Berpuasa di Tengah Wabah
Silaturahmi virtual dengan berbagai macam bentuk dan medium itu pastilah tetap dapat memperkuat silaturahmi. Tidak usah memaksakan diri mudik di tengah bencana wabah korona.
Pandemi penyakit yang diakibatkan oleh virus korona (Covid-19), selain menjangkiti jutaan dan menewaskan ratusan ribu orang secara global, juga menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Covid-19 menjungkirbalikkan konsep dan praksis politik, ekonomi, sosial, budaya, dan juga agama.
Kalau wabah ini pun usai, dampak negatifnya dapat dipastikan berlanjut bertahun-tahun ke depan.
Pemikiran dan praksis keagamaan Islam tidak terkecuali harus memberikan respons akibat disrupsi virus korona. Melintasi batas-batas agama, ras, atau suku bangsa, tradisi sosial-budaya, lapisan sosial-ekonomi dan wilayah negara, virus korona memaksa setiap dan seluruh umat beragama memberikan respons keagamaan yang tepat untuk menyelamatkan kemanusiaan.
Ibadah puasa dan ”maqashid al-Syari’ah”
Ibadah puasa Ramadhan 1441 H/2020 Masehi tetap wajib dilaksanakan umat beriman Muslim sesuai kalender Hijriyah sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah Ayat 183-184. Meski ada disrupsi akibat wabah korona, kewajiban berpuasa Ramadhan sebagai Rukun Islam ketiga tidak berubah; kaifiyat atau tata cara pelaksanaannya juga tidak mengalami perubahan.
Oleh karena itu, tidak relevan pandangan orang tertentu di Timur Tengah atau di Indonesia atau di mana pun yang mengusulkan agar kewajiban berpuasa Ramadhan tahun ini ditunda atau dibatalkan. Mereka berargumen, dengan tidak berpuasa, Muslim dapat mempertahankan atau meningkatkan imunitas menghadapi virus korona.
Ibadah puasa tidak bisa dibatalkan atau ditunda; tetapi kaifiyat, tata cara pelaksanaan beberapa ibadah lain terkait puasa Ramadhan bisa dimodifikasi. Para ulama mendasarkan perubahan atau modifikasi ibadah terkait pada prinsip penting dalam Islam—khususnya syariah dan fikih—tentang maqashid al-syari’ah.
Ibadah puasa tidak bisa dibatalkan atau ditunda; tetapi kaifiyat, tata cara pelaksanaan beberapa ibadah lain terkait puasa Ramadhan bisa dimodifikasi.
Dalam maqashid al-syari’ah, tujuan ketetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi manusia. Untuk itu, maqashid al-syari’ah menetapkan lima hal yang perlu dijaga: hifz al-din (menjaga agama), hifz al-al-nafs (menjaga jiwa/kehidupan), hifz al’aql (menjaga akal pikiran), hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta).
Dalam rangka ”menjaga” atau ”melindungi” kehidupan ketika menghadapi wabah korona, kaum beriman berislam harus menghindarkan diri dari kebinasaan yang disebabkan Covid-19. Untuk itu, setiap dan seluruh mereka harus menjauhkan diri dari kerumunan, termasuk ketika beribadah berjemaah di masjid.
Sesuai dengan prinsip hifz al-nafs, ada beberapa ibadah terkait puasa Ramadhan yang telah dimodifikasi kaifiyat-nya oleh ulama, misalnya shalat Tarawih yang lazimnya dikerjakan berjemaah di masjid, tetap bisa dikerjakan dengan jemaah terbatas di rumah. Sekali lagi, dengan modifikasi, ibadah-ibadah terkait puasa Ramadhan bukan dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya ke tahun depan; tetap dilaksanakan pada waktunya di hari-hari Ramadhan tahun ini.
Selain itu juga perlu dipahami, modifikasi pelaksanaan ibadah tak berarti umat Islam—atau juga umat beriman dalam agama lain—lebih takut kepada virus korona daripada kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pandangan simplistis ini banyak beredar di media sosial; padahal jelas tak selaras dengan maqashid al-syari’ah. Pandangan simplistis ini, yang jadinya menempatkan sejajar Covid-19 dengan Allah SWT menyesatkan, dan mesti dihindari ulama, ustaz, penceramah, atau fungsionaris agama.
Ibadah-ibadah terkait puasa Ramadhan mencakup shalat Tarawih; i’tikaf atau ”berdiam” untuk membaca Al Quran atau berzikir di masjid; memberi takjil, iftar (berbuka), dan menyediakan makan sahur. Ibadah-ibadah lain yang juga dilaksanakan pada Ramadhan adalah membayar zakat fitrah dan berbagai macam zakat lain, seperti zakat harta (mal), zakat hasil pertanian, zakat profesi, infak, sedekah dan wakaf.
Dari berbagai ibadah terkait itu, ada yang hukumnya sunah (tidak wajib) dilakukan, seperti shalat Tarawih. Meski demikian, dalam tata cara (kaifiyat) pelaksanaannya, shalat Tarawih lazimnya dikerjakan berjemaah di masjid atau di mushala. Shalat Tarawih juga lazim dilaksanakan berjemaah di masjid atau di tempat lain seperti kantor dan rumah yang menyelenggarakan iftar.
Tidak ada perubahan dengan kaifiyat ibadah shalat Tarawih dan iftar. Hanya saja, badan-badan fatwa di banyak negara Dunia Muslim, mulai dari Al Azhar Mesir, Arab Saudi, dan Indonesia (MUI), memfatwakan atau merekomendasikan agar shalat Tarawih dilaksanakan tak melibatkan jemaah berjumlah besar di masjid atau mushala, tetapi sebaliknya dilakukan jemaah terbatas di kediaman masing-masing.
Puasa, solidaritas dan filantropi
Tujuannya jelas agar orang-orang beriman yang puasa dapat mencapai derajat ”takwa”. Lazimnya takwa diartikan sebagai ”takut” kepada Allah SWT. Takut kepada Tuhan sering digambarkan sebagai ”sungkan” atau ”segan” kepada Allah; tapi juga ada ustaz yang menggambarkan takut kepada Tuhan secara literal karena Dia bisa murka dan mengazab makhluknya.
Tujuannya jelas agar orang-orang beriman yang puasa dapat mencapai derajat ”takwa”.
Sementara Ibn Katsir (1301-1373), ulama (tafsir dan fikih) dan sejarawan yang terkenal antara lain dengan karya monumentalnya Tafsir Ibn Katsir menyatakan, takwa berarti senantiasa menaati dan mengingat dan mensyukuri Allah SWT. Pada saat yang sama, orang takwa (muttaqin) menjaga atau memelihara dirinya agar tidak terjerumus ke dalam maksiat dan mudarat.
Orang berpuasa yang dalam usaha mencapai derajat takwa selain mengintensifikasikan ibadah-ibadah terkait puasa Ramadhan, juga perlu memperkuat solidaritasnya terhadap sesama. Intensifikasi itu perlu dalam solidaritas sesama yang dapat diwujudkan dengan peningkatan filantropi. Bulan puasa Ramadhan bagi Muslim Indonesia secara tradisional adalah waktu lebih baik (afdal) untuk memberi dan berbagi.
Berbagi dan memberi dalam Islam ada yang wajib dan ada pula yang sunah. Yang wajib dikeluarkan adalah zakat harta, zakat penghasilan (dari perniagaan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan profesi) jika sudah mencapai nisab (lama waktu dan ukurannya) dan zakat fitrah. Sementara yang sunah adalah infak, sedekah, dan wakaf.
Sekali lagi, semua bentuk filantropi Islam ini kian sangat dibutuhkan untuk menyantuni semakin banyak warga bangsa yang kehilangan pekerjaan sejak penyebaran wabah korona awal Maret. Sampai pertengahan April menurut beberapa estimasi 5 juta warga yang bekerja di sektor informal tidak lagi bisa mencari nafkah; sedangkan mereka yang bekerja pada sektor formal mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK} atau juga tidak bakal menerima gaji. Mereka menambah jumlah barisan penganggur lebih 7 juta yang sudah ada sebelumnya.
Kebijakan pemerintah pusat mulai dari penjarakan sosial ke penjarakan fisik sampai terakhir pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat keadaan ekonomi-sosial lapisan masyarakat bawah kian memburuk. Bantuan yang diberikan pemerintah pusat dan daerah tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di sinilah sha’imin dan sha’imat perlu meningkatkan solidaritas dengan membantu bagian masyarakat kita yang nestapa itu dengan sembako dan dana kontak. Lembaga amil zakat yang lazim mengalami ”masa panen” sepanjang bulan Ramadhan dan Idul Fitri sepatutnya menyalurkan dana dalam jumlah besar yang berhasil mereka kumpulkan kepada kaum fakir, miskin duafa, dan penganggur; lebih cepat menyalurkan dana filantropi itu pasti lebih baik.
Mudik virtual
Berbeda dengan puasa dan ibadah-ibadah terkait yang harus dilaksanakan sepanjang Ramadhan, pulang ”mudik” untuk tahun ini bisa dan sepatutnya ditunda. Mudik memang merupakan bagian integral prosesi puasa Ramadhan dan Idul Fitri, tetapi tidak ada ketentuan fiqhiyah yang mewajibkan mudik.
Oleh karena itu, jelas pulang mudik bukanlah ibadah dalam pengertian ketat dan sempit. Pulang mudik dalam rangka memperkuat kembali silaturahmi bisa mengandung nilai ibadah; sebab itu bisa disebut sebagai ”ibadah silaturahmi”. Tetapi berbeda dengan ibadah-ibadah lain, pulang kampung sebagai ibadah silaturahmi tidak terikat dan terbatas pada waktu tertentu.
Mudik di tengah wabah korona punya potensi besar untuk membuat semakin menyebarnya pandemi Covid-19. Sangat boleh jadi mereka yang sudah mengidap virus korona—tetapi tidak menunjukkan gejala terinfeksi—ketika mudik menyebarkan Covid-19 di atas kendaraan dan di lingkungan sanak famili dan karib kerabatnya di kampung.
Oleh karena itu, dalam rangka sekaligus mengikuti prinsip maqashid al-syari’ah khususnya dalam hifz al-nafs seyogianya rencana dan niat pulang mudik dibatalkan atau ditunda ke waktu lain ketika pandemi korona sudah berakhir. Pihak-pihak yang terlibat dalam prosesi mudik—baik yang mau mudik dan mereka yang mau ditemui di kampung—seharusnya saling memahami situasi dan kondisi sulit di tengah pandemi Covid-19.
Mudik di tengah wabah korona punya potensi besar untuk membuat semakin menyebarnya pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, silaturahmi Ramadhan dan Idul Fitri yang secara tradisional dilakukan dengan mudik secara fisik, kini bisa dilakukan secara virtual. Kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan berbagai bentuk silaturahmi; tidak hanya lewat pesan kata dan kalimat tertulis atau lewat suara, tapi bahkan juga dengan gambar live melalui berbagai media sosial.
Silaturahmi virtual dengan berbagai macam bentuk dan medium itu pastilah tetap dapat memperkuat silaturahmi. Tidak usah memaksakan diri mudik di tengah bencana wabah korona. Menjadi penyintas wabah korona, insya Allah warga Indonesia bisa lebih berteguh hati dan berbulat tekad kembali memperkuat silaturahmi, kohesi sosial, dan keutuhan negara-bangsa.
(Azyumardi Azra
Profesor UIN Jakarta;
Advisor Internasional ISTAC, IIUM, Kuala Lumpur)