Nasib warga Rohingya di tempat pengungsian kian tak jelas di saat pandemi. Begitu pula kekerasan di tempat asal mereka, Rakhine, pun tak kunjung berhenti.
Oleh
·2 menit baca
Nasib warga Rohingya di tempat pengungsian kian tak jelas di saat pandemi. Begitu pula kekerasan di tempat asal mereka, Rakhine, pun tak kunjung berhenti.
Setelah aksi serangan udara dan bombardir di Rakhine akhir Maret 2020 yang menewaskan 32 warga sipil, kekerasan terus terjadi di Rakhine, Myanmar. Senin (20/4), sopir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pyae Sone Win Maung, meninggal akibat tembakan di Rakhine. Beberapa pekan terakhir, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat puluhan warga sipil terbunuh akibat pertempuran antara militer dan kelompok etnis bersenjata Arakan meningkat (Kompas, 22/4).
Namun, baik militer Myanmar maupun milisi Arakan saling menyalahkan atas kematian pengemudi WHO itu. Kantor PBB di Myanmar mengatakan, pengemudi berusia 28 tahun itu ditembak di dekat pos pemeriksaan militer di kota Minbya. Sayangnya, kantor PBB di Myanmar tidak menyebutkan siapa pelaku penembakan itu.
Pembatasan internet juga telah diterapkan oleh otoritas Bangladesh ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengecam keras penyerangan terhadap sopir itu. Ia meminta Myanmar menyelidiki secara transparan dan membawa pelaku ke pengadilan. Inggris dan Amerika Serikat adalah dua negara yang menyerukan diakhirinya pertempuran di Rakhine, paling tidak untuk membantu melindungi masyarakat yang rentan pandemi.
Milisi Arakan dan dua kelompok etnis bersenjata lainnya menyatakan gencatan senjata selama April. Namun, militer menolaknya dengan alasan gencatan senjata sebelumnya yang diusulkan pemerintah tidak diindahkan. ”Pembatasan internet juga telah diterapkan oleh otoritas Bangladesh ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar,” kata Juru Bicara Komisi HAM PBB Rupert Colville.
Akibat pemutusan listrik di Rakhine, Colville menyatakan sulit mendapat informasi yang bisa diandalkan tentang kondisi masyarakat sekarang. ”Di saat pandemi Covid-19 ini, kita sulit mengetahui apakah menjaga jarak fisik atau tindakan pencegahan lainnya juga diterapkan di Rakhine. Belum lagi jumlah tahanan melebihi kapasitas penjara,” kata Colville.
Pada Senin, ratusan narapidana Rohingya dikembalikan ke Rakhine dari Yangon setelah muncul kekhawatiran bahwa penjara yang penuh bisa menjadi sarang wabah Covid-19. Sementara di pengungsian, ribuan warga Rohingya naik perahu keluar dari Bangladesh untuk mencari negara ketiga, tetapi sebagian tenggelam dan tewas di Teluk Benggala.
Kekerasan di Rakhine tak terkait dengan kecelakaan laut warga Rohingya. Namun, kekerasan akan terus terjadi di Rakhine selama Myanmar terus menolak memberikan status warga negara kepada mereka. Warga Rohingya telah ratusan tahun tinggal di Rakhine. Namun, Myanmar menyatakan sebagian besar mereka pendatang ilegal.
Seruan gencatan senjata hanya solusi sementara. Myanmar harus terlibat mencarikan solusi permanen, apakah dengan memberikan status kewarganegaraan kepada mereka atau solusi lain yang diterima masyarakat internasional.