Kini Indonesia kehilangan Arief. Kepergiannya mengingatkan kita tentang pentingnya peran intelektual-aktivis yang memikirkan nasib buruh yang kini terdampak krisis ekonomi selama wabah.
Oleh
Usman Hamid
·5 menit baca
Intelektual dan kaum buruh adalah dua subyek yang berjarak. Tapi dalam Soe Hok Djin alias Arief Budiman (1941-2020), keduanya berdekatan. Apa warisan pemikirannya soal buruh? Apa relevansinya bagi pekerja kerah biru yang terkena krisis ekonomi akibat wabah terkini?
Buruh adalah salah satu sentrum gravitasi pemikiran Arief sebagai intelektual-aktivis tiga zaman: Orde Lama (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), dan Orde Reformasi (1998-2020). Semasa Orde Lama, kritiknya tertuju pada kediktatoran Soekarno. Selama Orde Baru, kritiknya menolak modal asing dan otoritarianisme Soeharto. Ia sempat dipenjara. Ketika Reformasi, ia menemani aktivis-aktivis mengawal demokratisasi.
Sebagai eksponen 1998, saya mengenalnya lewat buku ”Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran” (LP3ES 1983) dan penelitiannya soal demokratisasi Indonesia 1980-an, yang juga menyoroti buruh sebagai kekuatan demokratik. Lewat disertasinya, ia membagikan pengalaman gerakan buruh Chile era pemerintahan Allende yang menentukan ekonomi menuju pemerataan kemakmuran.
Ini menginspirasi eksponen 1998 seperti saya dan eksponen 1980-an seperti Munir Said Thalib yang kelak membela buruh dengan rujukan Chile yang dijelaskan Arief. Munir pun membawa saya lebih mengenali Arief.
Munir mengenangnya, ”Waktu itu Arief Budiman nerbitin buku kasus Cile, Revolusi Buruh. Itu membuatku tertarik… sejak itu aku ngurus buruh”. Pasca mahasiswa, ia membela buruh yang dibunuh: Marsinah. Ia mengkritik ekonomi Orde Baru yang memiskinkan buruh. Ia menikahi aktivis buruh. Seperti Arief, ia menyukai Allende dan mengabadikannya lewat anak pertama: Soultan Alief Allende. Begitulah pengaruh Arief.
Saat Reformasi, Arief yang sempat lama di Australia kembali ke Indonesia. Saya kerap diajak Munir menyimak diskusi Arief bersama Daniel Dhakidae, Stanley Prasetyo, AE Priyono dan kawan-kawan yang tengah meneliti aktor-aktor prodemokrasi. Kajiannya, Dynamics of Democratisation: Study on Actors and Contituents Relationship in Pro-Democratic Movements in the Post-Suharto Indonesia (ISAI-SAREC 2001), dan Aktor Demokrasi, Catatan Gerakan Perlawanan di Indonesia (2001) merekam pergulatan buruh dalam demokratisasi.
Arief meyakini, meski terbebas dari otoritarianisme, ekonomi yang bergantung pada investasi asing melemahkan daya tawar buruh di depan pengusaha ataupun negara. Baginya, negara yang tersandera ekonomi kerap memilih merepresi buruh ketimbang mengorbankan investor yang bisa beralih ke negara lain. Inilah warisan pemikirannya yang relevan sampai sekarang. Mengapa?
Arief meyakini, meski terbebas dari otoritarianisme, ekonomi yang bergantung pada investasi asing melemahkan daya-tawar buruh di depan pengusaha ataupun negara.
Pertama, buruh menghadapi kebijakan negara mengejar investasi asing melalui kebijakan upah murah, misalnya melalui RUU Cipta Kerja. Kedua, daya tawar buruh lemah di hadapan pengusaha dan negara, apalagi dalam krisis ekonomi dan wabah terkini. Ini mengancam hak-hak dan keamanan sosial mereka. Mari kita diskusikan.
Negara yang mengutamakan pemodal, termasuk asing, berpotensi mengurangi hak-hak buruh yang relatif terlindungi sejak Reformasi. RUU Cipta Kerja, misalnya, mengizinkan pengusaha menerapkan waktu kerja berlebihan hingga mengubah pengupahan dari upah minimum kota/kabupaten (UMK) menjadi upah minimum provinsi (UMP) yang ditetapkan gubernur.
Arief yang pintar matematika, pasti melihat masalah. Bayangkan, buruh di Karawang yang memiliki upah Rp 4.594.324 per bulan, tiba-tiba harus mengikuti UMP Jawa Barat yang hanya Rp 1.810.350/bulan (UMK Kabupaten Banjar). Upah buruh di Medan sebesar Rp 3.222.556/bulan, tiba-tiba mengikuti UMK terendah provinsi (Kabupaten Dairi), yaitu Rp 2.504.195/bulan. Begitu pula provinsi lainnya.
Buruh semakin rugi karena masuknya wabah berakibat pemotongan upah, bahkan PHK, oleh pengusaha yang sektornya terdampak. Pabrik pakaian di Magetan memangkas tiga bulan upah pekerja hingga 50%–tanpa persetujuan serikat buruh. Per 20 April, sebanyak 116.370 perusahaan merumahkan, meminta tak perlu bekerja tanpa upah, hingga memberhentikan sebanyak 2.084.593 juta pekerja/buruh (Kementerian Ketenagakerjaan 2020).
Seandainya masih hidup, Arief yang kelahiran Jakarta pasti gelisah mengetahui ada 14.697 perusahaan merumahkan 13.279 buruh, 3.348 perusahaan lain mem-PHK 30.137 buruh (Dinas Tenaga Kerja 2020). Yang terparah adalah buruh padat karya, pekerja informal, buruh harian, dan berpenghasilan rendah serta tanpa jaminan sosial.
Di hadapan negara, buruh kesulitan melaksanakan kebijakan ”jarak fisik/sosial”. Terbatasnya fasilitas membuat mereka kerap berkegiatan secara berdesakan. Apalagi anjuran ”kerja dari rumah”. Alat-alat kerja mereka tersimpan di pabrik. Jika tidak ke pabrik, mereka terancam pemotongan upah.
Arief pasti mengkritik Pemerintah, misalnya ketika Menteri Ketenagakerjaan gagal melarang perusahaan mem-PHK buruh tanpa perundingan dengan serikat buruh. Atau ketika buruh Tangerang meninggal karena Covid-19 akibat pemerintah daerah membiarkan pabrik tetap beroperasi selama PSBB.
Karena kesadaran, buruh bersama mahasiswa merencanakan protes besar atas dua masalah tersebut. Tapi negara melancarkan tekanan dan penangkapan-penangkapan aktivis–disertai tuduhan adanya rencana penjarahan massal. Ini hanya memperlemah kehidupan buruh.
Inilah yang dimaksud Arief sebagai lemahnya daya-tawar buruh di depan pengusaha dan negara. Buruh miskin bukan karena malas, tapi absennya pemerataan kemakmuran. Ia yakin ada jalan lain menuju pembangunan negara kesejahteraan tanpa perlu merepresi kebebasan.
Demikianlah pemikirannya. Selain melalui buku dan Munir, saya mengenal Arief dari ayah istri, R Soesanto Soeprapto. ”Orang bilang aksi mahasiswa 1966 terjadi karena Hok Gie. Keliru. Itu Hok Djin. Dialah penulis pamflet-pamflet mahasiswa. Dia suka main ke eyang di Imam Bonjol karena sama-sama melawan Soekarno. Sejak sekolah peduli orang miskin,” kata ayah yang tentu bias karena bersahabat sejak sekolah menengah pertama di Kanisius hingga sama-sama aktif di Gerakan Mahasiswa Sosialis, Universitas Indonesia.
Bagaimanapun, Arief dan Hok Gie adalah kakak-adik yang melegenda karena melawan tirani. Kesahajaan Arief yang feminis membuat istri saya ingin menetap di Salatiga, saat menikmati perbukitan dekat kampungnya yang asri.
Kini Indonesia kehilangan Arief. Kepergiannya mengingatkan kita tentang pentingnya peran intelektual-aktivis yang memikirkan nasib buruh yang kini terdampak krisis ekonomi selama wabah. Intelektual-aktivis yang menuntun pencarian kebenaran dan mendorong pemerataan kemakmuran sambil menjalani hidup sederhana dan peduli sesama.
(Usman Hamid, Peneliti Public Virtue dan Pengajar sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera)