Direnung lebih dalam perihal kesimpangsiuran otoritas penanggulangan bencana Covid-19, nyatalah terdapat kompleksitas pembauran antara kekuasaan, kepentingan, hukum, moralitas, bahkan kekuatan.
Oleh
Sudjito Atmoredjo
·4 menit baca
Dalam konteks negara hukum Indonesia, persoalan otoritas penanggulangan Covid-19 wajib didasarkan pada hukum berlaku, bukan didasarkan pada kekuasaan belaka. Eksplisit, perlu ada rambu-rambu yang jelas tentang otoritas kelembagaannya.
Artinya, ada penunjukan secara tegas lembaga-lembaga mana (pemerintah, sosial, keagamaan, budaya, politik, ekonomi, keamanan, dan lain-lain) dan pejabat atau orang-orang (sendiri-sendiri ataupun bersama-sama) yang bertanggung jawab dalam penanggulangan Covid-19. Harus ada kejelasan pada setiap pihak perihal: tugas, hak, kewajiban, wewenang, lingkup kekuasaannya. Segalanya dituangkan dalam peraturan perundangan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dikenal tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Covid-19 masuk kategori bencana non-alam. Pasal 1 Angka 3, bahwa ”bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit”.
Ditetapkannya oleh pemerintah bahwa Covid-19 sebagai bencana non-alam, kiranya tak ada pihak keberatan. Konsisten dengan kebijakan demikian, lebih lanjut Presiden menunjuk kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) sebagai ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19, sekaligus sebagai koordinator utama dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Apabila konsisten bahwa penanggulangan Covid-19 didasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, secara hierarkis diselenggarakan secara bertahap, yakni mulai tahap prabencana, berlanjut ke tahap tanggap darurat, dan diakhiri dengan tahap pascabencana (Pasal 33).
Ditetapkannya oleh pemerintah bahwa Covid-19 sebagai bencana non-alam, kiranya tak ada pihak keberatan.
Lebih lanjut, secara hierarkis pula, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di provinsi dan kabupaten/kota, mendasarkan pada kebijakan daerah dan berpedoman pada arahan BNPB, menyelenggarakan penanggulangan di wilayahnya masing-masing secara terkoordinasi, terencana, terpadu, dan menyeluruh (Pasal 20 dan 21).
Ketentuan-ketentuan di atas membuka peluang penyelenggaraan bencana berbeda-beda, walaupun pada saat yang sama. Kondisi dan situasi daerah berbeda-beda, dapat menjadi pertimbangan bagi pemda menetapkan kebijakan berbeda pula. Sayang, kejadian-kejadian di lapangan menunjukkan, perbedaan-perbedaan itu berubah menjadi kesimpangsiuran.
Ambil contoh, perihal pentahapan bencana. Ada daerah (DKI Jakarta dan sekitarnya, misalnya) sudah parah penularan dan banyak korban meninggal. Wajar apabila daerah-daerah separah ini minta agar dikategorikan darurat, segera lockdown.
Sementara itu daerah lain, belum merasa perlu dikategorikan sebagai wilayah darurat. Cukup dikategorikan sebagai wilayah prabencana, berpotensi terjadinya bencana penularan Covid-19. Maka tak perlu lockdown.
Kesimpangsiuran otoritas
Perbedaan kondisi dan persepsi ini berlanjut pada perbedaan kebijakan daerah masing-masing. Ambil contoh, Kota Solo sudah ditetapkan wali kota sebagai wilayah KLB (keadaan luar biasa). Kota Tegal, sudah di-lockdown, walaupun secara lokal. DIY, tak mau lockdown, karena konsekuensi lockdown amat berat, antara lain: kewajiban menjamin makan-minum, kesehatan, dan kebutuhan hidup lain.
Lockdown dipersepsikan sebagai totalitas. Dilarang keras keluar dan masuknya orang ke wilayah lockdown. Karena itu, DIY masih terbuka bagi datangnya pemudik, asal dipantau, dan kalau ada indikasi terdampak Covid-19, harus diisolasi 14 hari. Nyatalah, ada kesimpangsiuran soal tahap-tahap bencana, soal lockdown, mudik, dan lain-lain.
Kembali pada persoalan otoritas. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tak memberikan otoritas tunggal kepada pemerintah pusat, atau presiden, atau ketua Gugus Tugas. Daerah pun tidak bebas menggunakan otoritasnya walaupun atas nama kemanusiaan, kedaerahan, berskala lokal.
Semua pihak mesti kembali pada asas-asas penanggulangan bencana sebagaimana tertuang pada Pasal 3 Ayat (1): kemanusiaan; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; keseimbangan, keselarasan, dan keserasian; ketertiban dan kepastian hukum; kebersamaan; kelestarian lingkungan hidup; ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaimana dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum penanggulangan Covid-19? Undang-undang ini banyak digunakan daerah untuk me-lockdown wilayahnya.
Ditafsirkan bahwa karantina artinya isolasi, dijauhkan dari interaksi sosial, bahkan dikunci dari pergerakan fisik. Maka beberapa wilayah, jalan, atau gang kampung ditutup total. Mungkin kepala daerah lupa bahwa syarat pengarantinaan adalah kondisi sudah darurat dan penetapan karantina oleh pemerintah pusat.
Atas dasar dua undang-undang di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (terdiri dari Elsam, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan Kontras) mendesak Presiden segera mengeluarkan peraturan pelaksanaannya yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, terutama dalam aspek pembatasan. Bahkan mereka mendesak agar komando pengendalian bencana dipimpin oleh Presiden sendiri.
Mungkin kepala daerah lupa bahwa syarat pengarantinaan adalah kondisi sudah darurat dan penetapan karantina oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat berpendapat lain. Karantina tidaklah sama dengan lockdown. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan. Dalam menjalankan PSBB, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui kolaborasi Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, Kementerian Perhubungan, Polri/TNI, pemda, dan kementerian/lembaga terkait.
Namun, tak tertutup kemungkinan, kebijakan darurat sipil (sebagai langkah terakhir) perlu dijalankan jika kondisi kian parah. Direnung lebih dalam perihal kesimpangsiuran otoritas penanggulangan bencana Covid-19, nyatalah terdapat kompleksitas pembauran antara kekuasaan, kepentingan, hukum, moralitas, bahkan kekuatan.
Kalaupun dua undang-undang di atas dilengkapi dengan peraturan pemerintah, tidak mudah diyakini kesimpangsiuran otoritas menjadi simsalabim teratasi, tuntas, penegakan hukum berjalan lancar. Kesimpang-siuran otoritas tampaknya tak kalah rumit daripada wabah Covid-19 itu sendiri.