Relasi Pusat-Daerah dan Korona
Birokrasi harus terjaga dan tak boleh dijadikan lahan tarik-menarik kepentingan. Apalagi dalam melawan Covid-19. Siapa pun yang memimpin birokrasi harus taat pada etika pemerintahan dan profesional.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo (tengah) saat menyampaikan keterangan pers terkait pembetukan Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 di Kantor BNPB, Jakarta, Sabtu (14/3/2020).
Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh video viral kekesalan Bupati Bolaang Mongondow Timur berkenaan dengan aturan pemerintah pusat tentang bantuan sosial Covid-19 yang dinilainya membingungkan dan menyusahkan daerah.
Fenomena tersebut bisa dipahami. Di satu sisi, sebagai pemimpin yang berhadapan langsung dengan rakyat dalam menghadapi ”bencana nasional” Covid-19, para kepala daerah (bupati/wali kota) dituntut untuk mengambil kebijakan yang tangkas dan memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Di sisi lain, pemerintah pusat—yang notabene memiliki kendala dalam hal rentang kendali dengan berbagai pengaturan/norma hukum—dirasakannya lamban dalam mengambil kebijakan.
Pemerintah pusat sepertinya gamang dalam mendudukkan persoalan Covid-19: apakah tergolong wabah penyakit menular (UU No 4/1984), bencana non-alam (UU No 24/2007), atau kedaruratan kesehatan masyarakat dan kekarantinaan kesehatan (UU No 6/2018). Selain itu, publik juga melihat tidak tertata/terbangunnya secara baik hubungan antarkelembagaan, seperti antara Kemenkes, BNPB, Kemendagri, Kemenlu, Kemenhub, Kemendesa, Kemenpan-RB, Kemenag, Kemdikbud, Kemenkeu, Kemperin, Kemendag, BUMN, Kominfo, TNI, dan Polri dalam penanganan Covid-19.
Kementerian dan lembaga (K/L) belum menjadi satu kesatuan yang utuh dalam mengatasi Covid-19.
Kementerian dan lembaga (K/L) belum menjadi satu kesatuan yang utuh dalam mengatasi Covid-19. Oleh karena itu, bisa dipahami jika persoalannya menjadi lebih rumit ketika harus bersinergi dengan pemda (provinsi/kabupaten/kota).
Pentingnya kebersamaan dan keselarasan pusat-daerah
Dalam mengatasi Covid-19, pemerintah pusat tak bisa sendiri. Kebersamaan dan keselarasan bertindak dengan pemda sangat penting. Bahkan, juga dengan pemerintahan desa (seperti nagari) yang menjadi garda terdepan dalam melayani rakyat.
Kepala daerah menjadi kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di daerahnya. Gubernur menjadi kepala gugus tugas di provinsi, sementara bupati mengepalai gugus tugas di kabupaten dan wali kota kepala gugus tugas di kota.
Masing-masing bertugas sesuai dengan Keppres No 9 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Idealnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tersebut dikepalai oleh presiden, bukan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Presiden harus menjadi ”panglima” dalam perang menghadapi wabah Covid-19. Asumsinya, jika presiden jadi panglimanya, semua bisa diputuskan lebih cepat, terarah dan terintegrasi.
Pembagian kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang penanganan wabah Covid-19 mengacu pada UU No 23/2014 (tentang Pemda) dan UU No 6/2014 (tentang Desa). Kedudukan gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat penting dalam urusan penanganan Covid-19, khususnya terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan bencana nasional.

Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina (depan), yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Banjarmasin menjelaskan tentang perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Banjarmasin di Balai Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (7/5/2020). KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Demikian juga kedudukan bupati/wali kota sebagai kepala daerah otonom dalam menyelenggarakan urusan penanganan wabah Covid-19. Selain itu, penting pula pengelolaan alokasi anggaran dikaitkan dengan APBN 2020, APBD 2020, dan APBDesa 2020 serta refocusing anggaran agar penanganan Covid-19 lebih efektif dan konkret hasilnya.
Persoalannya adalah kurangnya kejelasan status apakah penanganan wabah Covid-19 merupakan urusan bidang kesehatan sebagaimana diatur dalam UU No 23/2014 dan UU No 6/2018 (tentang Kekarantinaan Kesehatan), atau urusan bencana sebagaimana diatur dalam UU No 23/2014 (tentang Pemerintahan Daerah) dan UU No 24/2007 (tentang Penanggulangan Bencana).
Urusan konkuren kesehatan berdasarkan UU No 6/2018 bersifat sentralistis (Kemenkes) dan dilaksanakan dengan melibatkan daerah (tugas pembantuan). Urusan tanggap darurat sesuai UU No 24/2007 bersifat sentralistis melalui presiden (BNPB) dan dilaksanakan oleh provinsi dan kabupaten/kota (dengan asas desentralisasi).
Di tataran praksis terjadi ketidaktaatan, inkonsistensi, dan ketidakharmonisan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dari berbagai UU tersebut: asas tugas pembantuan tak berjalan, demikian pula asas desentralisasi. Lemahnya koordinasi kelembagaan membuat eksekusi program lamban.
Lemahnya koordinasi kelembagaan membuat eksekusi program lamban.
Persoalan muncul karena pemimpin tertinggi penanganan wabah Covid-19 sejak Maret tak jelas dan membingungkan publik: apakah Kemenkes atau BNPB? Keppres No 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam sebagai Bencana Nasional tak mencantumkan soal tanggap darurat nasional seperti diatur dalam UU No 24/2007. Hal ini bisa jadi karena sudah ditetapkan PSBB di PP No 21/2020.
Sementara Keppres No 7/2020 (tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan Keppres No 9/2020 (tentang Perubahan atas Keppres No 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019/Covid- 19) hanya mengatur tugas gugus tugas dalam penanganan Covid-19 tanpa disertai kewenangan membuat keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan.
Karena penanganan wabah ini melibatkan banyak sekali urusan yang jadi kewenangan K/L/pemda. Tampaknya Keppres No 7/2020, Keppres No 9/2020, dan UU No 24/2007 tak cukup menjangkau tugas-tugas yang dibebankan.
Penguatan urusan pemerintahan umum
Mengingat banyaknya norma hukum dan ketidakjelasan pemimpin tertinggi dalam penanganan wabah Covid-19 di tingkat pusat, serta berkaitan dengan kewenangan provinsi dan kabupaten/ kota, kiranya penting dipertimbangkan untuk memperkuat urusan pemerintahan umum sebagaimana diatur dalam UU No 23/2014 (tentang Pemda).
Urusan pemerintahan umum adalah urusan yang jadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9), dan dilaksanakan oleh gubernur di tingkat provinsi dan bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota (Pasal 25 Ayat 2). Dengan demikian, sinergi pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan wabah dapat dilaksanakan dengan baik.

Mendagri Tito Karnavian memberikan keterangan pers usai melaksanakan pertemuan dengan perangkat Provinsi Jabar terkait Covid-19 di Gedung Sate, Bandung, Rabu (18/3/2020)
Berkenaan dengan hal ini, diperlukan perpres tentang manajemen penanganan kedaruratan kesehatan masyarakat terkait Covid-19 sebagai bencana nasional dengan fokus pada beberapa hal. Pertama, perlunya pengaturan mengenai status penanganan wabah sebagai urusan pemerintahan umum (kelembagaan antar-K/L, vertikal antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota, dan pendanaan).
Kedua, sebagai pemimpin tertinggi dalam mengatasi Covid-19, presiden perlu dibantu menko (ketua harian) dan tiga gugus tugas yang dipimpin menteri (Menkes, Mendagri, Kepala BNPB). Ketiga, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, bupati/wali kota dan instansi vertikal, dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah berperan sebagai pelaksana tugas pembantuan dibantu perangkat daerah dan dilaksanakan sesuai kondisi daerah.
Keempat, selain APBN, pendanaannya perlu melibatkan APBD setiap daerah, serta APBDesa. Kelima, perlunya perubahan produk hukum daerah dan refocusing untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum penanganan Covid-19.
Pelurusan desentralisasi dan otda
Masalah Covid-19 bisa diselesaikan dengan lebih cepat jika pemerintah mampu membangun sinergi, sinkronisasi, kolaborasi, dan komunikasi yang baik antartingkatan pemerintahan (dengan perspektif yang sama). Setiap tingkatan pemerintahan tidak boleh jalan sendiri-sendiri karena ini akan mengganggu kebangsaan dan kesatuan Indonesia.
Setiap tingkatan pemerintahan tidak boleh jalan sendiri-sendiri karena ini akan mengganggu kebangsaan dan kesatuan Indonesia.
Pada saat yang sama bencana Covid-19 harus dijadikan peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki kualitas pemerintahan, khususnya pola relasi pusat dan daerah. Hal ini penting agar tidak muncul ”represi” pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ataupun ”resistensi/pembangkangan” pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Pemerintah pusat perlu meluruskan kembali praktik desentralisasi dan otonomi daerah agar sesuai dengan prinsip NKRI dan menegaskan kembali bahwa praktik sistem multipartai tak boleh berpengaruh negatif pada birokrasi pemerintahan karena birokrasi tak boleh diintrusi politik. Sifat birokrasi yang pada dasarnya hierarkis (mulai pusat sampai daerah) seharusnya tak perlu dibenturkan dengan realitas warna-warni partai yang memimpin birokrasi.
Birokrasi harus terjaga dan tak boleh dijadikan lahan tarik-menarik kepentingan. Apalagi dalam melawan Covid-19. Siapa pun yang memimpin birokrasi harus taat pada etika pemerintahan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga konflik antar-tingkatan pemerintahan tak perlu terjadi di era Covid-19 ini.
(R Siti Zuhro Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI)