Rancangan Program Bantuan untuk Kelas Menengah Bawah
Bantuan sosial bukan satu-satunya hal yang harus dipenuhi pemerintah. Dalam kondisi krisis, banyak hal juga yang harus dipenuhi, seperti pengeluaran untuk kesehatan masyarakat atau bantuan terhadap dunia usaha.
Oleh
Benjamin A Olken
·6 menit baca
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
Menteri Sosial Juliari P Batubara (kemeja putih) memantau penyaluran kartu keluarga sejahtera di Kantor Kelurahan Sawah, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (21/4/2020).
Wabah Covid-19 telah menimbulkan permasalahan baru dalam soal bantuan sosial bagi kelompok yang membutuhkan. Seperti yang dikemukakan rekan saya, Rema Hanna, kemarin, di harian ini, sebelum krisis ini pemerintah Indonesia memfokuskan program bantuan sosialnya kepada kelompok miskin. Pemerintah sudah bertindak cepat dalam perluasan program-program yang sudah ada, dan tindakan ini akan memberikan bantuan yang amat dibutuhkan dalam mengatasi situasi ini.
Langkah pemerintah sudah benar. Namun, di hari-hari ini, di tengah-tengah tekanan ekonomi akibat wabah Covid-19, banyak orang —yang beberapa minggu yang lalu masih bekerja—kehilangan penghasilannya. Padahal, saat ini mereka sangat membutuhkan bantuan untuk membeli makanan, membayar sewa, dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya.
Ini menimbulkan persoalan baru. Banyak keluarga kelas menengah bawah belum menerima bantuan sosial dari pemerintah karena selama ini mereka memang bukan bagian dari kelompok miskin. Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan pendekatan baru untuk mengidentifikasi orang-orang yang sebenarnya juga rentan saat ini dan memberikan bantuan kepada mereka.
Pendekatan baru ini juga harus mempertimbangkan bagaimana bantuan diberikan dengan tetap memerhatikan aspek pembatasan sosial. Misalnya, menghindari pertemuan secara berkelompok. Jika orang harus berkumpul secara fisik atau mengantre untuk menerima bantuan, virus dapat menyebar di antara mereka.
Selain itu, anggaran pemerintah juga terbatas. Rekan saya, Chatib Basri, akan membahas besok Indonesia memang masih bisa mengusahakan tambahan ruang fiskal untuk digunakan bagi perlindungan sosial, tetapi tentu saja ada batasnya. Karena itu, kita perlu mengidentifikasi dan memverifikasi orang-orang yang paling membutuhkan, yaitu mereka yang kehilangan pekerjaan dan kehilangan penghasilan usaha, dan memberikan bantuan langsung ke mereka.
Banyak keluarga kelas menengah bawah belum menerima bantuan sosial dari pemerintah karena selama ini mereka memang bukan bagian dari kelompok miskin.
Bagaimana ide ini dapat diimplementasikan dengan cepat dan baik? Suatu program bisa saja bagus secara konsep, tetapi apabila tak diterapkan dengan baik, dampaknya akan terbatas. Ini tak mudah karena ada kebutuhan mendesak yang perlu ditindak lanjuti dengan cepat. Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Tiga opsi
Ada tiga ide kebijakan yang bisa dipertimbangkan. Ketiga opsi ini dapat dipertimbangkan karena dapat diimplementasikan dengan cepat. Selain itu penelitian kami menunjukkan bahwa opsi-opsi ini dapat diimplementasikan.
Pertama, pemerintah baru-baru ini mengumumkan Program Kartu Prakerja, yang dengan cepat diadaptasi untuk merespons krisis Covid-19. Kartu Prakerja menyediakan pelatihan daring dengan memberikan Rp 600.000 per bulan dalam bentuk uang tunai selama empat bulan. Program ini direspons secara positif dan jutaan orang telah melamar.
Banyak dari mereka juga direkomendasikan oleh pengusaha besar dan asosiasi pengusaha kecil. Pendanaan tersedia untuk lebih dari lima juta pekerja yang menganggur. Ini adalah langkah awal yang sangat baik karena dapat mengisi kekosongan dalam program bantuan sosial yang ada. Program ini bertujuan untuk memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak Covid-19 saat ini, tetapi belum tercakup dalam program bantuan sosial yang lain. Saya menganggap perluasan program ini menjadi opsi yang sangat masuk akal.
Seiring dengan meningkatnya skala program, ada peluang untuk lebih meningkatkan komponen pelatihan. Pelatihan itu penting, karena dapat membantu untuk meningkatkan keterampilan ketika ekonomi kembali lagi berjalan.
Selain itu, ada manfaat lain dari mewajibkan pelatihan sebagai syarat bantuan jika pelatihannya dilakukan dengan benar. Meminta orang untuk mendaftar dan menyelesaikan program pelatihan dapat digunakan sebagai mekanisme untuk mengidentifikasi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Logikanya begini: mereka yang menganggur dan benar-benar membutuhkan bantuan akan menyelesaikan pelatihan. Sedangkan mereka yang memiliki peluang lain untuk mendapatkan penghasilan dengan cara lain akan memilih untuk bekerja ketimbang menghabiskan waktu mereka dalam kursus pelatihan secara daring.
Namun, nantinya, tentunya seiring meningkatnya skala program, pemerintah harus mengalokasikan uang lebih banyak untuk bantuan tunai ketimbang pelatihan. Yang menarik, dari segi biaya, tak diperlukan biaya tambahan yang banyak untuk memberikan kursus pelatihan daring kepada 10.000 orang atau 1.000 orang.
Karena itu kalau program diperluas, ada biaya pelatihan yang dapat dihemat. Biaya yang dapat dihemat ini kemudian dapat digunakan untuk bantuan tunai yang bisa diberikan langsung ke kelompok penerima manfaat.
Kedua, pemerintah dapat memanfaatkan teknologi digital dengan cara-cara baru: sebagai alat untuk mengidentifikasi penerima manfaat yang membutuhkan, dan sebagai mekanisme untuk mengirimkan transfer tunai dengan tetap memerhatikan aturan pembatasan sosial. Ponsel adalah sumber data yang luar biasa dan belum dimanfaatkan.
Dengan cara tersebut pemerintah juga dapat memastikan bahwa orang yang memiliki kartu SIM kedua tidak disalahkategorikan sebagai ”miskin”, padahal mereka sebenarnya memiliki kartu SIM lain yang sering digunakan. Teknologi ini juga dapat membantu memastikan tidak ada yang menerima transfer lebih dari sekali.
Sebagian besar kartu SIM dapat dikaitkan dengan nomor identitas kependudukan (NIK) sehingga pemerintah dapat memastikan bahwa bantuan ini hanya diberikan kepada rumah tangga yang belum menerima program lain.
Dalam kondisi normal, mungkin ada masalah dalam kerahasiaan data jika metode ini digunakan, tetapi dalam situasi krisis seperti saat ini, pemerintah dapat melakukan pengecualian. Program seperti ini dapat dilakukan secara cepat dan otomatis. Misalnya, setiap orang yang diidentifikasi langsung menerima bantuan. Atau, untuk menargetkan penganggur dengan lebih tepat, pemerintah dapat meminta dilakukan pendaftaran dahulu dan menggunakan data ini sebagai bagian dari proses verifikasi.
Ponsel juga membuka ruang untuk memberikan bantuan secara elektronik. Transfer dapat dilakukan melalui pulsa atau e-wallet. Ini bisa dilakukan dengan membuatnya dapat dikonversikan ke rekening bank atau ke dompet digital yang dapat digunakan untuk membeli barang atau pembayaran tunai.
Ini juga akan memberikan manfaat tambahan dengan kian luasnya ruang lingkup dan penggunaan uang digital. Penelitian telah menunjukkan manfaat ekonomi dari hal ini. Tentu agar ini dapat diimplementasikan, perlu relaksasi beberapa peraturan.
Target berbasis komunitas
Ketiga, pemerintah dapat menggunakan penentuan target berbasis komunitas. Idenya adalah meminta masyarakat secara langsung menunjukkan siapa di RT/RW mereka yang paling membutuhkan bantuan. Penelitian kami sebelumnya, Alatas, Banarjee, Hanna, Olken, dan Tobias (2012), untuk kasus Indonesia, menunjukkan masyarakat memiliki informasi atau tahu siapa yang paling membutuhkan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.
Penelitian kami juga menunjukkan bahwa informasi ini dapat dimanfaatkan untuk menetapkan target bantuan. Saat ini, bahkan dengan adanya pembatasan sosial, bisa digunakan Whatsapp dan sistem daring lainnya untuk mengetahui dari masyarakat siapa di lingkungan mereka yang paling terpukul oleh Covid-19.
Dengan panduan yang jelas tentang bagaimana distribusi dari pintu ke pintu (door to door distribution) melalui jaringan RT/ RW, metode ini dapat menjadi alat yang efektif untuk mengidentifikasi dan mendistribusikan bantuan bagi mereka yang paling membutuhkan sambil tetap menjaga pembatasan sosial.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Petugas PT Pos Indonesia dan tukang ojek daring mempersiapkan paket bahan pokok dari Jawa Barat untuk disalurkan ke warga terdampak PSBB di Kota Bekasi, Rabu (15/4/2020). Bantuan bernilai Rp 500.000 per keluarga itu akan diantar langsung ke rumah warga.
Kita tahu, bantuan sosial bukan satu-satunya hal yang harus dipenuhi pemerintah. Dalam kondisi krisis seperti ini, banyak hal juga yang harus dipenuhi oleh pemerintah, seperti pengeluaran untuk kesehatan masyarakat atau bantuan terhadap dunia usaha. Ini semua membutuhkan dana. Pemerintah perlu mempertimbangkan ini semua.
Dalam tulisan besok, Chatib Basri akan membahas sejauh mana secara anggaran pemerintah mampu melakukan ini, dan bagaimana membiayainya. Mengingat tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini berbeda dengan sebelumnya, maka pendekatan baru untuk memberikan bantuan ini dapat membantu.
Benjamin A Olken, Guru Besar Ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT); Direktur the MIT’s Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL)