Saya simpulkan bahwa bagi Gus Dur dan Megawati ada sifat khas yang jauh lebih penting dari timbangan umum yang meremehkan perilaku dan kebijakannya, yaitu jasa besar mereka berdua sebagai ikon melambangkan sesuatu.
Oleh
R William Liddle
·4 menit baca
Kinerja Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia keempat dan kelima umumnya diremehkan. Gus Dur yang dianggap paling tidak becus. Kabinetnya tidak pernah stabil dan kebijakan ekonominya bergeser terus antara pendekatan pro-pasar dan pro-proteksi. Ia dituduh korup.
Dari lantai yang amat rendah itu, Megawati lebih berhasil. Sampai 2004 kabinetnya stabil dan garis besar kebijakan ekonominya kembali ke jalan yang dirintis Presiden Soeharto dan tim ekonominya yang tersohor itu. Garis itu diikuti presiden ketiga, BJ Habibie, meski selama kariernya dia selalu melawan jejak para ekonom pro-pasar.
Namun, kepemimpinan Megawati tatkala dia berkuasa dianggap pasif, tak pernah membangkitkan semangat warga. Bahwa dia ditaklukkan pada 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mengejutkan banyak orang.
Jasa besar
Bagi sebuah penulisan, saya sedang meninjau kembali sumbangan dua presiden itu. Sementara ini, saya simpulkan bahwa bagi kedua-duanya ada sifat khas yang jauh lebih penting daripada timbangan umum yang meremehkan perilaku dan kebijakannya, yaitu jasa besar mereka berdua lebih tepat dilihat sebagai ikon yang melambangkan sesuatu.
Makna asli dari kata asing itu adalah patung atau gambar orang suci. Dan memang, dalam sejarah politik Indonesia mereka melambangkan sesuatu yang mungkin tak terlambangkan sebaik itu oleh tokoh lain.
Dalam pengertian sekuler, mereka termasuk santo-santo demokratisasi pasca-Soeharto.
Gus Dur melambangkan sekaligus umat Islam dan integrasinya dalam bangsa Indonesia. Dia punya riwayat panjang, baik sebagai tokoh LSM maupun agama
selama puluhan tahun. Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia, dipimpinnya selama dua masa jabatan.
Meski ada suara sumbang, kebanyakan di Timur Tengah, yang menganggapnya nyeleneh, dia diterima luas oleh umat Islam Indonesia. Termasuk kaum modernis yang tak selalu menyetujui (atau mengerti!) wawasannya. Dari dua kubu besar dalam politik Indonesia, nasionalis dan Islam, dia jelas berada di kubu Islam.
Meski ada suara sumbang, kebanyakan di Timur Tengah, yang menganggapnya nyeleneh, dia diterima luas oleh umat Islam Indonesia.
Secara pribadi, Gus Dur karismatis. Dia manfaatkan karisma itu untuk dua kegiatan yang bermanfaat sekali secara umum. Pertama, pluralisme agama atau penerimaan agama-agama lain sebagai bagian sah dari bangsa Indonesia. Dari awal kariernya, dia membuktikan terus-menerus komitmennya melalui kerja sama dengan tokoh dan organisasi agama lain, terutama Kristen dan Katolik.
Kedua, dia memperkenalkan ideologi demokrasi sosial dari Eropa dan berusaha keras supaya ideologi itu diterima umatnya. Misalnya, dia aktif dari awal di LP3ES, penerbit majalah sosial-ekonomi Prisma, alternatif berbobot kepada gaya Orde Baru yang sangat top-down dan otoriter. Namun, cara utamanya adalah lewat tulisan-tulisannya sebagai intelektual publik di banyak majalah dan koran, terutama Tempo.
Gaya dan isinya sering brilian. Yang paling memengaruhi saya adalah ”seri
kiai”-nya. Seri itu menjelaskan betapa para kiai yang belum terekspose kepada teori-teori asing, tetapi sudah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kuncinya: hikmah yang diperoleh dari pengalaman panjang yang berakar dalam pengetahuan agamanya.
Simbol resistensi dan jasa besar ke demokratisasi
Megawati melambangkan sekaligus tradisi nasionalisme sekuler dan perlawanan terhadap Soeharto. Ia membawa nama Soekarno, dibesarkan di istana dan diketahui luas sangat dekat dengan ayahnya. Tahun 1990-an, ia jadi simbol resistensi kepada Soeharto dan Orde Baru.
Awalnya, ketika Soeharto mengangkat Megawati sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sang jenderal berharap bisa memanfaatkan nama Soekarno untuk memperkuat kekuasaannya. Megawati tidak bersedia ditungganggi.
Ia menciptakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) selaku lawan dari dalam. Lalu ia menjadi pahlawan bagi seluruh oposisi, terutama segmen nasionalisnya. Oleh karena dua hal itu, nasionalisme dan resistensi, dalam Pemilu 1999, PDI-P jauh melebihi jumlah suara pendahulunya, Partai Nasional Indonesia (PNI), pada 1955.
Megawati melambangkan sekaligus tradisi nasionalisme sekuler dan perlawanan terhadap Soeharto.
Dari awal, Megawati jelas menghormati tentara, meski bukan doktrin Dwifungsi, sebagai bagian dari konstituensinya. Secara pribadi, ia dekat kepada sejumlah jenderal. Sebelum menjadi presiden, ia melawan keras pelepasan Timor Timur. Sebagai presiden, ia lekas putus asa dengan ulah Gerakan Aceh Merdeka, lalu mengirim tentara ke provinsi itu untuk membasminya.
Mungkin penerimaan hasil proses amendemen atas Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jasa paling besarnya kepada demokratisasi. Dengan tindakan itu, ia mengesahkan hasil itu bagi kebanyakan kaum nasionalis yang selama puluhan tahun mempertahankan versi aslinya ciptaan Soekarno.
Harap diingat: selama proses amendemen itu berjalan, Presiden Megawati berjuang keras untuk mencegahnya. Akhirnya ia menerima dan mengisyaratkan kepada pendukungnya yang paling Soekarnois pun bahwa mereka juga perlu menerima kenyataan tersebut.
Alhasil, jasa dua presiden ini selaku ikon perlu dipuji setinggi langit dan tak diremehkan lagi
(R William Liddle, Pemenang Anugerah Kebudayaan 2018; Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus OH, AS)