Adakah peristiwa meletusnya Gunung Merapi, kemudian Anak Krakatau, Kerinci, dan Semeru pada April 2020 sama dengan yang diisyaratkan lukisan Raden Saleh? Benarkah letusan itu adalah tanda akhir merajalelanya korona?
Oleh
Agus Dermawan T
·5 menit baca
Di tengah pertempuran habis-habisan bangsa Indonesia melawan virus korona, masyarakat budaya dengan serta-merta diingatkan kepada sejumlah mitologi serta mitos. Dan mitologi serta mitos yang berkait dengan wabah penyakit itu kebanyakan terangkum dalam karya sastra, drama-tari, dan seni rupa. Beberapa di antara yang aksentuatif tercerita di bawah ini.
Dalam mahasastra Mahabharata ciptaan Begawan Wiyasa, terdapat episode yang berjudul ”Salyaparwa”. Isinya menceritakan saat-saat Prabu Salya diangkat menjadi panglima bala tentara Kurawa untuk melawan pasukan Pandawa, dalam perang Bharatayudha di medan Kurusetra.
Salya adalah paman dari Nakula dan Sadewa, anggota keluarga Pandawa. Karena itu, Salya juga sangat menyayangi Pandawa. Namun, Salya terpaksa membela Kurawa lantaran hampir selama hidup ia bernaung di bawah kerajaan Astinapura, milik Kurawa. Sementara itu, ia tahu benar bahwa perang dua kelompok adidaya itu sesungguhnya akan berujung sia-sia.
Maka pada saat berada di Kurusetra, Salya ingin memberi kesadaran kepada Kurawa dan Pandawa. Caranya, ia mengeluarkan aji (kekuatan bertuah) Candrabirawa. Aji itu berupa wabah penyakit yang gampang menular dan sangat mematikan, melebihi virus korona.
Aji itu lantas disemburkan ke ribuan prajurit di kedua belah pihak, sampai mereka bergelimpangan menemui ajal. Modus Salya adalah untuk menuntun pikiran kedua pihak ke jalan perdamaian. Ya, apabila semua prajurit sudah mati, apakah masih perlu para pemimpinnya mengejar ambisi?
Salya akhirnya berhasil dikalahkan oleh ”musuh” yang ia pilih sendiri, Yudhistira, anggota tertua dari Pandawa. Sebelum kematiannya Salya berkata : ”Hanya orang rendah hati dan sabar yang bisa mengalahkan ketinggian ilmu saya. Hanya orang yang waspada dan mau terus bertanya yang mampu mengusir musuh apa pun bentuknya.”
Sementara di terop sana ki dalang wayang Jawa ikut menegaskan: cuma orang yang lila lamun kelangan nora gegetun (bersikap rela sepenuhnya terhadap apa pun yang terjadi) yang bisa meredakan wabah aji Candrabirawa.
Begitu Salya gugur, wabah segera sirna. Menguap lumat dibakar matahari, dihisap habis sinar rembulan dan jutaan bintang. Dan peperangan dua kelompok adidaya pun berangsur surut.
”Gerubug” Calonarang
Dari sastra Mahabharata kita boleh menuju ke mitologi yang berasal dari Kediri dan populer Bali. Syahdan pada abad ke-11 penduduk di Daha, ibu kota kerajaan Kediri, Jawa Timur, mendadak terserang gerubug atau wabah. Ribuan orang mati. Para empu pun berkumpul untuk mencari asal-muasal wabah. Sampai akhirnya diketahui bahwa yang mencipta wabah itu adalah Calonarang, wanita yang memiliki dan mempraktikkan ilmu hitam.
Calonarang melakukan perbuatan jahat itu tersebab ia kecewa: betapa putrinya yang cantik, Diah Ratna Menggali, tak kunjung disunting orang. Para lelaki memang tak berani menyunting Diah lantaran ada mitos bahwa jika ibunya berilmu hitam, pasti putrinya juga sejalan. Calonarang sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu. Ia pun main gerubug.
Para empu lantas menasihati Empu Bharadah, sang Raja Kediri. Bharadah diminta untuk mengawinkan putranya yang bernama Bahula dengan Diah. Tujuannya bukan untuk berumah tangga, melainkan untuk mencuri rahasia ilmu gerubug Calonarang. Dengan diketahui rahasianya, maka bisa diciptakan ilmu putih untuk memerangi wabah tersebut.
Mitologi ini pada abad-abad setelahnya dibawa ke Bali dan dijadikan drama-tari Calonarang. Di atas pentas, sosok Calonarang terwujud sebagai makhluk seram bernama rangda, yang dalam operasinya dibantu leak, si setan kegelapan. Namun, upaya rangda dan leak untuk menyebarkan wabah selalu berhasil ditumpas oleh barong, simbol dari manusia berani, kuat, tak pernah menyerah, waras, rasional, berilmu lurus, dan banyak akal.
Apa yang diusung sebagai pesan dalam cerita kuno Calonarang ternyata tidak berbeda dengan apa yang dipikirkan manusia masa sekarang kala menghadapi korona. Bahwa wabah sesungguhnya adalah buah dari ulah manusia yang sedang alpa. Dan bahwa kealpaan itu hanya bisa dikalahkan dengan kewarasan, yang dalam praktiknya mengolah rasionalitas ilmu pengetahuan dan akal.
Gunung meletus
Lalu, kapan serangan wabah akan berhenti atau mati sama sekali? Sebagian masyarakat tradisional Jawa mengatakan: ketika gunung-gunung di seputar hegemoni wabah itu meletus! Mitos ini dipercaya lantaran dianggap mengacu kepada keseimbangan kosmis, dan hasil perjalanan mistis masyarakat Jawa-Mataraman. Dari sini kita boleh mengingat seri lukisan Raden Saleh, Gunung Merapi Meletus, ciptaan 1865.
Syahdan pada tahun itu Raden Saleh bersama HJC Hoogeveen (Residen Kedu) dan Dr Hillebrandt (utusan Raja Sandwich Islands) berkunjung ke Jawa Tengah. Hoogeveen terpikat kepada keindahan Gunung Merapi yang sedang mengalirkan lahar. Ia lantas mengajak rombongan kecilnya untuk menetap di kaki gunung itu beberapa lama. Di situ Saleh diminta melukis estetika aliran lahar gunung.
Mitos ini dipercaya lantaran dianggap mengacu kepada keseimbangan kosmis dan hasil perjalanan mistis masyarakat Jawa-Mataraman.
Namun, alih-alih lahar indah yang ditatap, Saleh justru menunggu gunung itu meletus, yang akhirnya terjadi pada 24 Oktober dan 28 Desember. Maka di kanvas-kanvas Saleh pun muncul gambaran Gunung Merapi menyemburkan lahar dahsyat, pada saat siang hari, senja hari, dan malam hari.
Baharudin MS, penulis buku Raden Saleh (1807-1880): Perintis Seni Lukis Indonesia bertutur di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. ”Menurut keluarga Soekondo Bustaman, lukisan itu adalah bentuk dari pengharapan, visualisasi dari doa.” Lukisan Gunung Merapi meletus tersebut dijunjung sebagai isyarat berakhirnya pagebluk wabah malaria (Plasmodium Malariae), yang secara berkala tak henti melanda Jawa.
Itu sebabnya, ketika Hoogeveen dalam Tochten naar de Merapi in Midden Java menulis bahwa gunung itu merupakan hel en het koninkrijk van de duivel (neraka dan kerajaan iblis), Saleh dikabarkan marah besar. Sayang Soekondo (keturunan Raden Saleh) dan Baharudin tidak menuliskan bab mitos ini dalam buku-bukunya yang berpretensi ilmiah.
Yang jadi pertanyaan, adakah peristiwa meletusnya Gunung Merapi, kemudian Anak Krakatau, Kerinci, dan Semeru pada April 2020, sama dengan yang diisyaratkan lukisan Raden Saleh? Artinya, benarkah letusan itu adalah tanda akhir merajalelanya korona? Semoga saja. Walaupun kenyataannya setelah gunung-gunung itu njebluk si korona masih ada di mana-mana.