Menyelamatkan Industri Pers Nasional
Jika krisis ekonomi tak segera berlalu, banyak perusahaan media berada pada batas akhir kemampuan bertahan hidup. Daya hidup beberapa media hanya berada dalam hitungan bulan.
Sektor media adalah salah satu sektor yang tetap harus bekerja saat krisis melanda negeri ini akibat pandemi Covid-19. Sulit dibayangkan, apa jadinya jika krisis ekonomi sedemikian buruk sehingga memaksa banyak media massa gulung tikar atau melakukan pemutusan hubungan kerja massal?
Instrumen terpenting—meski bukan satu-satunya—komunikasi massa yang selama ini jadi jembatan komunikatif-informatif antara negara dan warganya berhenti beroperasi. Sementara keberhasilan menanggulangi Covid-19 ditentukan keberhasilan dalam menjalankan komunikasi massa. Sebaliknya, pengalaman banyak negara menunjukkan, kegagalan penanganan Covid-19 bermula dari kecenderungan meremehkan segi-segi komunikasi massa dalam situasi krisis.
Pers berperan menyajikan arus informasi tepercaya tentang pandemi Covid-19 berikut analisis yang memadai sehingga dapat jadi pijakan publik ataupun pemerintah menilai keadaan dan memutuskan tindakan antisipatif. Di tengah simpang siur kabar tentang skala penyebaran virus dan wacana yang asimetris tentang tingkat kegentingan situasi, pers berperan untuk menjernihkan kenyataan dan mencerahkan pemahaman masyarakat.
Pers berperan menyajikan arus informasi tepercaya tentang pandemi Covid-19 berikut analisis yang memadai sehingga dapat jadi pijakan publik ataupun pemerintah menilai keadaan dan memutuskan tindakan antisipatif.
Jika dalam keadaan normal saja peran ini sangat dibutuhkan, apalagi dalam keadaan darurat seperti sekarang. Dalam keadaan isolasi diri atau isolasi sosial yang sedang berlangsung, jelas sekali kebutuhan masyarakat akan informasi semakin tinggi.
Meski demikian, perlu ditegaskan, pers harus berhati-hati dalam memberitakan perkembangan Covid-19. Perlu dihindari penyajian berita-berita yang spekulatif, hiperbolis atau dramatis, yang alih-alih mendinginkan suasana, justru memicu kebingungan atau keresahan dalam masyarakat.
Namun, seperti diketahui, pandemi Covid-19 melahirkan krisis ekonomi serius. Berbagai sektor industri di Tanah Air menghadapi masa-masa suram. Tanpa terkecuali, krisis juga memukul industri media massa nasional. Bayang-bayang PHK karyawan atau penghentian operasi semakin nyata ketika industri media massa nasional dihadapkan pada perfoma bisnis yang menurun drastis, sebagaimana juga terjadi di sektor lain.
Jika krisis ekonomi tak segera berlalu, banyak perusahaan media berada pada batas akhir kemampuan bertahan hidup. Daya hidup beberapa media hanya berada dalam hitungan bulan. Dalam konteks inilah, sangat dibutuhkan langkah konkret negara untuk membantu industri media, para wartawan dan para pekerja media yang terdampak krisis akibat pandemi Covid-19.
Insentif atau subsidi negara sangat mendesak diberikan dalam hal ini. Bukan hanya untuk menyelamatkan industri media dari kebangkrutan, melainkan juga untuk mempertahankan arus informasi dan komunikasi yang mendukung upaya penanggulangan krisis akibat pandemi. Ruang pemberitaan pers yang proporsional, beretika, dan mencerahkan kian relevan pada situasi krisis seperti sekarang ini.
Memberikan insentif atau subsidi untuk industri pers juga merupakan investasi jangka panjang. Pers profesional sejauh ini ibaratnya sparring partner yang menguatkan kinerja pemerintah. Pers profesional memang sering hadir dengan kritik-kritik yang menjengkelkan pemerintah. Namun, kritik itu sebenarnya juga berfungsi sebagai energizer yang memberikan energi tambahan buat pemerintah untuk bertindak lebih baik dan cekatan dalam menangani masalah publik.
Insentif atau subsidi negara sangat mendesak diberikan dalam hal ini.
Tanpa bermaksud mengabaikan kelemahan pers dalam menaati Kode Etik Jurnalistik, pers adalah mesin penggerak demokrasi dan deliberasi. Pers adalah lokus utama perwujudan hak publik untuk memperoleh informasi dan mengontrol penyelenggaraan kekuasaan.
Menyelamatkan ekosistem pers melalui insentif ekonomi atau subsidi dalam situasi krisis saat ini memiliki makna ganda. Langkah penyelamatan ini bukan hanya untuk memastikan pers tetap berfungsi menyediakan arus informasi dalam situasi krisis Covid-19, melainkan juga sebuah upaya menyelamatkan demokrasi dalam jangka panjang.
Kita butuh ruang publik media yang deliberatif dan demokratis bukan hanya dalam keadaan krisis saat ini saja, melainkan juga pada keadaan pascakrisis. Banyak pihak menyebutnya keadaan normalitas baru yang belum diketahui secara persis seperti apa bentuknya.
Melalui Menkeu, pemerintah telah mengesahkan insentif ekonomi untuk berbagai sektor ekonomi, termasuk industri media. Langkah yang patut diapresiasi. Namun, tampaknya insentif itu baru sebatas meringankan beban industri media dan belum sampai menyelamatkan. Untuk melengkapi insentif ini perlu dipertimbangkan beberapa skema berikut, sebagaimana sedang diperjuangkan di negara-negara lain.
Beberapa insentif ekonomi
Pertama, alokasi anggaran pemerintah untuk kerja sama pariwara dengan perusahaan media semestinya tak dikurangi atau dihapus. Pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah sebagian besar telah memangkas anggaran kerja sama pariwara ini dengan alasan yang bisa dipahami, yakni realokasi untuk menopang program penanggulangan Covid-19.
Namun, secara faktual, realokasi anggaran kerja sama pariwara ini memukul daya hidup banyak perusahaan pers dan dapat memicu gelombang PHK karyawan perusahaan pers. Perlu dipertimbangkan agar alokasi anggaran pemerintah untuk kerja sama pariwara dengan perusahaan pers tak dikurangi, tetapi secara resiprokal perusahaan pers juga mesti berkomitmen tak melakukan PHK karyawan atau semacamnya.
Skema serupa diajukan oleh asosiasi media tertua di Inggris, National Union of Jurnalists (NUJ), serta International Federation of Journalist (IFJ), sebuah organisasi internasional beranggotakan 600.000 wartawan dari 146 negara di dunia.
Namun, secara faktual realokasi anggaran kerja sama pariwara ini memukul daya hidup banyak perusahaan pers dan dapat memicu gelombang PHK karyawan perusahaan pers.
Kedua, IFJ menyerukan kepada semua negara untuk memberikan dukungan prioritas kepada para wartawan, termasuk wartawan lepas, untuk memperoleh bantuan jaring pengaman sosial, upah minimum nasional, serta pembebasan dari tanggungan membayar Pajak Penghasilan.
NUJ dan IFJ juga menganggap negara perlu memberikan kredit pajak dan pinjaman lunak atau tanpa bunga untuk membantu para wartawan, khususnya yang berada di garda depan peliputan krisis Covid-19.
Untuk konteks Indonesia, skema ini semestinya bukan hanya untuk para wartawan, melainkan juga semua karyawan perusahaan media. Dengan memberikan bantuan jaring pengaman sosial dan memastikan karyawan perusahaan media memperoleh gaji sebesar upah minimum nasional, negara melakukan dua hal sekaligus: menyelamatkan institusi pers agar tetap menjalankan fungsinya dalam situasi krisis sekaligus menghindari terjadinya PHK massal di sektor industri media.
Ketiga, seperti direkomendasikan NUJ dan IFJ, sudah saatnya negara memaksimalkan pungutan pajak pendapatan dari lima perusahaan platform global, yaitu Google, Apple, Facebook, Amazon, dan Microsoft (GAFAM). Para penguasa jagat digital ini dianggap belum sepenuhnya membayar pajak pendapatan di sebagian besar negara tempat mereka berbisnis.
IFJ memperkirakan nilai pendapatan itu di seluruh dunia secara akumulatif mencapai 900 miliar dollar AS. Dengan pajak pendapatan 6 persen, akan diperoleh dana 54 miliar dollar AS. Dengan mempertimbangkan peran media massa dalam proses ini, IFJ dan NUJ berpandangan dana ini layak dikelola serikat pekerja media bersama-sama dengan organisasi perusahaan media untuk memajukan dan menyelamatkan institusi jurnalisme.
Keempat, NUJ dan IFJ mendorong negara mendanai langganan gratis media cetak dan media online untuk generasi muda di bawah usia 19 tahun. Hal ini sejalan dengan komitmen UNESCO untuk memberikan akses generasi muda ke ranah ilmu pengetahuan dan informasi secara digital.
NUJ dan IFJ juga mengusulkan potongan pajak berlangganan media cetak dan online untuk konsumen rumah tangga. Jumlah pelanggan yang stabil atau mengalami pertumbuhan diasumsikan akan membantu daya hidup media massa.
Subsidi harga kertas yang memadai akan membantu daya hidup media massa cetak karena harga kertas yang mengikuti pergerakan kurs rupiah atas dollar AS merupakan beban utama dalam proses produksi media massa cetak.
Seperti industri buku, industri media massa secara langsung menopang proses deliberasi dan peradaban publik.
Lima skema insentif dapat dilihat sebagai skema yang bersifat komplementer atau sebaliknya opsional. Misalnya, jika skema pertama telah diakomodasi negara, skema kedua barangkali tidak diperlukan lagi.
(Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers)