Perpajakan di Tengah Pandemi
Pengenaan pajak terhadap perusahaan e-dagang asing tak dapat diterapkan karena tak proporsional dengan tujuan penanganan pandemi. Kebijakan ini dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Kebijakan pemerintah untuk meminimalkan dampak Covid-19 pada perekonomian nasional, antara lain, diformulasikan dalam bentuk insentif pajak dan penyesuaian beberapa ketentuan peraturan perundangan di bidang pajak.
Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menkeu Nomor 23/PMK.03/ 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak (WP) Terdampak Wabah Virus Korona (PMK 23/2020) dan Pasal 4-10 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Berdasarkan dua produk hukum ini, kebijakan perpajakan di tengah pandemi bisa dikelompokkan jadi kebijakan relaksasi perpajakan dan pengetatan perlakuan pajak terhadap WP dan jenis usaha tertentu. Relaksasi yang diatur dalam PMK No 23/2020 diwujudkan melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) untuk penghasilan yang diterima pegawai (PPh Pasal 21), PPh yang dibayarkan saat importasi barang (PPh Pasal 22), PPh yang dibayarkan sebagai angsuran pajak tahun berjalan (PPh Pasal 25), dan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berupa pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Relaksasi perpajakan yang diatur dalam Perppu No 1/2020 diberikan dalam bentuk pengurangan tarif PPh untuk WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, perpanjangan waktu pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan, dan perluasan jenis barang impor yang dapat diberikan fasilitas kepabeanan. Adapun kebijakan yang memperketat perlakuan pajak diwujudkan melalui pengaturan tentang perlakuan pajak dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik, sesuai ketentuan yang terdapat pada Pasal 6-7 Perppu No 1/2020.
Berdasarkan dua produk hukum ini, kebijakan perpajakan di tengah pandemi bisa dikelompokkan jadi kebijakan relaksasi perpajakan dan pengetatan perlakuan pajak terhadap WP dan jenis usaha tertentu.
Catatan kritis
Ada empat catatan kritis yang dapat diajukan terhadap kebijakan perpajakan di tengah pandemi. Pertama, kebijakan relaksasi yang diambil pemerintah didasari asumsi bahwa kegiatan usaha masih dapat berjalan dengan baik di tengah pandemi. Artinya, insentif PPh yang diberikan berdasarkan kedua beleid itu mengasumsikan pegawai masih dapat bekerja dan perusahaan masih dapat meraup laba usaha.
Padahal, studi Berger et al (IMF Blog, 2020) menunjukkan produksi industri dan penjualan ritel di China turun hingga 20 persen Januari-Februari 2020 dibandingkan dengan periode sama 2019. Matthews and Bloomberg (Fortune.com, 10/3/2020) juga mengungkap menurunnya permintaan konsumen, khususnya di AS, tak dipengaruhi kemampuan finansialnya, melainkan karena mereka menghindari bepergian dan mengunjungi tempat ramai, seperti bioskop dan teater.
Dengan demikian, relaksasi berupa insentif PPh Pasal 22, PPh Pasal 25, insentif PPN, penurunan tarif PPh, dan insentif kepabeanan tidak tepat sasaran. Penghentian kegiatan industri dan penjualan ritel di tengah pandemi Covid-19 berkaitan dengan kebijakan pembatasan pergerakan manusia. Artinya, kerugian operasional adalah sebuah keniscayaan sehingga tak ada PPh terutang.
Alternatif kebijakan yang dapat diambil, antara lain, berupa depresiasi dan amortisasi yang dipercepat (accelerated depreciation and amortisation) dan pengurangan kerugian tahun berjalan dari keuntungan di tahun-tahun sebelumnya (loss carry back) sehingga perusahaan dapat memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi pajak). Melalui kebijakan ini, arus kas (cash flow) perusahaan dapat terjaga walaupun laba usaha minimum atau tak ada.
Demikian pula dengan kebijakan PPh ditanggung pemerintah. Data BPS menunjukkan, inflasi Maret 2020 sebesar 0,1 persen, dan Januari-Maret 2020 sebesar 0,76 persen. Artinya, peningkatan kemampuan membeli dari konsumen tak jadi prioritas di tengah pandemi.
Bahkan, tambahan kemampuan membeli yang timbul akibat PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah dapat memicu belanja panik dan mendorong konsumen untuk bepergian atau melakukan kegiatan lain yang tak sejalan dengan kebijakan penanggulangan penyebaran Covid-19. Sementara itu, gelombang PHK disinyalir akan jadi tren beberapa waktu ke depan. Artinya, jumlah penerima manfaat dari kebijakan insentif PPh Pasal 21 akan relatif sedikit.
Data BPS menunjukkan inflasi Maret 2020 sebesar 0,1 persen dan Januari-Maret 2020 sebesar 0,76 persen.
Kedua, kebijakan relaksasi hanya menyasar kegiatan usaha di manufaktur. Argumen ini disimpulkan dari 440 klasifikasi lapangan usaha WP yang dapat memperoleh insentif PPh Pasal 21 dan 102 klasifikasi lapangan usaha WP yang dapat memperoleh insentif PPh Pasal 22, Pasal 25, dan PPN. Padahal, kontraksi perekonomian juga dialami pasar modal.
Sejak penetapan Covid-19 sebagai pandemi oleh WHO 11 Maret 2020, Indeks Harga Saham Gabungan turun 688,06 basis poin per 1 April 2020. Seharusnya, insentif pajak juga diberikan ke pasar modal untuk meyakinkan investor agar menahan dananya lebih lama. Misalnya, insentif pajak diberikan dalam bentuk pengurangan tarif PPh Pasal 26 atas keuntungan karena pengalihan harta (capital gains), jika harta (misal, saham) tak dialihkan dalam periode tertentu.
Ketiga, kebijakan relaksasi perpajakan hanya mereduksi fungsi budgeter dari pajak tanpa mengimbanginya dengan optimalisasi fungsi mengatur dari pajak. Dalam konteks penanganan pandemi Covid-19, potensi penerimaan negara yang hilang dari pemberian insentif pajak sedapat mungkin berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan pandemi itu. Misalnya, insentif pajak dapat diberikan bagi perusahaan manufaktur yang dapat melakukan alih produksi untuk memproduksi alat-alat yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi.
Dalam rangka mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan memfasilitasi pengumpulan dana swadaya oleh masyarakat dalam penanganan pandemi, pemerintah dapat merelaksasi aturan tentang sumbangan penanggulangan bencana nasional yang diatur di PP No 93 Tahun 2010. Bentuk relaksasi bisa berupa kenaikan batasan sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kebijakan ini dapat mendorong WP memberikan sumbangan dalam rangka penanganan pandemi.
Kebijakan luar biasa
Keempat, kebijakan pengetatan perlakuan pajak terhadap kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik tak proporsional dengan tujuan penerbitan perppu, yaitu untuk mengantisipasi dampak Covid-19 pada perekonomian nasional. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan DPR saat akan mengesahkan Perppu No 1/2020 jadi UU. Pertama, pengaturan pengenaan pajak terhadap kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) tak mendesak untuk diatur dalam sebuah perppu.
Selain karena konsep pajak ini masih cair, pengenaan pajak ini secara unilateral justru bertentangan dengan hasil KTT G-20 yang pada Juni 2019 sepakat mencapai konsensus tentang pengenaan pajak ini akhir 2020. Selain itu, pengenaan pajak terhadap perusahaan e-dagang asing secara sepihak dapat memicu perang dagang yang hampir terjadi antara Perancis dan AS. Presiden Perancis akhirnya sepakat menunda pengenaan pajak terhadap perusahaan e-dagang asing, termasuk raksasa Amazon dari AS.
Dalam konteks penanganan pandemi Covid-19, potensi penerimaan negara yang hilang dari pemberian insentif pajak sedapat mungkin berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan pandemi itu.
Ketika layanan e-dagang tak disediakan perusahaan ritel lokal, konsumen akan beralih ke e-dagang asing. Dengan adanya pengenaan pajak pada perusahaan e-dagang asing, perusahaan itu dapat mengalihkan beban pajaknya ke konsumen. Akhirnya, keadaan luar biasa perlu direspons dengan kebijakan yang luar biasa pula.
Di satu sisi, ini berarti bentuk kebijakan usang seperti PPh ditanggung pemerintah tak lagi relevan. Di sisi lain, ini kebijakan out of the box berupa pengenaan pajak terhadap perusahaan e-dagang asing tak dapat diterapkan karena tak proporsional dengan tujuan penanganan pandemi. Selain tak mendesak, kebijakan ini juga dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan masyarakat di tengah terbatasnya mobilitas mereka.
(Adrianto Dwi Nugroho, Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM; Doktor dari University of Helsinki, Finlandia)