Ketika setiap hari pada jam tertentu jalan di tengah kota dijadikan tempat orang merayakan interaksi melalui simpul pertemuan paling alami bernama pasar, dari nostalgia, Salatiga seketika berubah menjadi utopia.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Ketika setiap hari pada jam tertentu jalan di tengah kota dijadikan tempat orang merayakan interaksi melalui simpul pertemuan paling alami bernama pasar, dari nostalgia, Salatiga seketika berubah menjadi utopia. Jalan Jenderal Sudirman—dulu namanya Jalan Solo—pada masa lalu adalah satu-satunya pusat keramaian di kota di lereng Gunung Merbabu itu. Jejaknya masih terasa sampai sekarang: penjual bunga tetap di tempat yang sama, begitu pun penjual jagung rebus dan alpukat, meski kemungkinan penjualnya anak atau bahkan cucu dari mbak penjual terdahulu.
Setiap hari orang dari desa-desa di sekeliling kota berjalan kaki membawa hasil bumi ke pusat kota. Tanpa alas kaki, mereka akrab dengan tanah. Kalau hasil bumi belum ada yang dipanen, dari daun pisang yang dilipat rapi sampai lidi yang dipotong kecil-kecil bisa jadi barang dagangan. Kalau tidak serakah, kebutuhan orang itu tidak banyak.
Jadi ingat Triennale Architecture di Oslo tahun 2013 yang saya ikuti semasa jadi wartawan. Dalam acara arsitektur yang tergolong besar di Eropa itu tidak ada orang membicarakan bangunan. Tidak terdengar istilah ”modern minimalis”. Yang dibicarakan adalah manusia dan cara hidup. Ada idealisasi terhadap suatu komunitas kecil, hidup secara komunal, menopang hidup dari sumber daya sekelilingnya.
Masih saya ingat ceramah arsitek dari Inggris, Carolyn Steel. Roknya terusan, mungkin lupa menyisir rambut, cerdas, kocak, dia memuncaki utopia dari gagasan kaum utopis. Menurut dia, kita ini kelewat mengabaikan apa yang masuk ke mulut kita sehari-hari: kopi dari Afrika, daging dari Australia, gandum dari Amerika, dan seterusnya.
Lebih dari dua abad kita menikmati perkembangan yang dibawa oleh Enlightenment, dengan kemajuan pemikiran dalam berbagai bidang, seperti arsitektur, sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, geografi, dan ekologi. Dari waktu ke waktu muncul pemikiran mengenai pendekatan yang sifatnya lebih holistik terhadap permukiman manusia, termasuk integrasi kota-desa, penguatan komunitas, kelangsungan alam, dan sebagainya.
Hanya saja, semuanya buntu begitu dihadapkan pada bayang-bayang persoalan besar globalisasi, urbanisasi, kapitalisme, harga minyak, kemiskinan, pemanasan global, dan sebagainya. Orang jadi tidak tahu lagi harus memulai dari mana. Bahasa Jawanya: awang-awangen.
Lalu Carolyn memberi jawaban pada diri sendiri: melalui makanan. Gagasan kaum utopis yang mengawang-awang hanya bisa dibumikan dengan makanan. Kebutuhan akan makanan sifatnya tak terhindarkan dan universal. Dari makanan, tanah utopia yang entah di mana letaknya kecuali di angan-angan dimungkinkan menjadi kenyataan.
Selama ini kepentingan kita akan makanan kita sepelekan, mandatnya kita berikan kepada pemerintah, politisi, kapitalisme global dengan jaringan supermarket, perusahaan agrobisnis, dan lain-lain. Mereka menjadi kuat dikarenakan cara, gaya hidup, dan ketidakpedulian kita.
Terlebih dengan kuasa dunia digital sekarang. Kesadaran kita dikuasai oleh semua hal kecuali hal yang nyata. Kita mengira segala sesuatu bisa diciptakan dengan otak-atik peranti digital, seperti cara milenial mencapai sukses yang membuat penguasa tercengang dan kemudian menganugerahi mereka proyek.
Pertanian dikira cuma soal instruksi menanam, bukan sebagai dunia lengkap dengan tradisi dan pandangan hidup atau world view. Sama mereka mengira dengan kartu prakerja lalu latihan dua jam secara online akan lahir penulis andal. Mereka tidak tahu bahwa menulis adalah tradisi, yang diperlukan hanya ikut naik ke gerbong dunia penulisan, dari punggung masih lurus sampai bengkok, dari kepala masih berambut sampai botak.
Dalam masa krisis ini, kota saya semasa kecil, Salatiga, kembali pada tradisinya. Berbeda dari milenial, dinosaurus seperti saya tidak bisa makan banalitas konten. Idealnya orang harus mampu bersandar pada kekuatan alam, makan hasil bumi dari lingkungan sendiri.
Oh ya, teman saya Anas Syahrul Amini yang memiliki Rajawali Indonesia pernah mementaskan band rock Europe di kota yang tak kalah agrarisnya dari Salatiga, Boyolali. Siapa tahu usai wabah dia membawa Deep Purple pentas di Salatiga. Saya akan telanjang dada, rongga tubuh terasa penuh dipompa paru-paru, tangan mengepal ke atas, dipicu gemuruh lagu ”Burn”.
Seperti gema pasar tradisional: tak ada yang lebih menggairahkan dari sesuatu yang nyata.