Belum dua bulan Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN, pemerintah menaikkan lagi iuran JKN.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Belum dua bulan Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN, pemerintah menaikkan lagi iuran JKN.
Padahal, kita tahu saat ini situasi sedang sulit. Pandemi Covid-19 berdampak luar biasa pada ekonomi. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah berlangsung kurang lebih dua bulan memandekkan perekonomian.
Banyak perusahaan memotong gaji karyawannya, merumahkan, atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Sementara para pekerja mandiri susah bertransaksi. Bisa jadi, mereka bagian dari 115 juta orang yang menurut Bank Dunia masuk kategori aspiring middle class atau calon kelas menengah yang kini terdampak.
Dengan 18 daerah yang menerapkan PSBB, pertumbuhan ekonomi musiman lewat konsumsi rumah tangga saat Ramadhan juga terhambat. Bahkan, dapat dipastikan tak terjadi efek Lebaran sebab ada larangan mudik dari pemerintah. Apa boleh buat, inilah yang harus kita jalani bersama sebagai bagian dari upaya membebaskan masyarakat dari rantai penularan Covid-19.
Namun, dalam situasi ini, pemerintah kembali menaikkan iuran JKN. Di satu sisi, harus diakui bahwa selama tujuh tahun perjalanannya, JKN banyak membantu masyarakat Indonesia mengatasi mahalnya biaya kesehatan. Hingga 2019, jumlah peserta JKN lebih dari 224 juta. Dari jumlah itu, 60 persen adalah peserta penerima bantuan iuran atau masyarakat miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah melalui APBN atau APBD.
Di sisi lain, JKN terus mengalami defisit pembiayaan. Anggaran terbesar digunakan untuk membiayai penyakit tidak menular. Menurut Laporan Keuangan BPJS Kesehatan 2018, biaya untuk penyakit jantung Rp 10,5 triliun; kanker Rp 3,4 triliun; stroke Rp 2,6 triliun; gagal ginjal Rp 2,4 triliun, dan diikuti talasemia, hemofilia, sirosis, dan leukemia.
Ketidakseimbangan pembiayaan menyebabkan defisit JKN terus membengkak. Menteri Kesehatan Nila Moeloek (2019) menyebutkan, defisit naik dari Rp 1,9 triliun (2014) menjadi Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp 13,8 triliun (2017), dan Rp 19,4 triliun (2018).
Kita memahami, asuransi kesehatan bekerja dengan cara mengubah risiko sakit menjadi biaya sehingga bisa menjamin pembiayaan kesehatan tanpa menjadi beban. Besar biaya dihitung dari manfaat yang dijaminkan dan kondisi kesehatan masyarakat. Semakin luas cakupan manfaat dan masalah kesehatan yang dihadapi, semakin besar pula biayanya.
Oleh karena itu, alih-alih membebani masyarakat dengan kenaikan iuran JKN di masa sulit ini, sesungguhnya pemerintah perlu mempertimbangkan banyak hal. Efisiensi dan efektivitas JKN, misalnya, menjadi pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum juga digarap.
Padahal, berpijak dari sini, pemerintah bisa mengkaji ulang pilihan intervensi. Dari mengurangi cakupan manfaat pertanggungan, menambah dana talangan pemerintah, hingga menunda kenaikan sampai kondisi ekonomi masyarakat kembali normal.