Sumber ILO menyebutkan, salah satu efek global dari bencana Covid-19 pada tiga bulan mendatang adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 195 juta orang. Sebanyak 125 juta di antaranya terjadi di kawasan Asia Pasifik, 22 juta di Afrika, dan 29 juta di Amerika.
Untuk Indonesia, sampai 20 April 2020, Kementerian Tenaga Kerja melaporkan pekerja sektor formal yang sudah terkena PHK 1.304.777 orang, belum termasuk yang sedang dirumahkan. Proyeksi Center of Reform on Economics (Core) Indonesia mengungkapkan, angka pengangguran terbuka secara nasional pada kuartal II-2020 bisa bertambah 4,25 juta orang untuk skenario rendah menjadi 6,68 juta orang dalam skenario sedang dan 9,35 juta pada kondisi terburuk.
Ada tujuh sektor yang paling terdampak, yakni garmen/tekstil, restoran, transportasi, manufaktur, perhotelan, konstruksi, perdagangan barang/jasa.
Sementara berdasarkan data BP Jamsostek sampai 20 April, 3.454 perusahaan mengirim surat meminta relaksasi pembayaran iuran Jamsostek, umumnya meminta penundaan pembayaran iuran. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian saat ini bersama BP Jamsostek sedang merumuskan aturan mekanisme pemberian relaksasi iuran ini.
Tak pernah terlintas dalam benak buruh ada sebuah masa, perayaan Hari Buruh tidak bisa berlangsung akibat sebuah pandemi global.
Menurut kalangan pengusaha, imbauan untuk tidak melakukan PHK mustahil dipenuhi di tengah pandemi saat ini. Persoalannya, dengan produksi yang lagi anjlok, dari mana biaya untuk menggaji pekerja? Pemerintah memang terus menambah berbagai stimulus relaksasi, seperti pengurangan Pajak Penghasilan, restrukturisasi kredit bank, dan insentif untuk 18 sektor industri. Namun, kebijakan ini dinilai belum kuat untuk mencegah timbulnya PHK dalam 3-6 bulan ke depan.
Indonesia butuh stimulus fiskal dan moneter yang superprogresif. Kebijakan mitigasi tak boleh lambat dan pelit, harus inovatif dan cepat agar krisis tak membesar dan menyasar ke masalah sosial yang lebih besar.
Kebijakan mitigasi
Serikat buruh internasional (ITUC) Maret lalu mengeluarkan publikasinya sebagai hasil survei internasional atas 59 negara mengenai kebijakan pemerintah dalam melindungi kehidupan pekerja.
ITUC membuat lima parameter pengukur kebijakan pemerintah bagi pekerja, yaitu paid sick leave (membayar gaji pekerja yang terinfeksi atau isolasi mandiri), wage support (membantu likuiditas perusahaan untuk membantu membayar sebagian upah pekerja), income support (bantuan uang untuk pekerja ter-PHK selama tiga bulan), loan relief (penundaan pembayaran tagihan kredit rumah dan lainnya selama krisis), dan free health care (pekerja ter-PHK bebas biaya perawatan rumah sakit).
Dari survei ini ternyata hanya ada 12 negara memiliki nilai tertinggi: Argentina, Austria, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Inggris.
Sementara itu, publikasi Dana Moneter Internasional (IMF) 28 Maret 2020 memuji 12 negara yang paling banyak menggelontorkan dukungan fiskal untuk penanganan Covid-19 dan pencegahan krisis diukur dari persentase produk domestik bruto (PDB): Singapura 10,9 persen, Amerika Serikat 10,5 persen, Australia 9,7 persen, Kanada 6 persen, Jerman 4,5 persen, Arab Saudi 2,7 persen, Perancis 2 persen, Italia 1,4 persen, China 1,2 persen, Korea Selatan 0,8 persen, Spanyol 0,7 persen, dan Malaysia 0,4 persen.
Indonesia seharusnya berada di urutan ketujuh karena mengalokasikan 2,55 persen dari PDB untuk penanggulangan Covid-19, tetapi karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dikeluarkan setelah publikasi IMF dirilis, Indonesia tidak termasuk dalam daftar tersebut.
Kembali ke persoalan stimulus yang diragukan keampuhannya untuk meredam laju PHK, sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan kapan persisnya wabah virus korona akan mereda. Presiden Jokowi bahkan menyatakan sektor pariwisata kemungkinan baru pulih pada awal tahun depan. Perluasan subsidi, lanjutan relaksasi, dan kemudahan lain harus terus dicari dan diberikan.
Subsidi pemerintah yang hanya berlaku sampai enam bulan tentu harus ditambah jika Indonesia menghadapi skenario paling buruk. Setelah Juli yang diperkirakan sebagai puncak akhir pandemi, tidak berarti selanjutnya pulih secara total dengan mudah.
Dari perspektif ekonomi, pembatasan-pembatasan yang diberlakukan saat ini (jaga jarak, pembatasan sosial berskala besar (PPSB), penghentian transportasi publik, penutupan bisnis, PHK masif, dan kerja dari rumah akan memukul sisi penawaran (aggregate supply) dan sisi permintaan (aggregate demand) dalam jangka panjang. Itu sebabnya banyak yang memprediksi krisis ekonomi akan lebih lama berlangsung ketimbang berlangsungnya pandemi Covid-19.
Sekalipun Covid-19 bisa dihilangkan dari Indonesia, karena ekonomi Indonesia telanjur terpuruk parah dan banyak tergantung pasar internasional, Indonesia masih harus menunggu pemulihan ekonomi global sebelum kembali pulih seperti sebelumnya.
Kesediaan untuk bekerja sama
Solusi ekonomi yang saat ini diluncurkan pemerintah bagaimanapun harus disambut positif. Tentunya akan berdampak kuat dan cepat jika ada kemauan semua pihak untuk bekerja sama. Kedisplinan rakyat yang ditunjukkan rakyat China, Korea Selatan, Jepang, dan Vietnam yang bisa meredam laju Covid-19 bisa dijadikan cerminan bahwa dengan kerja sama dan nasionalisme tinggi, masalah lebih mudah diatasi.
Kebiasaan politicking, curiga berlebihan, dan merusak citra pemerintah dengan berita hoaks hanya membuat hidup rakyat memburuk. Termasuk banyak buruh yang masih menuntut agar segala haknya diberikan sama seperti yang mereka terima sebelum krisis, sementara perusahaan sudah nyaris bangkrut.
Padahal, masih ada opsi lain yang bisa dilakukan sebelum tiba pada pilihan PHK. Misalnya, penundaan pemberian pesangon, pemotongan upah sementara, penurunan fasilitas, mengurangi sif kerja, mengurangi jam atau hari kerja, mempercepat pensiun, dirumahkan dengan upah dipotong sebagian, dan solusi lainnya.
Kebiasaan politicking, curiga berlebihan, dan merusak citra pemerintah dengan berita hoaks hanya membuat hidup rakyat memburuk.
Pegawai pemerintah dan BUMN terbukti setuju dengan peniadaan THR. Ada juga kesepakatan buruh dan majikan yang setuju pemotongan upah sampai 50 persen asal tidak di-PHK. Inisiatif di tingkat institusi akan jauh lebih efektif ketimbang membawa kasus ke ranah hukum.
Sebagai solusi praktis, pemerintah perlu memikirkan untuk meniru apa yang dilakukan Singapura, Argentina, dan Austria yang memberikan dana talangan untuk membantu likuiditas perusahaan untuk membayar gaji pekerja demi menghindari PHK. Memang stimulus ini akan sangat mahal dan membebani fiskal.
Indonesia bisa memberikan talangan likuiditas ke perusahaan padat karya tertentu secara selektif agar mayoritas pekerja kita tetap bekerja, konsumsi bertahan, dan ekonomi tidak jatuh terpuruk. Mengenai mekanisme pengembalian talangan tersebut bisa dicari bentuknya dalam skema pinjaman jangka panjang.
(Rekson Silaban, Analis Indonesia Labor Institute)