Saat ini banyak promosi tes cepat (rapid test) antibodi terhadap SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit Covid-19. Upaya itu baik, tetapi berbahaya jika tidak disertai pemahaman cara pemeriksaan dan penafsiran hasilnya. Oleh karena itu, profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn) berinisiatif mengajukan bagan alur pemeriksaan cepat sebagai pedoman.
Nama rapid test dapat menimbulkan kesalahpahaman, dianggap memberikan hasil saat itu juga. Padahal, yang dideteksi adalah antibodi yang dibentuk tubuh sebagai reaksi terhadap masuknya virus, sementara umumnya antibodi imunoglobulin (IgM dan IgG) baru terdeteksi setelah 8-10 hari ada gejala (demam, batuk, nyeri otot, dan lain-lain). Jadi, rapid test tidak pas untuk deteksi dini.
Rapid test antibodi baik untuk studi epidemiologi, prevalensi, dan surveilans penyakit atau untuk membantu diagnosis setelah masuk fase klinis sakit minggu kedua. Diagnosis klinis untuk deteksi dini dan penentuan kesembuhan pada Covid-19 adalah berdasarkan swab hidung dan tenggorok untuk deteksi gen virus dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
Apabila hasil rapid test non-reaktif, kemungkinan adalah tak ada infeksi virus SARS-CoV-2 atau ”negatif palsu”, yaitu terinfeksi, tetapi antibodi belum terdeteksi karena masih masa inkubasi (masa antara masuknya virus sampai timbul gejala sakit). Atau tubuh tak membentuk antibodi karena kelemahan sistem imunologik (immunocompromised), misalnya pada pasien kanker, HIV, transplantasi organ, autoimun, penyakit kronis, dan usia lanjut.
Maka, hasil non-reaktif berarti belum tentu tidak sakit atau terinfeksi. Yang bersangkutan tetap perlu isolasi diri, jaga jarak, serta berperilaku bersih dan sehat. Periksa ulang setelah 7-10 hari. Bahaya jika merasa ”bebas virus” atau ”sehat” dan tetap berkontak dengan banyak orang.
Jika hasil reaktif, kemungkinannya adalah terinfeksi atau ”positif palsu” (ada reaksi silang dengan virus lain atau infeksi virus di masa lampau). Jadi, belum tentu sakit/terinfeksi. Perlu periksa lanjut dengan uji PCR. Semoga rapid test antibodi SARS-CoV-2 IgM IgG dapat dipergunakan dan ditafsirkan secara benar.
Marzuki Suryaatmadja Pensiunan Guru Besar Patologi Klinik FKUI/RSCM, Jalan Sawo, Jakarta Pusat
Jangan Stop KRL
Saya setuju pendapat yang menyatakan, bukan penghentian operasional kereta rel listrik (KRL) yang penting dalam masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ini, tetapi aktivitas yang memicu warga menggunakan KRL. Kita sepakat bahwa PSBB untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Jadi, seharusnya kegiatan warga yang dibatasi, bukan menyetop sarana transportasi.
PT Kereta Commuter Indonesia sudah tepat membatasi jumlah penumpang hingga 50 persen dalam setiap kereta. Namun, mengurangi jumlah perjalanan hanya membuat calon penumpang menumpuk di stasiun. Saya yakin para penumpang KRL adalah mereka yang terpaksa berpergian karena tempat kerja (usaha) mengharuskan mereka tetap hadir. Pihak berwenang sebaiknya membatasi tempat usaha, kecuali yang diizinkan dalam PSBB.
A Ristanto Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Efektivitas PSBB
Setelah berhari-hari menjalani PSBB, menurut saya, masih minim dukungan warga. Banyak yang tidak menaati arahan pemerintah dan beraktivitas seperti biasa. Bisa jadi, masyarakat tidak taat karena tidak ada jaminan untuk keberlangsungan hidup mereka selama PSBB.
Menurunkan petugas keamanan bukan jalan keluar terbaik, demikian juga dengan sanksi. Jalan keluar terbaik adalah menjamin setiap warga tetap bisa makan setiap hari sampai pandemi bisa diatasi.
Diena yashinta Jalan Abdul Mutholib, Segala Mider, Bandar Lampung