Covid-19 dan Pertobatan Ekologis
Jika kerusakan ini terus dibiarkan parah, tanpa adanya penanganan yang serius, patogen-patogen baru sejenis Covid-19 akan terus mengancam kita di masa mendatang.
Musibah Covid-19 mendesak kita merenungkan kembali sikap dan perilaku kita terhadap alam. Sebab, sulit dibantah, musibah ini muncul sebagai ancaman sekaligus resistensi balik alam terhadap kecongkakan kita selama ini. Alam tahu mempertahankan diri, menyembuhkan lukanya, dan bahkan tahu untuk memusnahkan spesies yang tidak lagi mendukung keberlanjutannya. Covid-19, yang sudah merenggut ratusan ribu nyawa, mesti dilihat dalam konteks ini.
Jeritan Bumi
Bumi, rumah kita bersama, sedang terkoyak. Percepatan perusakan lingkungan yang kita lakukan tidak sebanding dengan kemampuan Bumi untuk memulihkan diri. Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, melukiskan hal itu dengan nada prihatin dalam ensikliknya, Laudato Si (2015).
”Saudari kita ini,” begitu tulisnya, ”sedang menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan kepadanya. Sebab, tanpa tanggung jawab, kita menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Tuhan di dalamnya. Kita bahkan berpikir, kitalah pemilik dan penguasanya, berhak menjarahnya.”
Percepatan perusakan lingkungan yang kita lakukan tidak sebanding dengan kemampuan Bumi untuk memulihkan diri.
Lukisan keprihatinan ini menunjukkan, kerusakan yang dialami Bumi saat ini berkait kelindan dengan kerakusan kita manusia. Sikap, cara pandang, dan cara bertindak kita yang cenderung egoistis membuat bumi terpuruk. Bumi tidak dilihat sebagai ”saudari”, sebagai subyek hidup yang menyediakan segala hal yang kita butuhkan, tapi sebagai obyek eksploitasi untuk melayani hasrat konsumeris kita yang tak terbatas.
Mentalitas ini diperburuk oleh paradigma teknokratis, yang sering parsial dan fragmentaris. Paradigma itu nyata dalam penggunaan teknologi yang berlebihan, yang tidak memikirkan dampak buruknya bagi alam. Alih-alih ramah lingkungan, aneka bentuk penggunaan teknologi di bidang industri, transportasi, kesehatan, bioteknologi, dan nanoteknologi justru menjungkirbalikkan nilai intrinsik alam, yang luhur dan sakral.
Kita lupa bahwa hidup kita ini bergantung sepenuhnya pada alam. Bahwa kita menghirup udara dari alam, dihidupkan oleh kekayaannya, serta disegarkan oleh air yang disediakannya dengan cuma-cuma.
Kita tumbuh menjadi manusia-manusia pongah, yang tidak tahu berbalas budi. Inilah fakta miris seputar kemanusiaan kita di zaman ini, yang nyata-nyatanya membawa implikasi buruk bagi Bumi.
Jeritan kemanusiaan
Terkoyaknya Bumi dan tatanan ekosistem di dalamnya akan berdampak buruk bagi hidup kita sendiri. Kita akan kesulitan mengakses sumber daya alam yang vital untuk kehidupan, seperti air bersih, udara yang sehat, dan tanah yang subur untuk pertanian. Jeritan Bumi akan berujung pada jeritan kemanusiaan kita sendiri.
Hal itu sudah bisa kita rasakan sekarang. Dalam film dokumenternya, Home (2009), Yann Arthus-Bertrand menunjukkan itu, bahwa di Planet Bumi saat ini ada sekitar 1 miliar orang yang tidak memiliki akses pada air bersih. Hampir 1 miliar orang menderita kelaparan. Sementara itu, 50 persen perdagangan gandum justru diperuntukkan bagi kebutuhan makanan hewan dan biofuel.
Kita lupa bahwa hidup kita ini bergantung sepenuhnya pada alam.
Sebanyak 40 persen tanah garapan pertanian telah mengalami kerusakan jangka panjang. Setiap tahun, 13 juta hektar hutan lenyap. Tidak hanya itu, setiap 1 dari 4 mamalia, setiap 1 dari 8 ekor burung, setiap 1 dari 3 binatang amfibi juga terancam punah. Bahkan, saat ini, setiap spesies terancam kepunahan 1.000 kali lebih cepat daripada rasio alaminya.
Lebih parah lagi, temperatur rata-rata di Bumi dalam 15 tahun terakhir merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat. Lapisan es di kutub mengalami penipisan 40 persen dibandingkan 40 tahun lalu. Maka, diperkirakan akan ada 200 juta pengungsi akibat perubahan iklim pada 2050.
Perubahan iklim akan mengubah dunia kita ke dalam situasi tak menentu. Kemarau akan berkepanjangan, debit air menurun, suhu Bumi terus meningkat, permukaan laut naik, dan sebagainya. Belum lagi muncul aneka jenis penyakit baru akibat perubahan itu. Ini akan sangat menakutkan sebab kita akan kesulitan mempertahankan hidup.
Kita akan menerima akibat buruk dari kerakusan kita selama ini. Masa depan spesies manusia akan sangat suram. Apalagi sampai sekarang belum ada planet lain selain Bumi yang bisa dijadikan tempat tinggal yang layak untuk manusia.
Kita akan menyesal atas segala kerusakan yang sudah kita timpakan kepada Bumi.
Pertobatan ekologis
Jika mau bertahan hidup di planet ini, tak ada pilihan lain bagi kita selain mengoreksi diri dan mengubah sikap. Kita harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab baru akan pentingnya kehidupan ini, baik kehidupan kita sendiri dan makhluk-makhluk lainnya maupun kehidupan alam itu sendiri.
Kita harus akui, kerusakan lingkungan adalah suatu kejahatan kemanusiaan dan karena itu, yang harus dibereskan pertama-tama adalah sikap, cara pandang, dan cara berada manusia sendiri. Kita mesti memiliki komitmen dan tekad yang teguh untuk berubah, untuk beralih dari keterpusatan pada diri sendiri (egologi) kepada kepedulian yang holistik terhadap alam dan semua makhluk di dalamnya (ekologi). Inilah yang dimaksud dengan ”pertobatan ekologis”, yang ditunjukkan dengan merawat, memelihara, dan menyembuhkan alam dari lukanya.
Perubahan iklim akan mengubah dunia kita ke dalam situasi tak menentu.
Jika kerusakan ini terus dibiarkan parah, tanpa adanya penanganan yang serius, patogen-patogen baru sejenis Covid-19 akan terus mengancam kita di masa mendatang. Kita akan kesulitan mempertahankan hidup di planet ini dan spesies manusia pun akhirnya terancam punah. Ini akan jauh lebih mengerikan dari yang pernah kita bayangkan. Namun, risiko terburuk itu dapat dihindari jika kita serius melakukan pertobatan ekologis sejak sekarang.
(Joan Damaiko Udu Staf di Lembaga Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia)