya karena semua negara bersaing ketat untuk menarik investasi. Mengatasi ketertinggalan menjadi jauh lebih penting setelah Covid-19 ini.
Beberapa jenis obligasi pembangunan pemerintah yang hanya dijual kepada warga negara Indonesia mungkin juga dapat dibuat untuk mendanai transformasi struktural untuk mengatasi ketertinggalan ini. Kita perlu berpikir jauh ke depan, visioner, dan bersiap untuk bisa bangkit lagi dari hantaman Covid-19.
(Dato’ Sri Tahir Pendiri Mayapada Group; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia)