Momentum Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan mensyaratkan pergeseran dominasi dari ”rezim perdagangan” ke ”rezim produksi” sehingga iklim ekonomi-politik ini kondusif untuk terus berproduksi tanpa ada kekhawatiran akan membanjirnya produk impor.
Pandemi Covid-19 menyebabkan ketidakpastian baru yang berdampak terhadap pangan.
Hal ini diikuti wacana ”de-globalisasi” yang kian mengemuka akibat banyak negara diduga akan menahan stok pangannya. Kalau ini terjadi, tak ada jalan lain, kecuali tekad kemandirian pangan. Lalu, apakah pasokan pangan kita mencukupi? Bagaimana terobosan jangka pendek dan jangka menengah untuk mewujudkan kemandirian?
Produksi dan distribusi
Badan Ketahanan Pangan Kementan (2020) merilis bahwa suplai pangan hingga Agustus 2020 relatif aman, bahkan beras diperkirakan bisa surplus 7,4 juta ton. Begitu pula jagung, bawang merah, cabai, daging ayam, dan telur. Namun, baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa masih banyak provinsi yang defisit pangan. Jadi, ternyata persoalannya bukan semata pada surplus produksi, melainkan pada belum meratanya distribusi.
Isu distribusi ini terdampak dari kebijakan pencegahan Covid-19 yang membatasi mobilitas, jam operasional pasar, jam kerja restoran, dan tutupnya kantor. Kendala distribusi pangan kini bisa berdampak pada kelebihan suplai di tingkat petani sehingga harga jatuh. Penurunan harga ini akan berdampak pada penurunan penghasilan mereka.
BPS telah mengumumkan, nilai tukar petani turun dari 104,16 pada Januari 2020 menjadi 102,09 pada Maret 2020 (Kompas, 15 April 2020), artinya ada penurunan daya beli petani. Penurunan penghasilan ini bisa berdampak pada terbatasnya modal usaha untuk musim tanam berikutnya pada Agustus. Jadi, saat ini yang terjadi adalah ketidakpastian distribusi. Sementara ketidakpastian produksi akan terjadi pada masa musim tanam berikutnya setelah Agustus.
Jadi, saat ini yang terjadi adalah ketidakpastian distribusi.
Perlindungan petani
Ada empat terobosan jangka pendek untuk mengatasi masalah rantai pasok. Pertama, menghadapi ketidakpastian distribusi diperlukan kebijakan logistik dan rantai pasok pangan dengan melibatkan BUMN pangan, koperasi, dan swasta nasional.
Ini penting agar distribusi pangan normal dan petani kembali menikmati harga wajar. Konsumen pun menikmati produk pangan dengan harga terjangkau. Sistem logistik baru ini perlu inovasi berbasis teknologi 4.0, khususnya blockchain, untuk menjamin akurasi data dan koneksi hulu hilir.
Kedua, memperluas akses petani, peternak, dan nelayan pada pemasaran daring untuk memperpendek rantai pasok pangan dengan melibatkan koperasi dan badan usaha milik desa. IPB dan Astra bekerja sama memberdayakan 53 desa di Jawa Barat dan membuka akses petani pada pemasaran daring melalui sejumlah marketplace. Pemasaran daring merupakan solusi, tetapi belum menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang biasa dengan pasar tradisional.
Ketiga, diperlukan stimulus ekonomi khusus untuk pertanian dan perdesaan sebagai kebijakan afirmatif perlindungan petani dan desa sebagai basis produksi pangan. Stimulus ini penting untuk memastikan pertanian tetap tumbuh dan menyejahterakan. Desa berbasis pertanian di Indonesia masih 73,14 persen dan desa pesisir 15,11 persen.
Salah satu stimulus adalah kebijakan relaksasi KUR secara holistik agar petani tetap tenang menghadapi musim tanam yang perlu suntikan modal. Adanya alokasi dana sekitar Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan KUR dalam perppu perlu dipastikan targetnya adalah petani dan nelayan.
Keempat, skema perlindungan dan jaring pengaman sosial bagi kesejahteraan petani dan nelayan pada masa pandemi Covid-19 sangat diperlukan untuk menjamin kehidupan petani dan nelayan, sekaligus menekan laju kemiskinan di perdesaan yang masih 60 persen.
Kemandirian pangan
Empat terobosan di atas juga merupakan upaya menjaga suasana psikologis petani, peternak, dan nelayan bahwa pekerjaan mereka dihargai dan dilindungi. Semangat bekerja mereka harus kita apresiasi, apalagi di saat krisis pangan global ini mengancam.
Sembari menyelesaikan problem jangka pendek soal distribusi saat ini dan antisipasi produksi pangan setelah Agustus 2020, ancaman krisis pangan global harus menjadi momentum kemandirian pangan. Ada lima agenda untuk kemandirian pangan ini.
Semangat bekerja mereka harus kita apresiasi, apalagi di saat krisis pangan global ini mengancam.
Pertama, gerakan masyarakat untuk produksi skala rumah tangga bisa menjadi katup pengaman. Dulu, di kampung, banyak rumah tangga yang memiliki ayam, kolam ikan, atau tanaman hortikultura sebagai cadangan pangan. Karena itu, pertanian pekarangan perkotaan harus digalakkan lagi. Gerakan sosial ini murah dan rendah karbon, tetapi berdampak pada akses pangan.
Selain itu, gerakan pangan lokal masa lalu untuk jaring pengaman sosial juga perlu direvitalisasi. Di Jawa ada istilah ”beras jimpitan”, yaitu setiap rumah tangga berbagi beras satu gelas, diambil petugas ronda, lalu dikumpulkan di balai desa untuk didistribusikan kepada yang kurang mampu.
Kedua, pada aspek teknologi perlu terobosan produk substitusi impor. Teknologi mi berbahan baku wortel, bayam, dan jagung mulai berkembang. Beras analog produk IPB berbahan baku sagu dan singkong juga kian populer.
Yang diperlukan adalah perluasan skala produksi sekaligus edukasi konsumen untuk merespons diversifikasi pangan ini. Begitu pula aneka tanaman obat harus dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada produk farmasi impor.
Ketiga, perlu penyempurnaan sistem data dan informasi pertanian dan perikanan secara spasial agar produksi pangan di desa dan kebutuhan di kota dapat diketahui akurat, dan distribusi pangan antarwilayah mudah dijalankan. Ini harus diiringi akselerasi pola pertanian presisi berbasis teknologi 4.0. Pertanian presisi yang terkoneksi spasial bisa jadi basis data, kebijakan pun lebih akurat.
Keempat, reforma agraria menjadi prasyarat kemandirian pangan. Tentu tidak saja berupa distribusi lahan (land reform) yang meningkatkan rasio lahan per petani, tetapi juga perluasan akses (access reform) pada teknologi, modal, dan pasar agar lebih menyejahterakan petani.
Kelima, regenerasi petani perlu dipercepat dengan memperluas kesempatan menjadi petani milenial. Rata-rata usia petani Indonesia 47 tahun, dan 10 tahun lagi bisa terjadi krisis petani kalau tidak diantisipasi dari sekarang.
Tentu kemandirian pangan mensyaratkan pergeseran dominasi dari ”rezim perdagangan” ke ”rezim produksi” sehingga iklim ekonomi-politik ini kondusif bagi kita untuk terus berproduksi tanpa ada kekhawatiran akan membanjirnya produk impor. Pangan adalah hidup matinya suatu bangsa, kata Soekarno 58 tahun lalu.
(Arif Satria, Rektor IPB)