Ketahanan keluarga Indonesia saat ini memasuki babak ujian. Di luar pandemi Covid-19, ada persoalan lain semakin tampak belakangan ini, yakni pemasukan rumah tangga yang tidak sebanding dengan pengeluaran.
Beban para orangtua sebagai tulang punggung ekonomi keluarga sekaligus peran alih guru saat ini harus dijalani bersamaan. Sementara iuran sekolah swasta tidak berubah tanpa kompensasi. Memang dapat dipahami, gaji guru, pengurus, hingga pegawai sekolah hanya diperoleh dari iuran sekolah para murid.
Di sisi lain, beban penggunaan fasilitas sekolah sebagian telah berpindah ke rumah setiap siswa. Jika menilik situasi kehidupan rumah tangga masyarakat Indonesia saat ini, cukup banyak yang menghadapi situasi sulit, seperti berkurangnya pemasukan akibat pemotongan gaji, tidak diterimanya THR, bahkan terkena PHK.
Di luar beban keuangan, orangtua masih dihadapkan pada situasi peran dan tanggung jawab berbeda yang harus dijalani bersamaan dalam ruang, waktu, dengan kemampuan yang mungkin juga terbatas.
Persoalan-persoalan dini ini sangat mungkin memicu sejumlah persoalan sosial lain, seperti hubungan suami-istri, kepercayaan terhadap otoritas dan kebijakan, keamanan lingkungan, hingga kesehatan dan ketahanan masyarakat secara keseluruhan.
Kehidupan ekonomi mikro hingga makro bergantung pada daya beli masyarakat Indonesia sebagai konsumen utama. Oleh karena itu, perlu diwaspadai agar persoalan yang tadinya bagian dari dinamika hidup jangan sampai menjadi benalu rumah tangga.
Situasi serius ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, termasuk dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dilema yang semakin kuat terekam di masyarakat perlu segera diatasi sebelum menimbulkan masalah yang lebih kompleks, seperti penurunan kualitas pendidikan akibat melemahnya daya tahan rumah tangga masyarakat kita.
Kalau dulu hidup penuh dengan pilihan dan saat ini menjadi satu-satunya pilihan, kita harus bekerja keras agar jangan rumah tangga mati, sementara virus masih berlanjut hidup.
Ardhana
Orangtua yang Prihatin, Ciputat, Tangsel, Banten
Didi Kempot
Saya ”iri” dengan Didi Kempot. Semua media cetak, elektronik, dan media sosial memberi tempat luar biasa untuk berita kematiannya.
Harian Kompas pun, Rabu (6/5/2020), memberi tempat istimewa. Bahkan, dua wartawan senior turun gunung.
Berita kepergian musisi campursari dengan nama asli Dionisius Prasetyo ini lebih membahana daripada kematian tokoh politik ataupun pesohor lain negeri ini.
Apa yang membuat Didi Kempot begitu dicintai dan dihormati? Secara pribadi, saya bukan penggemarnya, tetapi cukup terpapar lagu-lagunya, terutama lagu ”Pamer Bojo” yang saya tonton di Youtube dalam konser langsung.
Setelah menggali lebih dalam, saya paham mengapa orang begitu kehilangan. Didi Kempot total dan konsisten mengabdikan diri di jalur seni. Perjalanan kariernya dimulai dari tangga paling bawah: pengamen jalanan.
Meski sudah sukses, hidupnya bersahaja. Pujian tidak membuatnya lupa diri dengan dagu menghadap langit. Ia penuh syukur kepada-Nya.
Almarhum pergi saat jutaan penggemarnya sedang mabuk kepayang dan ”keracunan akut” pada karya-karyanya. Ia pergi pada titik kulminasi kepopuleran dan akan melegenda dalam waktu lama.
Kematian Didi Kempot menyisakan pelajaran hidup yang sangat berharga. Kecintaan dan ketulusan dalam berkarya, kesederhanaan, dan pengabdian untuk sesama. Baginya, hidup adalah peziarahan.
Selamat jalan kawan.
MARLAS HARIANJA
PD Kelapa Arista, RT 005 RW 013, Duren Sawit, Jakarta Timur