Penulis mengajak pemangku kebijakan bersikap realistis. Paket-paket kebijakan yang ada masih kurang menyentuh aspek penanganan kredit bermasalah; mungkin karena trauma krisis 1998.
Oleh
Moch Doddy Ariefianto
·5 menit baca
Sudah lebih dari satu bulan, kebijakan pembatasan sosial (social distancing) diterapkan (dengan berbagai modifikasi) di seluruh pelosok negeri untuk meredam dampak pandemi Covid-19. Kebijakan ini berdampak sangat negatif pada kinerja ekonomi, tetapi sangat diperlukan untuk menjaga sistem kesehatan nasional supaya tidak rontok. Negara-negara lain seperti Malaysia, India, Inggris, dan Italia bahkan menerapkan kebijakan yang lebih drastis lagi: lockdown.
Skenario dasar (baseline) dari para pakar pandemi masih akan berlangsung dengan puncak diprediksi 2-6 bulan dari sekarang. Otoritas di banyak negara tak tinggal diam, triliunan dollar AS siap dikucurkan untuk mendukung habis-habisan sistem pertahanan kesehatan dan ekonomi negara.
Indonesia tak ketinggalan, melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dana Rp 405,1 triliun telah disiapkan untuk menangani dampak pandemi. Perppu ini tidak hanya mencakup tentang dana, tetapi juga memperkuat wewenang para pengawal stabilitas sistem keuangan (SSK): Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Statistik industri perbankan sesaat sebelum pandemi menerjang dapat dikatakan solid. Ini dapat dilihat dari permodalan (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 22,7 persen per Januari 2020. Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) 2,7 persen, dan profitabilitas (return on assets/ROA) 2,67 persen. Likuiditas (loan to deposit ratio/LDR) juga terjaga di level 92,6 persen, di mana rasio alat likuid dibagi non-core deposit (AL/NCD) 101,3 persen.
Namun, tantangan yang dihadapi juga sesuatu yang sangat jarang terjadi, tetapi memiliki dampak luar biasa besar (black swan). IMF pada siaran pers 23 Maret 2020 memperkirakan, akibat pandemi, perekonomian global akan mengalami kontraksi yang mungkin lebih buruk dari krisis 2008. Skenario baseline bagi prospek ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan pada rentang 2-3 persen; separuh dari proyeksi Desember 2019 yang 5,0-5,3 persen.
Statistik industri perbankan sesaat sebelum pandemi menerjang dapat dikatakan solid.
Dengan skenario baseline sekalipun, implikasi terhadap perekonomian sudah sangat berat. Tetapi, dari aspek manajemen risiko, kita seharusnya juga mulai berhitung dengan menggunakan skenario lebih buruk (melakukan stress test). Anjloknya kinerja ekonomi akan menekan kemampuan keuangan perusahaan di Indonesia, yang akan berdampak ke sektor perbankan. Meski OJK telah mengeluarkan paket kebijakan (POJK No 11 Tahun 2020) untuk mendukung kinerja perbankan saat pandemi, sangat mungkin belum cukup terutama jika yang digunakan skenario stress test.
Risiko terbesar perbankan saat ini pada kualitas kredit. Dari hari ke hari kita menganalisis rapid data seperti penumpang pesawat, turis, pengunjung mal, dan mobilitas manusia yang menunjukkan tren terjun bebas. Tidak sulit memprediksi bagaimana kinerja statistik headline seperti pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II tahun 2020. Salah satu pimpinan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dikutip CNBC (7/4), bahkan ”berteriak” kemampuan arus kas dunia usaha dalam situasi saat ini hanya bertahan hingga Juni 2020.
Kebijakan OJK merelaksasi kolektibilitas kredit hanya seperti parasetamol; painkiller, bukan disease killer. Inti permasalahan ada pada kesinambungan usaha; tanpa adanya arus masuk kas (dari bisnis) yang mampu menutup biaya-biaya, modal akan tergerus. Batas ketahanan adalah modal habis, dan perusahaan secara teknis telah bangkrut.
Situasi serupa yang lain adalah ketika arus kas perusahaan tak mampu menutup kewajiban jatuh tempo. Perusahaan akan terpaksa jual aset produktif dalam kondisi rugi (yang menggerus modal); atau kreditor akan menuntut kebangkrutan atas perusahaan itu. Jika telah mencapai titik ini, relaksasi macam apa pun tidak ada gunanya.
BPPN era Covid-19
Pembentukan suatu organisasi tersentral yang menangani aset bermasalah bisa jadi solusi. Organisasi mirip Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk era krisis 1998 mengambil alih mayoritas aset macet dari perbankan sehingga bank-bank berada dalam kondisi sehat. Dengan demikian, ketika krisis berlalu, perekonomian dapat langsung pulih karena perbankan langsung kucurkan pembiayaan bisnis.
Belajar dari BPPN era 1998, dalam BPPN era Covid-19, pembentukan dilakukan bank-bank sendiri dengan paradigma industry rescue industry. Bank-bank dengan kondisi keuangan terbaik membentuk gugus tugas penanganan aset bermasalah untuk industri perbankan.
Gugus tugas ini dapat berupa organisasi formal (untuk akuntabilitas) dengan wewenang dan tugas koordinasi kebijakan, aktivitas, pemberesan, dan pembiayaan dari unit-unit pengelola kredit bermasalah di masing-masing bank (loan work out). Gugus tugas ini selanjutnya akan ”membeli” aset-aset bermasalah yang ada pada bank-bank. Pembelian ini dapat dilakukan dengan harga ”pasar” atau harga ”subsidi”.
Suka atau tidak, di saat krisis, pemerintah jadi satu-satunya pemain kunci untuk menyelamatkan perekonomian. Mekanisme yang dilakukan adalah subsidi silang. Pembelian aset dengan harga pasar dilakukan untuk bank-bank yang dipandang punya kemampuan menyerap kerugian. Bank-bank yang tak mampu, tetapi perannya dipandang penting (dalam fase pemulihan), mungkin diberikan harga ”subsidi”.
Siapa yang melakukan screening? Bank-bank pemimpin gugus tugas. Dari mana datangnya subsidi? Dari mekanisme dua jaring; pertama dari perbankan itu sendiri. Setelah melalui verifikasi OJK, perbankan dapat me-reimburse tagihan subsidi itu kepada pemerintah dalam bentuk tunai atau surat utang negara. Tentu saja dibutuhkan landasan hukum serta pengaturan teknis mengenai transaksi reimbursement ini.
Faktor kunci kesuksesan gugus tugas ini ditopang dua hal: skala ekonomi dan distribusi beban yang transparan dan fair.
Selanjutnya, dengan menempatkan perbankan di garda terdepan penanganan kredit bermasalah, didukung pemerintah sebagai backstop, moral hazard dapat diminimumkan. Perbankan ikut bertanggung jawab terhadap pengucuran dana subsidi. Karena itulah, transparansi dan fairness dalam alokasi beban menjadi kunci. OJK dan Kemenkeu memiliki peran kritikal dalam gugus tugas, yakni inisiator, fasilitator, akselerator, mediator, dan negosiator.
Kunci survival serta pemulihan dalam krisis kesehatan ini ada pada tiga pilar yang sama penting. Pertama, sistem kesehatan nasional; jangan sampai tenggelam oleh gelombang pasien pandemi (biaya kemanusiaan). Kedua, sistem pengaman sosial; tenaga kerja harus tersedia secara memadai baik kuantitas maupun ”kualitas” pasca-pandemi. Ketiga, dunia usaha siap langsung jalan kembali memutar roda ekonomi ketika situasi membaik.
Penulis mengajak pemangku kebijakan bersikap realistis. Paket-paket kebijakan yang ada masih kurang menyentuh aspek penanganan kredit bermasalah; mungkin karena trauma krisis 1998. Penanganan aset bermasalah adalah bagian tak terpisahkan dari kebijakan yang diperlukan. Sebagai contoh bank sentral AS (Federal Reserve) dalam rilis paket yang sangat masif (1,5 triliun dollar AS), 15 Maret 2020, juga memasukkan opsi pembentukan BPPN (disebut dengan Troubled Assets Relief Program).
Sikap realistis sangat diperlukan menghadapi ”badai once a century” saat ini. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan memiliki potensi untuk memulihkan keadaan dengan segera ketika pandemi telah berlalu. Terakhir, tetapi tak kalah penting, komunikasi yang jelas dan jujur serta kesediaan berkorban dari semua pihak untuk NKRI adalah ”nyawa” dari kebijakan di saat krisis.