Dalam perspektif historis, musibah dapat menghancurkan umat manusia, tetapi juga selalu memungkinkan datangnya berkah. Berkah yang menggembirakan adalah lem perekat bangsa menguat di tengah wabah Covid-19.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Musibah dan berkah hadir laiknya dua sisi dari mata uang yang sama. Serbuan kilat pandemi Covid-19 akibat virus korona baru makin membuka mata betapa rapuhnya struktur, fitur, dan kultur tata kelola manajemen kekuasaan pemerintahan.
Birokrasi sebagai mesin kekuasaan eksekutif yang harus melaksanakan keputusan politik sudah mengidap patologi kronis sehingga kinerjanya tertatih-tatih. Alih-alih melayani masyarakat, institusi itu justru sekadar jadi kepanjangan tangan kepentingan segelintir elite politik yang ironisnya dipilih melalui pemilihan umum.
Politisasi dan merebaknya jual beli jabatan di birokrasi merupakan penyakit menular yang menggerogoti netralitas dan kompetensi mereka. Sejumput elite politik memaksa birokrasi yang kewajiban esensialnya melayani publik untuk dijadikan kuda tunggangan kepentingan mereka.
Persoalan fundamentalnya, proses evolusi institusionalisasi lembaga politik, negara, dan pemerintahan tidak semakin memperkuat birokrasi menjadi pelayan masyarakat (lembaga inklusif), tetapi sekadar kepanjangan tangan dari kepentingan subyektif kolaborasi sejumlah elite penguasa dengan pemilik modal. Akibatnya, lembaga yang mempunyai tugas mulia tersebut menjadi sangat ekstraktif.
Perlawanan terhadap virus korona baru sangat kompleks dan bersinggungan dengan isu-isu sensitif. Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo ekstra hati-hati membuat kebijakan. Setiap langkah harus dipikirkan masak-masak dan cermat karena perlu menelusuri tali-temali satu persoalan dengan lainnya.
Salah satu isu yang sempat membuat gelisah masyarakat karena dianggap cukup peka adalah larangan mudik. Presiden mengawali imbauan agar masyarakat tidak mudik. Sementara itu, persiapan kebijakan bantalan sosial dilakukan cermat agar benar-benar dapat dilaksanakan serta tepat sasaran. Desain perlindungan sosial harus disusun seteliti mungkin untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan sosial mengingat sebaran hoaks masih signifikan serta sering kali bernuansa menghasut dan mengadu domba masyarakat.
Kehati-hatian pemerintah membuahkan dukungan dari berbagai tokoh masyarakat, terutama para ulama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, serta Majelis Ulama Indonesia. Sebagian besar masyarakat juga mendukung. Survei Kementerian Perhubungan yang dikutip berbagai media menyebutkan, proporsi responden yang tetap hendak mudik di tengah wabah Covid-19 sebesar 24 persen, tidak mudik 68 persen, dan sudah pulang kampung 7 persen.
Berkah yang menggembirakan adalah lem perekat bangsa, semangat bergotong royong dan saling merasakan, cenderung menguat di tengah hiruk-pikuk perlawanan terhadap gempuran Covid-19. Meski masih cukup banyak warga yang belum patuh, berkat sosialisasi yang makin luas serta penegakan hukum yang tegas tetapi terukur, proporsi mereka yang patuh tinggal di rumah kian meningkat dari hari ke hari.
Bahkan, imbauan agar publik tetap optimistis, gembira agar tidak stres, direspons dengan mudah oleh masyarakat karena bangsa Indonesia yang heterogen mempunyai sense of humor yang tinggi dan beragam. Ibaratnya, keragaman lelucon lokal hampir sama banyaknya dengan jumlah etnis di Indonesia.
Anekdot bahkan tidak sedikit yang ditujukan untuk mengolok-olok dirinya sendiri. Guyonan sangat biasa di kalangan masyarakat dalam menghadapi kerumitan dan tekanan hidup sehari-hari. Modal sosial ini sangat signifikan untuk mempertahankan stamina bangsa.
Dalam perspektif historis, musibah dapat menghancurkan umat manusia, tetapi juga selalu memungkinkan datangnya berkah. Salah satu petaka fenomenal yang selain menimbulkan musibah, tetapi juga menjadi berkah bangsa Indonesia, adalah tsunami yang meluluhlantakkan Aceh tahun 2004.
Tragedi itu menjadi kesempatan menginisiasi perdamaian. Kekerasan di Aceh lebih dari 25 tahun, menurut laporan Amnesty International tahun 2013, menimbulkan korban tewas berkisar 10.000 sampai 30.000 jiwa. Dalam lima putaran pertemuan, ”perang saudara” dapat diselesaikan tuntas tahun 2005. Sejak saat itu, dapat dikatakan tidak terjadi lagi senjata menyalak, saling bunuh sesama anak bangsa di Aceh.
Berbekal berbagai pengalaman sejarah, semua warga masyarakat harus optimistis dalam perjuangan menghadapi petaka Covid-19. Dengan adanya kerja keras pemerintah serta dukungan segala lapisan masyarakat, termasuk kritik-kritik konstruktif, dapat dipastikan bangsa Indonesia tak hanya mampu mengatasi musibah ini, tetapi juga punya kemungkinan untuk mempercepat penanganannya sehingga wabah Covid-19 bisa segera berakhir.
Asa bangsa yang mulai tergugah harus dirawat dan digunakan untuk menyusun agenda penting dan sangat mendesak. Agenda tersebut adalah membangun institusi inklusif yang melayani publik, tidak hanya dimonopoli oleh oligarki politik. Wabah Covid-19 merupakan pertanda atau tetenger serta momentum melakukan penataan fundamental berbagai lembaga negara dan pelayanan publik.
Presiden diharapkan memprakarsai peningkatan kebijakan social distancing (pembatasan sosial) menjadi gebrakan self-interest distancing (jauhi kepentingan pribadi selagi membuat putusan politik) khusus untuk para elite politik. Mengingat agenda ini memerlukan dukungan dan kemauan politik yang besar, Presiden dapat mengawali dengan membicarakan isu ini secara serius bersama partai politik pendukung.
Perlawanan terhadap Covid-19 tak boleh kendur, bahkan harus ditingkatkan, agar perekonomian nasional segera pulih. Musibah yang membuahkan berkah berupa membuncahnya asa bangsa dan semangat kebersamaan harus dirawat dan digelorakan. Itu semua untuk modal perjuangan yang lebih berat dan mendesak, yaitu mentransformasi lembaga politik, pemerintahan, dan negara yang ekstraktif menjadi lembaga yang melayani publik sehingga dipercaya rakyat.