Validitas Klimatologi Covid-19
Memprediksi perilaku virus SARS-CoV-2 berdasarkan karakteristik virus korona SARS dan MERS adalah tindakan sangat spekulatif. Sangat tidak bijak jika hanya mengharapkan keberpihakan dari faktor iklim.
Beberapa waktu lalu, seperti dikutip beberapa media cetak dan elektronik, Presiden Joko Widodo dan juga Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan adanya faktor klimatologi, seperti suhu udara dan kelembaban, yang menjadi salah satu aspek yang memengaruhi sebaran wabah virus SARS-CoV-2 (Covid-19) di dunia.
Terkait hal itu, Indonesia sebagai negara beriklim panas (suhu tinggi) dan memiliki kelembaban relatif tinggi akan diuntungkan oleh minimalisasi penyebaran Covid-19. Pendapat yang sama disimpulkan dari rekomendasi kajian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia yang menyebutkan bahwa kondisi iklim Indonesia tidak ideal untuk virus SARS-CoV-2 dan kondisi iklim tersebut membantu menghambat penyebaran Covid-19 (Kompas, 4/4/2020).
Hasil dari beberapa studi pada tahap awal kelompok peneliti di dunia memang menunjukkan bahwa penyebaran Covid-19 dapat melambat dengan suhu rata-rata yang lebih tinggi dan kondisi lembab di negara-negara yang mendekati musim panas.
Studi Universitas Maryland, Amerika Serikat, juga menunjukkan bahwa distribusi wabah yang terjadi pada komunitas secara signifikan ditentukan oleh posisi suatu wilayah (negara) pada garis lintang khatulistiwa, suhu, dan kelembaban relatif yang konsisten dengan karakteristik virus SARS-CoV-2.
Namun, penelitian ini masih dalam tahap embrio, artinya masih sangat awal dan terlalu prematur jika dijadikan dasar dalam penentuan penanggulangan wabah Covid-19. Bahkan, beberapa studi yang telah dipublikasikan tersebut di antaranya tidak melewati tahap peer review.
Namun, penelitian ini masih dalam tahap embrio, artinya masih sangat awal dan terlalu prematur jika dijadikan dasar dalam penentuan penanggulangan wabah Covid-19.
Karakteristik virus SARS-CoV-2
Awalnya, hipotesis pengaruh iklim didasarkan pada adanya pengamatan kasar pada fenomena rendahnya suhu dan kelembaban relatif pada Januari-Februari 2020 di episentrum Covid-19, kota Wuhan, China. Hal serupa itu terjadi di beberapa negara dengan angka kejadian Covid-19 cukup tinggi, seperti Korea Selatan, Jepang, Iran, dan Italia.
Berada dalam kisaran suhu 5-11 derajat celsius dan kelembaban relatif 47-79 persen menjadikan virus SARS-CoV-2 mampu bertahan lebih lama. Virus berada pada kondisi stabil di lingkungan seperti itu sehingga mampu meningkatkan intensitas transmisinya.
Hal ini juga selaras dengan karakteristik dari virus SARS-CoV-2 yang mampu bertahan hingga 72 jam pada permukaan keras, seperti plastik dan stainless steel, pada suhu 21-23 derajat celsius (70-73 fahrenheit) dengan kelembaban relatif 40 persen.
Iklim, perilaku manusia, dan kekebalan tubuh
Alasan lain untuk percaya bahwa pola iklim ini memiliki pengaruh pada penyebaran Covid-19 adalah adanya kemiripan virus ini dengan virus flu musiman penyebab infeksi influenza dan juga SARS. Kasus-kasus akibat virus tersebut menurun tajam pada Mei, ketika suhu di China memanas.
Seperti diketahui, di negara-negara dengan iklim sedang, seperti China dan Amerika Serikat, musim flu biasanya dimulai pada Desember. Masa puncaknya terjadi pada Januari atau Februari, setelah itu kasus berkurang.
Namun, apakah karakteristik virus korona penyebab SARS dan MERS juga akan sama dengan penyebab Covid-19? Apakah beberapa studi tersebut akan mengubah cara pandang dan strategi dalam mencegah penyebaran Covid-19, terutama di Indonesia?
Beberapa epidemiolog dari Harvard School of Public Health dan India Council of Medical Research memiliki pendapat yang masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa faktor iklim berperan besar dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Beberapa fakta menunjukkan bahwa suhu tinggi dan kelembaban tinggi ternyata tidak begitu berpengaruh terhadap penyebaran Covid-19 saat ini.
Seperti contoh pertumbuhan kasus yang cepat di provinsi dingin dan kering China, seperti Jilin dan Heilongjiang, yang sebanding dengan penularan di wilayah tropis China, seperti Guangxi, dan juga Singapura yang memiliki kelembaban tinggi. Kemudian yang terjadi di India, di mana musim panas sudah semakin dekat.
Dilaporkan di beberapa negara bagian di India, jumlah kasus Covid-19 meningkat terus, berbanding lurus dengan jumlah sampel yang diuji.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban pada musim semi dan musim panas tidak serta-merta menyebabkan penurunan kasus. Hal ini disebabkan virus SARS-CoV-2 bergantung jauh lebih dari sekadar kemampuannya untuk bertahan hidup di lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban pada musim semi dan musim panas tidak serta-merta menyebabkan penurunan kasus.
Faktor iklim juga dipercaya mampu mengacaukan sistem kekebalan tubuh kita sendiri sehingga lebih rentan terhadap infeksi. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang banyak disumbang oleh pancaran sinar ultraviolet B (UVB) dalam tubuh kita dapat memengaruhi seberapa rentan tubuh manusia terhadap penyakit menular.
Orang yang hidup di negara dengan musim dingin cenderung menghasilkan lebih sedikit vitamin D dari paparan sinar matahari. Ini ditambah dengan kebiasaan menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan dan membungkus diri dengan pakaian melawan udara dingin. Akan tetapi, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa teori ini tidak mungkin untuk menjelaskan variasi musiman yang terlihat pada penyakit seperti flu.
Yang lebih kontroversial adalah apakah cuaca dingin melemahkan sistem kekebalan (imunitas) tubuh kita? Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut. Akan tetapi, penelitian lain mengungkapkan, justru suhu lingkungan rendah (dingin) akan merangsang tubuh untuk meningkatkan dan mendorong sel-sel imun sehingga bisa melindungi tubuh dari infeksi virus.
Dari sinilah pemahaman pada karakteristik dan pemahaman soal epidemiologi penyakit musiman menjadi lebih rumit dan tidak hanya bersumber dari referensi yang sama.
Kasus penyakit seperti Covid-19 sangat bergantung pada transmisi antar-individu. Ini dimulai dari individu yang sekarang terinfeksi virus. Perubahan perilaku manusia juga dapat menentukan derajat keparahan infeksi.
Faktor perilaku sangat penting dalam penularan penyakit infeksi. Salah satu contoh penyakit yang mudah menjalar, seperti campak di Eropa, cenderung berketepatan dengan masa sekolah. Penularan berkurang selama liburan karena itu anak-anak tidak menyebarkan virus.
Adanya migrasi besar-besaran saat tahun baru Imlek pada 25 Januari lalu turut memainkan peran penting dalam penyebaran Covid-19. Virus dari warga Wuhan yang terinfeksi menyebar ke kota-kota lain di China dan seluruh dunia. Hal serupa terjadi di Italia. Penduduk memanfaatkan anjuran karantina untuk mudik.
Kebijakan kesehatan masyarakat
Sebagai kesimpulan, merujuk pada fakta bahwa pandemi Covid-19 saat ini telah menjalar begitu luas dan cepat di seluruh dunia, ada beberapa faktor selain suhu dan kelembaban yang memengaruhi penyebaran Covid-19 di sejumlah negara. Terdapatnya kondisi iklim lokal yang sangat bervariasi menunjukkan bahwa transmisi virus tidak hanya dibatasi oleh kondisi suhu dan kelembaban relatif. Transmisi akan ditentukan perilaku lokal manusia, kepadatan populasi, infrastruktur layanan kesehatan, dan tak kalah penting adalah intervensi kebijakan kesehatan masyarakat.
Perlu diingat, hilangnya penyakit SARS bukanlah sesuatu yang alami. Itu juga didukung oleh intervensi kebijakan kesehatan masyarakat secara intensif di China, Hong Kong, Vietnam, dan Thailand kala itu. Faktor suhu dan kelembaban mungkin saja memperlambat penyebaran, tetapi tidak untuk eradikasi Covid-19.
Memprediksi perilaku virus SARS-CoV-2 berdasarkan karakteristik virus korona SARS dan MERS adalah tindakan sangat spekulatif. Sangat tidak bijak jika hanya mengharapkan keberpihakan dari faktor iklim soal penanggulangan wabah Covid-19.
Pemerintah Indonesia juga sudah waktunya lebih fokus pada jumlah penduduk yang positif terinfeksi, pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang dalam pemantauan (ODP). Perlu dipersiapkan fasilitas perawatan yang standar hingga tingkat lanjut, Ini diikuti ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan, alat bantu napas (ventilator), dan ketersediaan laboratorium diagnosis yang ideal. Ini juga harus didukung dengan analis (sumber daya manusia/SDM) yang terlatih dan obat-obatan standar.
Pemerintah Indonesia juga sudah waktunya lebih fokus pada jumlah penduduk yang positif terinfeksi, pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang dalam pemantauan (ODP).
Para pakar seyogianya menahan keinginan untuk menarik kesimpulan dari analisis. Jangan mencocokkan pola penyakit dan kondisi iklim dari ruang dan waktu. Analisis juga harus lebih mengintegrasikan berbagai perilaku komunitas, faktor politik, dan status sistem kesehatan soal pandemi Covid-19.
Marilah mengambil pelajaran dari flu Spanyol pada 1918. Sejatinya pandemi tidak selalu mengikuti pola musiman yang biasa terjadi pada wabah normal. Diperlukan langkah-langkah yang serius dalam penanganannya.
(Yordan Khaedi, Pengajar dan Peneliti Fakultas Kedokteran UI; Dokter Sukarelawan Covid-19 DKI; Mantan Peneliti Pascadoktoral National Institute of Infectious Disease Tokyo, Jepang)