Masalah Obat Terkait Covid-19
Saat ini di seluruh dunia belum ada kesepakatan mengenai obat yang terbukti aman dan efektif untuk Covid-19. Banyak negara membuat kebijakan sendiri berdasarkan pengalaman atau laporan penelitian yang kurang meyakinkan.
Hingga akhir Februari 2020, ketika kabar infeksi virus korona baru mulai marak, tidak banyak yang menyangka bahwa penyakit Covid-19 akibat virus tersebut akan menyebar sedemikan cepat dan dahsyat, hampir ke seluruh penjuru dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Sepanjang Maret-April memang terjadi ledakan kasus yang luar biasa.
Hingga Senin (4/5/2020) siang pekan lalu sudah 212 negara melaporkan kasus positif Covid-19. Total di seluruh dunia dilaporkan ada 3.567.005 kasus dan di Indonesia ada 11.192 kasus, dengan 845 orang di antaranya meninggal. Dalam situasi darurat seperti ini, muncul pertanyaan, sejauh mana kemajuan pengembangan obat terkait Covid-19?
Obat anti-Covid-19
Menurut jalur yang ”klasik”, rerata waktu yang diperlukan untuk mengembangkan obat baru adalah 10 tahun. Waktunya memang begitu lama karena sistem pengembangan obat baru sangat ketat dan berlaku internasional.
Upaya ini dimulai dengan penelitian di laboratorium, dilanjutkan dengan uji coba pada hewan. Kalau hasilnya baik, baru boleh dicobakan pada manusia dalam beberapa tahap dengan standar tinggi (good clinical practice). Jika hasil rangkaian penelitian ini memuaskan, barulah obat mendapat izin edar.
Dalam keadaan pandemi, penerapan standar yang demikian tinggi tidak mungkin dilaksanakan karena dampaknya bisa mengkhawatirkan. Bayangkan jika pandemi terus berlangsung dalam beberapa bulan dan manusia harus mencegahnya dengan larangan keluar rumah dan sebagainya. Sistem sosial ekonomi seluruh dunia bisa terguncang.
Dalam keadaan pandemi, penerapan standar yang demikian tinggi tidak mungkin dilaksanakan karena dampaknya bisa mengkhawatirkan.
Kondisi tersebut tidak memungkinkan pengembangan obat baru dilakukan secara klasik. Bukti penelitian yang tidak terlalu meyakinkan pun masih dapat diterima.
Obat yang efektif
Pada saat ini, kita mempunyai beberapa pilihan obat yang mungkin efektif, yaitu klorokuin, hidroksiklorokuin, azitromisin, favipiravir (Avigan®), oseltamivir (Tamiflu®), remdesivir, lopinavir/ritonavir (Kaletra®), dan plasma (cairan darah) dari orang yang sudah sembuh dari infeksi Covid-19.
Hingga kini belum ada satu pun obat di dunia ini yang sudah disepakati aman dan efektif untuk mengobati Covid-19. Klorokuin, hidroksiklorokuin, dan azitromisin dapat menimbulkan efek toksik yang berbahaya pada jantung. Favipiravir dapat menimbulkan kecacatan bayi jika diberikan kepada ibu hamil. Oseltamivir mungkin tidak efektif untuk Covid-19 karena target tempat kerja obat tidak terdapat pada Covid-19.
Lopinavir/ritonavir tergolong obat yang sangat diandalkan untuk pengobatan pasien dengan HIV. Sangat tidak bijak apabila obat ini digunakan dalam pengobatan Covid-19. Dikhawatirkan kemanjurannya untuk pengobatan HIV akan hilang karena terjadi resistensi pada HIV. Plasma orang yang sembuh dari Covid-19 juga bisa menularkan infeksi berbahaya, misalnya hepatitis B, hepatitis C, dan HIV jika tidak diproses dengan baik.
Intinya ialah obat-obat anti-Covid-19 ini berpotensi dapat menimbulkan efek samping serius, sementara efektivitasnya masih diteliti. Walaupun obat-obat keras tersebut dapat diperoleh secara ilegal, sangat tidak dianjurkan orang berupaya mencari obat-obat tersebut (terutama klorokuin dan hidroksiklorokuin), lalu mengonsumsinya dengan harapan bisa mencegah infeksi Covid-19. Jika ada hal yang perlu ditanyakan, pasien harus berkonsultasi kepada dokter.
Obat untuk pencegahan
Hingga kini belum ada obat makan atau obat suntik atau vaksin yang terbukti efektif untuk mencegah infeksi Covid-19. Yang ada hanya antiseptik yang digunakan pada permukaan tubuh (misalnya klorheksidin, alkohol 70 persen) dan disinfektan (misalnya glutaralehid, klorin).
Antiseptik dioleskan pada permukaan tubuh, sedangkan disinfektan disemprotkan pada permukaan benda, misalnya gagang pintu atau permukaan meja. Upaya preventif lain yang efektif ialah pencegahan fisik, misalnya menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun. Pencegahan fisik inilah yang sekarang amat dianjurkan untuk mencegah penularan Covid-19.
Dewasa ini ada banyak vitamin, imunomodulator (obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh), obat herbal, dan sebagainya yang diklaim dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Namun, tidak satu pun yang terbukti bermanfaat. Penggunaan vitamin dalam dosis wajar tidak menimbulkan masalah walau kemanjurannya tidak jelas.
Obat antihipertensi
Akhir-akhir ini ramai dibahas bahwa pasien terjangkit Covid-19 dianjurkan untuk tidak menggunakan obat penurun tekanan darah yang nama generiknya berakhiran ”-pril” (misalnya kaptopril, amipril, lisinopril) dan yang berakhiran ”-sartan” (misalnya kandesartan, losartan, telmisartan). Obat-obat tersebut meningkatkan jumlah tempat berlabuhnya (reseptor) Covid-19.
Tempat berlabuh Covid-19 ini terutama paru. Yang jadi masalah ialah kedua kelompok obat ini amat banyak digunakan untuk menurunkan tekanan darah dan gagal jantung. Akan berbahaya sekali apabila mereka yang sedang menggunakan kedua obat ini menghentikan sendiri pemakaian obatnya karena takut pada risiko yang belum tentu terjadi.
Penggunaan vitamin dalam dosis wajar tidak menimbulkan masalah walau kemanjurannya tidak jelas.
Singkatnya, untuk mereka yang sedang menggunakan obat-obat ini, jangan menghentikan atau mengubah sendiri pengobatan tanpa berkonsultasi kepada dokter.
Saat ini di seluruh dunia belum ada kesepakatan mengenai obat yang terbukti aman dan efektif untuk Covid-19. Banyak negara membuat kebijakan sendiri berdasarkan pengalaman atau laporan penelitian kecil yang tidak terlalu meyakinkan.
Kebijakan itu dapat diterima karena bagaimanapun pasien Covid-19 perlu obat. Yang harus diwaspadai adalah jangan sampai orang awam mengobati diri sendiri dengan berbagai obat keras yang disebutkan di atas karena dapat berefek samping berat.
(Rianto Setiabudy, Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)