Di luar fokus penanganan pada upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yang terpenting adalah bagaimana mendorong masyarakat agar tidak kehilangan mekanisme ”self-help”-nya untuk bangkit dan mengembangkan usaha.
Oleh
Bagong Suyanto
·4 menit baca
Pemerintah berkomitmen mencegah dampak Covid-19 agar tidak membuat masyarakat makin terpuruk. Berbagai program jaring pengaman telah dan akan terus dikucurkan. Total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan korban Covid-19 adalah Rp 405,1 triliun.
Anggaran itu untuk mendanai berbagai program jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin, korban PHK, dan pelaku usaha mikro dan kecil serta program-program lain untuk mengurangi tekanan kebutuhan hidup yang meningkat sejak wabah Covid-19.
Melalui berbagai program jaring pengaman itu, pemerintah bermaksud mencegah masyarakat yang terdampak Covid-19, agar tidak masuk ke dalam pusaran kemiskinan lebih parah.
Sebagai korban pertama yang paling menderita akibat Covid-19, memang tidak ada jalan lain untuk menolong mereka kecuali melalui program-program populis. Ketika daya beli masyarakat turun drastis, upaya untuk mendorong kelangsungan usaha nyaris mustahil.
Ketika daya beli masyarakat turun drastis, upaya untuk mendorong kelangsungan usaha nyaris mustahil.
Kerentanan
Meluasnya penyebaran Covid-19 tidak hanya menimbulkan dampak kesakitan dan jatuhnya korban jiwa, tetapi juga mengancam perekonomian dan sosial masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan, apabila wabah akibat virus korona ini tidak berakhir sampai kuartal terakhir, bukan tidak mungkin Indonesia menghadapi pertumbuhan negatif sampai minus 0,4 persen.
Implikasi dari kondisi perekonomian terkontraksi ujung-ujungnya akan membuat kehidupan masyarakat makin sulit. Kita melihat, berbagai malapetaka telah merambah ke berbagai sendi kehidupan.
Interaksi sosial, pola pergaulan, keharmonisan rumah tangga, kehidupan beragama, toleransi sosial, aktivitas ekonomi, pola kerja, penegakan hukum, politik, dan terutama kesejahteraan sosial masyarakat berubah semua. Dampak penyebaran Covid-19 benar-benar sistemik dan meluluhlantakkan semua sendi kehidupan.
Solidaritas sosial yang sebelumnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia memudar tatkala orang satu sama lain dibayang-bayangi syak wasangka dan stigma. Di Semarang, jenazah seorang perawat, yang meninggal karena ada di garda terdepan penanganan korban Covid-19, ditolak warga.
Berbeda dengan krisis moneter 1998, yang bisa dilokalisasi pada bidang ekonomi saja, krisis yang dipicu oleh penularan virus korona ini memengaruhi multikehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Siapa menduga, di era kemajuan seperti sekarang, seluruh dunia dibuat tidak berdaya karena Covid-19, termasuk negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Perancis, dan Spanyol, yang fondasi ekonominya kokoh.
Di Indonesia, dampak krisis akibat Covid-19 diperkirakan akan lebih lama. Dari aspek kesehatan, kemungkinan bulan Mei-Juni atau paling akhir Juli, angka korban mulai melandai. Namun, setelah wabah Covid-19 teratasi dari segi medis, bukan berarti masalah selesai. Justru masa-masa memulihkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat perlu disiapkan matang.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan bahwa pandemi virus korona memicu resesi global yang melanda hampir semua negara. Perekonomian dunia akan tertekan sangat dalam sehingga selain mencegah agar masyarakat tidak makin terpuruk, yang tak kalah penting adalah memikirkan apa yang harus dilakukan setelah Covid-19 bisa diatasi.
Ketika vaksin sudah ditemukan dan mata rantai penyebaran Covid-19 berhasil dipangkas, agenda selanjutnya adalah bagaimana memfasilitasi proses pemulihan ekonomi dan membantu masyarakat miskin bangkit dari keterpurukan.
Selain mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mendorong perkembangan usaha masyarakat, yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan pemanfaatan modal sosial, ekonomi, dan modal budaya masyarakat secara berkelanjutan untuk fondasi masyarakat miskin memberdayakan diri.
Pascawabah Covid-19
Untuk meringankan beban masyarakat sejak Covid-19 makin meluas, kucuran berbagai bantuan jaring pengaman memang dibutuhkan. Namun, fokus penanganan juga harus digeser pada tahap setelah Covid-19 berhasil ditangani.
Dengan dukungan dana Rp 405,1 triliun, tidak banyak yang bisa dilakukan.
Bandingkan dengan Pemerintah AS, yang untuk penanganan Covid-19 mengucurkan 2,2 triliun dollar AS atau setara Rp 35.200 triliun. Dengan dukungan dana terbatas, target pemerintah memang lebih mencegah agar masyarakat tidak terpuruk total.
Untuk jangka pendek, langkah realistis yang mestinya kita pilih adalah bagaimana kerja sama semua pihak menahan penderitaan, bersedia menanggung degradasi kehidupan untuk sementara, dan bergotong royong memperbaiki fondasi ekonomi yang luluh lantak.
Untuk jangka menengah, di luar fokus penanganan pada upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yang terpenting adalah bagaimana mendorong masyarakat agar tidak kehilangan mekanisme self-help-nya untuk bangkit dan mengembangkan usaha.
Dengan dukungan dana terbatas, target pemerintah memang lebih mencegah agar masyarakat tidak terpuruk total.
Kedua, lebih dari sekadar program bantalan sosial, ke depan, pemerintah mempersiapkan peningkatan daya tahan masyarakat melalui program diversifikasi usaha berbasis potensi dan sumber daya lokal.
Sebuah bencana, seperti wabah Covid-19, terbukti menimbulkan masalah dahsyat tatkala masyarakat tidak memiliki tabungan atau penyangga ekonomi yang cukup untuk bertahan di masa krisis. Dengan diversifikasi usaha, diharapkan masyarakat yang zero income semasa krisis mampu bertahan karena memiliki modal dan tabungan yang cukup.
Ketiga, belajar dari pengalaman selama wabah Covid-19, usaha-usaha yang mampu bertahan dari gempuran situasi adalah usaha yang banyak mengandalkan dukungan teknologi informasi dan internet. Untuk itu, ke depan ada baiknya pemerintah memfasilitasi para pelaku usaha berskala mikro dan kecil agar terbiasa dengan gadget dan internet.
Jika di kemudian hari terjadi lagi bencana, paling tidak masyarakat memiliki ketangguhan dan kemampuan untuk menyiasati tekanan ekonomi.
(Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga)