Seniman menanggung dampak wabah korona baru. Pelbagai profesi lain, juga industri dan korporasi, ikut merasakan dampak wabah korona.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Taksih istirahat, Pak, amargi pandemi. Dados mboten wonten pemasukan.” (Sedang istirahat, Pak, karena pandemi. Jadi, tidak ada pemasukan.)
Begitu jawaban seorang pemain wayang orang saat Kompas menanyakan kondisinya saat ini. ”Pak, berminat membeli gitar dan biola? Seorang pemain kami mau menjualnya. Butuh uang segera,” tutur penyanyi keroncong, mewakili temannya.
Hal itu gambaran muram seniman saat pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat wabah Covid-19. Tentu seniman tidak sendirian dalam menanggung dampak wabah korona baru. Pelbagai profesi lain, juga industri dan korporasi, ikut merasakan dampak wabah korona.
Untuk kesenian pun besar kemungkinan ruang virtual akan dieksploitasi sebagai ”panggung” atau ”ruang pertunjukan” baru
Sebagian menemukan jalan. Grup Drama Wayang Swargaloka yang semula berencana tampil pada 31 Maret 2020 menangguhkan pementasan, tetapi menghadirkan premier lakon ”Sang Penjaga Hati” secara daring pada 8 Mei lalu.
Upaya menghadirkan karya seninya tercapai, tetapi apakah upaya itu menghasilkan pemasukan, dari tiket atau sponsor, seperti pementasan biasa. Kemungkinan besar ”tidak” atau ”belum”. Hal ini pula kesan yang kita tangkap ketika membaca berita di harian ini tentang seniman yang belum siap memonetisasi ruang virtual (Kompas, 13/5/2020).
Kita belum tahu kapan wabah korona akan berakhir dan kehidupan berjalan normal kembali. Namun, para penerawang masa depan meyakini adanya (kondisi) ”normal baru”. Untuk kesenian pun besar kemungkinan ruang virtual akan dieksploitasi sebagai ”panggung” atau ”ruang pertunjukan” baru di era ”normal baru”.
Dalam berita Kompas itu disebutkan, seniman belum siap memonetisasi atau menghasilkan uang dari ruang virtual. Kita tahu, pihak yang sukses memanfaatkan ruang virtual adalah yang bergerak di perdagangan elektronik. Era pandemi dan PSBB meningkatkan transaksinya secara fenomenal. Hal ini yang diamati Staf Khusus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Digital dan Industri Kreatif Ricky J Pesik.
Kita menangkap pesan, seniman perlu mempersiapkan diri bermigrasi ke ruang virtual sebagai konsekuensi munculnya ”normal baru”. Namun, praktisi teater Elyandra Widharta mengingatkan, bermigrasi ke ranah digital memerlukan proses belajar yang panjang. Kita menggarisbawahi adanya proses yang harus ditempuh. Namun, kita juga ingin menyampaikan pesan kepada seniman, teknologi digital dan ruang virtual memberi peluang baru, yang jika kita rajin mempelajari cara dan kiatnya, bisa membuka monetisasi lebih cepat.
Satu hal yang ditegaskan oleh musikus dan Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia Candra Darusman adalah kolaborasi antarseniman. Kita ingin mendorong terbinanya kolaborasi antara seniman dan ahli teknologi informasi. Hal ini kita tekankan mengingat kehadiran di ruang virtual menuntut kepiawaian desain grafis yang dikuasai oleh desainer digital.
Sebagai penutup wacana ini: pertama, kita perlu memikirkan nasib seniman yang di era pandemi kehilangan banyak peluang penghasilan. Kedua, kita mendorong munculnya sukarelawan yang bisa mempromosikan kreasi seniman dan juga senimannya agar mereka teringankan beban hidupnya.