Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial
Dengan asumsi pemerintah, DPR, dan MK bertanggung jawab dan tulus berjuang untuk keselamatan bangsa dan kebaikan rakyat, tak perlu ada kekhawatiran terhadap proses pembuatan dan pengujian bahkan penentangan atas perppu.
”Mana ada perppu yang bebas dari tentangan dan bisa disetujui oleh semua orang?” Tidak ada. Itulah pertanyaan sekaligus jawaban yang ekstrem.
Ya, bagi kita yang selalu mengikuti perkembangan hukum di Indonesia tidak akan kaget jika ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dipersoalkan, baik secara politis maupun secara yuridis. Sebab, setiap ada perppu pasti ada yang menentang, selain banyak juga yang mendukung. Coba buka arsip perjalanan hukum kita. Dapat dikatakan, tidak ada perppu yang tidak dipersoalkan dan tidak kontroversial.
Bahkan, meskipun sangat jarang, ada juga perppu yang ditolak (tepatnya, tidak disetujui) oleh DPR dan dibatalkan (tepatnya, dinyatakan bertentangan dengan konstitusi) oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pun tidak apa-apa karena tidak ada sanksi bagi pembuatnya.
Paling jauh hanya diminta pemberhentian keberlakuannya disertai solusi baru. Begitu pula yang sekarang terjadi atas Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19). Ada yang menudingnya inkonstitusional dan menabrak hukum.
Ada yang mempersoalkan melalui gedung DPR dan akan menyoalnya melalui political review atau legislative review. Ada yang membawanya ke MK melalui judicial review. Sejak dulu sudah selalu begitu. Kita harus menanggapinya sebagai hal yang biasa. Toh, hasilnya, semua, (harus) untuk kepentingan rakyat.
Sebab, setiap ada perppu pasti ada yang menentang, selain banyak juga yang mendukung.
Seperti biasa, gugatan atas sebuah perppu yang pertama-tama selalu ditembakkan pada masalah ada cukup alasan atau tidaknya tentang ”kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dikeluarkannya perppu tersebut. Selalu itu masalah pertamanya.
Untuk Perppu No 1/2020 ada lagi, minimal, dua hal yang dipersoalkan, yaitu soal pengaturan perubahan atau pengaturan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan peraturan presiden (perpres) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) dan soal kekebalan hukum bagi para pejabat pengambil keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 27.
Padahal, kedua hal itu sudah ada juga dalam beberapa undang-undang (UU) lain, seperti di dalam UU No 20/2019 tentang APBN 2020, UU No 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), dan UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.
Sebagai bagian dari anggota kabinet, saya tak akan mengupas jawaban atas persoalan-persoalan itu melalui tulisan ini. Ada forum dan waktunya sendiri nanti. Saya hanya akan membuka memori kolektif kita bahwa setiap perppu selalu dipersoalkan, baik melalui jalur legislasi di DPR maupun melalui yudikasi di MK.
Ditolak dan dibatalkan, biasa saja
Dalam sejarah tentang perppu yang selalu dipersoalkan itu sebagian besar akhirnya lolos pada proses legislasi (political review atau legislative review) di DPR dan proses yudikasi (judicial review) di MK. Namun, ada juga yang ditolak oleh DPR dan ada yang dibatalkan oleh MK.
Saya beri contoh dua dari belasan perppu yang pernah dikeluarkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ditolak oleh DPR dan dibatalkan oleh MK. Ini agar dipahami secara lebih meluas bahwa masalah perppu adalah masalah ketatanegaraan biasa, bukan masalah pidana yang pembuatnya bisa dijatuhi hukuman pidana.
Pada 2008, DPR menolak perppu yang dikeluarkan Presiden SBY, yakni Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Masalahnya selesai, sampai sekarang tidak diapa-apakan meskipun menurut UU perppu yang tidak disetujui DPR itu seharusnya dicabut dengan sebuah UU.
Begitu juga pada 2014, MK membatalkan Perppu No 1/2013 yang kemudian dijadikan UU No 4/2014 tentang Perubahan Kedua UU tentang Mahkamah Konstitusi. Masalahnya selesai, sampai sekarang pembentuknya tidak dijatuhi sanksi apa pun. Risiko ditolak atau dibatalkannya sebuah perppu tidak lebih dari sekadar bahwa keberlakuan perppu itu tidak dilanjutkan atau dihentikan.
Dengan demikian, kita tidak perlu kaget jika sebuah perppu dipersoalkan karena hal itu selalu terjadi setiap ada perppu. Itu takkan terhindarkan sebagai hal yang harus dihayati ketika kita menganut prinsip dan sistem demokrasi dengan muatan mekanisme checks and balances seperti yang dianut oleh konstitusi kita. Malah, dari fakta historis itu, kita bisa berpikir positif bahwa penilaian di DPR dalam proses political review dan legislative review atau gugatan (permohonan pengujian) di MK melalui judicial review atas sebuah perppu merupakan mekanisme konstitusional untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan ketatanegaraan kita.
Selalu pancing kontroversi
Bahwa perppu selalu memancing kontroversi tentu karena sifat yang melekat padanya bahwa ia dibuat dalam ”kegentingan yang memaksa”. Penilaian atas keadaan genting itu, meskipun secara teori memang menjadi hak subyektif dari presiden dan sudah ada kriterianya menurut Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, tetaplah selalu bisa dipersoalkan. Itulah sumber kontroversinya.
Adapun para penentang terhadap perppu itu jika diperhatikan, minimal, ada dua kelompok. Pertama, mereka yang benar-benar mempersoalkan kesesuaian antara asumsi dan solusi perppu dengan ketentuan konstitusi. Mereka ini benar-benar berpikir konsisten tentang pesan konstitusi dan penurunannya ke dalam perppu.
Kedua, mereka yang tidak mempersoalkan hubungan hierarkis dan konsistensi tentang perppu dengan konstitusi dan peraturan perudang-undangan lain, tetapi murni mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan isi perppu karena perbedaan pilihan politik hukum.
Para pembentuk UU atau perppu, baik pemerintah maupun DPR, tidak perlu khawatir apalagi takut dihukum secara pidana karena membuat perppu.
Dalam kenyataan di lapangan, bisa saja muncul kelompok ketiga, yakni mereka yang secara politik memang berperilaku pokoknya hantam kromo, apa pun yang dilakukan pemerintah harus ditentang. Kelompok ketiga ini tidak terlalu penting untuk didiskusikan.
Tak ada pidana bagi pembuatnya
Para pembentuk UU atau perppu, baik pemerintah maupun DPR, tidak perlu khawatir apalagi takut dihukum secara pidana karena membuat perppu. Tak pernah dan tidak akan pernah ada orang dijatuhi hukuman pidana karena membuat perppu. Mengapa? Sebab, secara taksonomis pembuatan perppu itu masuk dalam ranah hukum tata negara yang mekanismenya masuk dalam ranah hukum administrasi negara. Bukan ranah hukum pidana.
Seumpama pun, melalui political review atau legislative review, produk perppu itu tidak disetujui DPR sebagai pilihan politik hukum, maka risikonya hanya harus dicabut atau dihentikan keberlakuannya. Dan seumpama pun, melalui judicial review, sebuah perppu ”dianggap” inkonstitusional oleh MK, maka risikonya hanya dibatalkan atau dinyatakan batal yang ujungnya juga keberlakuannya harus dihentikan.
Tidak ada hukuman pidana bagi pembuatnya. Yang mengandung ancaman hukum pidana itu bukan ”pembuatan” perppu, melainkan jika ”pelaksanaan” perppu-nya koruptif yang disertai dengan unsur mensrea (niat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan korupsinya itu sendiri).
Dengan asumsi bahwa pemerintah, DPR, dan MK sama-sama bertanggung jawab dan tulus berjuang untuk keselamatan bangsa dan kebaikan rakyat dengan berbagi tugas secara konstitusional, proses saling menilai dan menguji atas perppu apa pun tentu akan menghasilkan yang terbaik. Tidak akan menimbulkan kemacetan atau deadlocked ketatanegaraan yang bisa merugikan eksistensi bangsa dan negara. Tak perlu ada yang dikhawatirkan dari proses pembuatan dan pengujian bahkan penentangan atas perppu. Yakin, semuanya akan berakhir dengan baik.
(Moh Mahfud MD, Menteri Koordinator Polhukam; Guru Besar Hukum Tata Negara)