Percepatan inovasi dalam rangka darurat Covid-19 akan berhasil jika semua pemangku kepentingan mempunyai kepentingan yang sama, yaitu menyelamatkan nyawa manusia di mana pun mereka berada.
Oleh
Satryo Soemantri Brodjonegoro
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menyebabkan rapuhnya kolaborasi antarnegara karena setiap negara harus memastikan kecukupan sumber dayanya mengatasi wabah virus tersebut, baik dalam tahap pencegahan, deteksi, perawatan, pengobatan, maupun pasca-pengobatan.
Tingginya jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 mengakibatkan terjadi kelangkaan sumber daya, antara lain alat uji (test kit), alat pelindung diri (APD), ventilator, obat, dan vaksin. Kecepatan penularan virus belum dapat diimbangi oleh kecepatan penyiapan sumber daya untuk penanganannya sehingga korban semakin banyak.
Penyiapan vaksin memerlukan proses yang sangat panjang dan kompleks karena harus memenuhi ketentuan baku yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Penyiapan obat juga memerlukan cukup waktu untuk uji klinis dan persetujuan otoritas kesehatan, yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan, sebelum diterapkan kepada pasien.
Penyiapan alat uji, APD, dan ventilator juga memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk memperoleh persetujuan Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) sebelum diproduksi massal.
Negara maju mempunyai sumber daya yang memadai untuk mengatasi pandemi ini karena kemampuannya untuk melakukan inovasi secara cepat. Sebaliknya, negara berkembang masih bergantung pada negara maju, baik dalam hal kemampuan maupun ketersediaan sumber daya.
Penyiapan vaksin memerlukan proses yang sangat panjang dan kompleks karena harus memenuhi ketentuan baku yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Untuk pembuatan vaksin di Indonesia, diperlukan sejumlah peralatan laboratorium canggih yang harus diimpor dari luar negeri. Untuk pembuatan alat uji, diperlukan reagen yang harus diimpor; untuk pembuatan obat, diperlukan bahan baku yang harus diimpor; untuk pembuatan APD, diperlukan lapisan antivirus yang harus diimpor; dan untuk pembuatan ventilator, diperlukan beberapa komponen, seperti motor listrik searah dan regulator udara yang harus diimpor.
Negara maju belum dapat memenuhi kebutuhan Indonesia tersebut karena mereka juga sangat membutuhkan untuk keperluan rakyatnya.
Percepatan inovasi
Covid-19 adalah virus baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Pengetahuan tentang virus ini sedang didalami terus-menerus oleh para peneliti. Pada saat yang bersamaan berbagai upaya untuk mendeteksi, mencegah penularan, mengobati, dan merawat pasien dilakukan dengan keterbatasan pengetahuan yang ada yang harus selalu dimutakhirkan dengan temuan terbaru. Penelitian tentang virus membutuhkan waktu dan proses yang panjang sesuai dengan kaidah ilmiah yang hakiki.
Kebenaran ilmiah adalah mutlak sifatnya dalam meneliti. Para peraih Nobel umumnya membutuhkan waktu minimal 10 tahun untuk meneliti sebuah topik secara terus-menerus tanpa terputus.
Dalam hal darurat Covid-19, tidak mungkin menunggu 10 tahun untuk menemukan vaksinnya, harus ada upaya percepatan melalui terobosan ilmiah yang dilakukan secara simultan kolaboratif oleh para peneliti di negara-negara terpapar Covid-19. Akses mahadata (big data) dan peralatan laboratorium canggih, termasuk superkomputer, dapat diperoleh para peneliti dari seluruh dunia sehingga mempercepat perolehan vaksin.
Pembuatan obat harus dipercepat dengan memanfaatkan bahan baku lokal dan uji klinisnya dilakukan bersama antara produser, dokter, dan personel BPOM sehingga diperoleh obat yang diperlukan. Karena menggunakan bahan baku lokal, ada kemungkinan diperoleh formula obat baru yang belum tercatat di BPOM. Namun, karena proses uji klinisnya dilakukan bersama dan berhasil, BPOM dapat menyetujui penggunaan obat tersebut.
Dengan demikian, terjadi percepatan dalam hal pembuatan obat baru, tidak ada birokrasi dalam proses uji klinis dan pengambil keputusan bukan hanya BPOM, melainkan kolektif.
Pembuatan alat uji, APD, dan ventilator harus dipercepat dengan memanfaatkan bahan baku lokal dan komponen lokal serta diproduksi oleh industri lokal, baik BUMN maupun swasta. Idealnya, BUMN dan industri swasta bersinergi kolaboratif untuk menghasilkan produk nasional. Pembuatan perangkat tersebut harus diawali dengan proses rancang bangun (design and development) karena perangkat tersebut belum pernah diproduksi di Indonesia.
Setelah proses rancang bangun selesai, dilanjutkan dengan uji kelayakan prototipe. Jika prototipe dianggap layak oleh BPFK, hal itu dapat dilanjutkan dengan produksi massal. Karena perangkat tersebut belum pernah diproduksi di Indonesia, BPFK belum mempunyai standar kelayakan produk tersebut sehingga sulit bagi BPFK untuk memberikan persetujuan.
Untuk mengatasi kendala tersebut, proses uji kelayakan prototipe dilakukan bersama antara perancang, calon fabrikan, dokter, personel rumah sakit, dan personel BPFK sehingga dihasilkan prototipe yang memenuhi standar kelayakan secara kolektif.
Pembuatan obat harus dipercepat dengan memanfaatkan bahan baku lokal dan uji klinisnya dilakukan bersama antara produser, dokter, dan personel BPOM sehingga diperoleh obat yang diperlukan.
Kecepatan proses inovasi dapat dicapai melalui debirokratisasi proses persetujuan atau pengesahan, dan salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah regulatory sandbox.
(Satryo Soemantri Brodjonegoro Ketua AIPI; Wakil Ketua KKI; Penasihat Khusus Menko Kemaritiman dan Investasi)