Besarnya persentase keinginan untuk tetap ibadah di rumah ibadah menandakan kuatnya arus kesalehan formal (formal piety) di tengah masyarakat.
Oleh
R Cecep Romli
·4 menit baca
Saat ini puluhan pemerintah daerah telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang terang melarang pembukaan rumah ibadah. Banyak masjid telah ditutup, tetapi tak sedikit masjid bahkan di wilayah PSBB masih membuka shalat berjemaah.
Fakta tersebut dikonfirmasi oleh temuan survei nasional SMRC, yang mengungkap 21 persen atau sekitar 40 juta warga dewasa Indonesia tak setuju dengan aturan PSBB untuk beribadah di rumah saja. Sejauh ini sudah tercatat 73 kasus terindikasi positif Covid-19 jemaah masjid Kebon Jeruk, kasus positif dan wafatnya satu anggota jemaah Masjid At-Taqwa Bengkulu, 10 kasus terindikasi positif jemaah masjid di Banyumas, dan kasus terindikasi positif 24 anggota jemaah Masjid Al-Muttaqien, Jakarta Utara.
Fakta itu menandaskan bahayanya ibadah bersama di rumah ibadah walau dengan protokol pencegahan Covid-19. Seperti dilaporkan WHO, Covid-19 bisa menular lewat penderita yang tampak sehat tanpa gejala (asymptomatic dan pre-symptomatic). Kasus teranyar, penularan lewat orang tanpa gejala) ini misalnya kasus terindikasi positifnya 10 anggota jemaah masjid di Kelurahan Kober, Banyumas, Jawa Tengah.
Banyak masjid telah ditutup, tetapi tak sedikit masjid bahkan di wilayah PSBB masih membuka shalat berjemaah.
Darurat kesalehan formal
Besarnya persentase keinginan untuk tetap ibadah di rumah ibadah menandakan kuatnya arus kesalehan formal (formal piety) di tengah masyarakat. Kondisi ini sangatlah darurat karena di tengah sengitnya pertempuran melawan pandemi, kesalehan formal malah berkubu dan berpihak kepada musuh.
Kesalehan formal adalah sikap keagamaan yang baru mampu memahami ibadah sebatas pada bentuk-bentuk formal kewajiban ibadah ritual (individual). Kesalehan ini belum mampu memahami konsep utuh ibadah, yang meletakkan nilai ibadah ritual justru pada ibadah substansial (sosial), sehingga tanpa kepedulian sosial, ibadah ritual pun menjadi tak bernilai dan sia-sia.
Kesalehan formal juga belum mampu memahami kesempurnaan dan fleksibilitas aturan agama yang dapat beradaptasi sesuai dengna perubahan situasi. Dalam situasi normal, misalnya, berjemaah yang paling utama di masjid. Tapi, pada saat perang kemerdekaan, shalat yang paling utama justru di mana pun di luar masjid agar tidak dilalap musuh.
Karena keterbatasan pemahaman, jangan harap kesalehan formal mampu memahami pada situasi darurat Covid-19 ini. Berjemaah di rumah justru lebih utama karena sumbangsih sekecil apa pun dalam memerangi pandemi justru merupakan jihad kemanusiaan.
Pengaruh kesalehan formal tidaklah kecil. Pertama, ia merasa dalam totalitas iman dan kepatuhan sehingga timbul kegigihan untuk mewujudkan keyakinan. Kedua, arus totalitas iman itu semakin kukuh akibat viralnya propaganda keagamaan.
Berjemaah di rumah justru lebih utama karena sumbangsih sekecil apa pun dalam memerangi pandemi justru merupakan jihad kemanusiaan.
Menangkalkesalehan formal
Dalam jangka pendek, tidak realistis mentransformasi kesalehan formal menjadi kesalehan sosial. Karena itu, tulisan ini menawarkan pendekatan otoritas, yang tegas menerapkan aturan dan imbauan secara lebih berwibawa.
Pendekatan ini perlu dua langkah. Pertama, rujukan kuat dan fleksibel pada berbagai fatwa lembaga ulama. Para pemegang otoritas pusat ataupun daerah tidak seyogianya terpaku pada satu fatwa ulama. Ini bukan hanya untuk meneguhkan legitimasi kebijakan, tetapi juga mendapat pertimbangan paling preventif atas darurat Covid-19.
Dari sisi tingkat prevensi, ada dua model fatwa. Pertama, fatwa yang menetapkan situasi darurat untuk seluruh wilayah nasional sehingga ketetapan bolehnya penutupan masjid oleh pemerintah pun berlaku secara nasional.
Model ini, misalnya fatwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Dewan Ulama Senior Al-Azhar Mesir.
Fatwa ulama Al-Azhar itu ditetapkan pada Minggu, 15 Maret, ketika kasus positif Covid-19 di Mesir baru 126 kasus, hari ketika di Indonesia angka positif Covid-19 baru 117 kasus, dan Presiden Jokowi pun telah mengeluarkan imbauan untuk beribadah di rumah.
Kedua, model fatwa MUI. Fatwa tertanggal 16 Maret ini tidak menetapkan situasi darurat nasional, tetapi menyerahkan kepada otoritas daerah untuk penetapan tingkat situasi darurat. Dengan demikian, menurut fatwa ini, ”orang yang sehat dan belum diketahui atau diyakini terpapar Covid-19” dan berada di kawasan belum darurat atau cukup darurat masih boleh beribadah di masjid. Hanya orang yang sudah terinfeksi, dan orang yang sehat, tetapi berada di kawasan darurat akut, yang dilarang berjemaah di masjid.
Dua model fatwa itu punya landasan hukum (fikih) yang kuat. Namun, untuk keperluan prevensi dini, tidak mudah mendeteksi ”orang yang sehat dan belum diketahui atau diyakini terpapar Covid-19”, karena virus ini dapat menular bahkan dari penderita yang tampak sehat-sehat saja. Memahami dua model fatwa ini, para pemegang otoritas dapat merujuk semua fatwa untuk saling menguatkan dan menghasilkan kebijakan yang paling preventif.
Memahami dua model fatwa ini, para pemegang otoritas dapat merujuk seluruh fatwa untuk saling menguatkan dan menghasilkan kebijakan yang paling preventif.
Langkah kedua, pengawasan di lapangan bagi rumah ibadah yang masih dibuka tentu mengedepankan imbauan. Namun, imbauan yang lebih berwibawa perlu dikawal langsung oleh polisi, tokoh agama, aparat kecamatan, dan tokoh masyarakat.