Sejak virus baru SARS CoV-2 merajalela, dunia bisnis terguncang. Indonesia, yang perekonomiannya banyak digerakkan sektor informal, dihadapkan pada realitas.
Oleh
LYNDA IBRAHIM Pengamat Gaya Hidup
·4 menit baca
Sejak virus baru SARS CoV-2 merajalela, dunia bisnis terguncang. Indonesia, yang perekonomiannya banyak digerakkan sektor informal, dihadapkan pada realitas. Pemandu pariwisata dan pelayan toko dirumahkan, pengemudi ojek aplikasi sepi order sampai tak mampu bayar kontrakan, juga pedagang bunga potong yang nyaris bangkrut karena matinya penjualan.
Realitas buruk tersebut ditambahi krisis alat pelindung diri (APD) layak bagi petugas medis. Juga keringnya dana operasional kebun-kebun binatang yang kemudian mengancam manajemennya untuk mengorbankan hewan herbivora bagi konsumsi karnivora. Itu karena pemerintahan Indonesia dililit birokrasi.
Hal luhur yang selalu muncul setiap saat negara ini mengalami krisis adalah kemurahan hati rakyatnya. Para filantropis membuka dompet, institusi menggalang dana kemanusiaan, bahkan yang tidak bergelimang harta pun terlihat menyisakan bagi yang lebih berkekurangan. Sungguh Pemerintah Indonesia beruntung punya rakyat yang sigap berderma. Saat birokrasi masih mempertengkarkan proses pengadaan, sektor kreatif bersama donatur mengirimkan berkardus-kardus APD ke rumah sakit rujukan dan menyebarkan ribuan masker kain untuk pekerja informal di jalanan.
Sayangnya, sebagian rakyat Indonesia sekarang mulai ketularan kebiasaan elite politik ribut berkepanjangan. Lebih konyol lagi, yang dipertengkarkan adalah ihwal donasi, pun saat Ramadhan.
”Buat apa donasi APD atau pakan hewan bonbin? Kan tanggung jawab pemerintah dari pajak kita!”
”Kenapa fokus ke ojek aplikasi? Mereka mitra start-up kelas unicorn! Itu pemulung lebih butuh!”
”Tidak ada yang ingat panti jompo? Para manula lebih rentan terinfeksi Covid-19!”
”Petani sayur tetap bisa jualan. Mana suaranya untuk petani bunga potong?”
”Posting ke medsos terus kalau berdonasi. Eksploitasi wajah orang miskin demi situ pansos, ya?”
Tak habis sumber perselisihan yang bisa dipantik. Apalagi di media sosial, orang makin tajam berkata-kata karena tak merasa berhadapan fisik.
”Anjing menggonggong, kafilah berlalu” pada umumnya adalah sikap bijak. Namun, kadang penggonggong perlu dicerahkan agar lebih produktif dan optimal.
Pertama, jika program donasi memakai uang Anda termasuk pajak, silakan awasi dengan cermat. Jumlahnya triliunan rupiah dan berpengaruh terhadap jutaan orang susah.
Angkat suaralah saat pelatihan prakerja ternyata tidak mumpuni membantu mencari pekerjaan baru, atau boros menghabiskan nilai kartu prakerja. Teriaklah jika ternyata daftar bansos jarang dimutakhirkan sehingga yang sudah wafat masih dikirimi sembako, sedangkan tetangganya luput karena baru bermukim setahun dan belum tercatatkan.
Apa lantas haram mengkritisi proyek donasi yang tidak memakai uang Anda? Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia memang melindungi kebebasan berpendapat, tetapi Anda juga punya kebebasan untuk menimbang kegiatan yang lebih produktif, efektif, efisien, dan optimal.
Pemulung, tukang sampah, pedagang keliling, dan lansia belum tersentuh? Tidak percaya dompet kemanusiaan yang ada?
Galanglah sendiri. Semampunya secara finansial, seoptimal mungkin secara logistik dari lokasi Anda. Ajak kawan-kawan untuk patungan. Banyak orang mau membantu, tapi tidak tahu kanal bantuan atau sulit percaya pada kanal yang ada. Donatur juga punya keprihatinan yang berbeda. Pahami jika ada yang memprioritaskan petani ketimbang pedagang starling (kopi keliling).
Identifikasi obyek bantuan, sepakati bentuk bantuan, catat rapi pemasukan dan pengeluaran, sebarkan sendiri sesuai daftar identifikasi Anda, dokumentasikan, dan laporkan kepada donatur. Jangan lupa pakai masker, sarung tangan, dan APD lain sebelum jalan membagikan.
Kok, ternyata jadi banyak, ya, yang harus dikerjakan? Memang turun bergiat lebih memakan energi dan waktu ketimbang mengkritisi orang lain sambil rebahan.
Tidak etis ”mengeksploitasi kemalangan”? Sepakat. Tapi jangan berasumsi dokumentasi diambil tanpa seizin penerima donasi.
”Tangan kiri tak perlu tahu tangan kanan berbuat apa” adalah sikap luhur yang patut diamalkan jika menyangkut uang pribadi. Ya, ada yang doyan pamer. Benar, ada kasus bupati yang melapisi bantuan Kementerian Sosial dengan stiker wajahnya. Namun, hantam kromo menuduh orang tidak beretika adalah etiket buruk tersendiri.
Pelabelan kemasan donasi dan pendokumentasian penyerahan merupakan kewajiban operator terhadap donatur karena banyak donatur yang tidak terlibat aktif dan operator berkesempatan nakal. Publikasi juga berfungsi untuk cek silang dari pihak penerima donasi, apalagi di era digital yang memungkinkan operator memanipulasi foto.
Makin besar donasi dan makin bervariasi donaturnya, makin rumit pula pertanggungjawabannya kepada publik. Sesuatu yang kadang sulit dipahami sampai Anda menjalankannya sendiri.
Merasa bisa melakukan lebih baik? Lekaslah bergerak. Jutaan warga negara Indonesia sedang dalam kesulitan. Lebih produktif dan optimal jika jemari menari di gawai untuk memobilisasi bantuan ketimbang berpolemik di media sosial berjilid-jilid.