Turunnya jumlah bakal pemudik tahun ini tidak berarti meringankan beban instansi-instansi terkait yang mengelola arus mudik di tengah pandemi Covid-19. Mereka harus terus berjuang mencegah meluasnya wabah ke perdesaan.
Oleh
Wihana Kirana Jaya
·5 menit baca
Analisis ‘Empat Level Kelembagaan’ dari Williamson (2000) menempatkan aturan informal seperti tradisi, norma, etika, adat, dan kepercayaan pada ‘Level Pertama’. Aturan informal ini banyak dipengaruhi nilai-nilai agama. Mudik Lebaran merupakan tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan selama sebulan, demi menyambung tali silaturahmi dengan keluarga dan handai taulan di kampung halaman.
Pemerintah telah mengimbau agar warga dari wilayah pandemi Covid-19, khususnya Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) tak mudik Lebaran tahun ini atau setidaknya menunda mudik hingga wabah mereda. Tidak kurang Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa mudik di tengah pandemik adalah haram hukumnya. Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai bahwa menyelamatkan kehidupan lebih penting daripada melaksanakan tradisi mudik tahun ini.
Bahkan Kapolri tegas-tegas melarang anggota dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Polri untuk mudik Lebaran tahun ini. Demikian pula menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) telah melarang ASN untuk mudik Lebaran.
Mudik dini
Kendati pemerintah melalui Wakil Presiden Ma\'ruf Amin jauh hari telah mengeluarkan imbauan untuk tidak mudik Lebaran, dan akan segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang Imbauan Tidak Mudik Lebaran 2020, ternyata sebagian warga dari wilayah Jabodetabek, telah mudik duluan (mudik dini) dengan sejumlah alasan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai bahwa menyelamatkan kehidupan lebih penting daripada melaksanakan tradisi mudik tahun ini.
Sebagaimana diketahui, Jakarta merupakan episentrum pandemik Covid-19 dan kota-kota besar di sekitar Ibukota juga menjadi zona merah.
Berdasar hasil survei online oleh Balitbang Kementerian Perhubungan, Maret 2020, sebanyak 7 persen responden (dari total sampel 42.890) telah mudik dini. Jika mengacu pada hasil survei tahun lalu bahwa sebanyak 14,9 juta berpotensi mudik, maka jumlah pemudik dini dari Jabodetabek saja mencapai 2.370.455 jiwa.
Dari pemberitaan sejumlah media massa, sampai dengan akhir Maret sebanyak 80.000 pemudik dini dengan kendaraan umum terpantau memasuki Jawa Barat (di luar Jabodetabek), dan sekitar 100.000 memasuki Jawa Tengah.
Dirinci menurut alasannya, sebanyak 30,85 persen responden mudik dini karena alasan bekerja dari rumah (working from home/WFH), yang menunjukkan bahwa 731.285 pemudik dini itu merupakan pekerja sektor formal, khususnya ASN dan karyawan BUMN.
Hal ini sangat beralasan karena ASN dilarang mudik Lebaran. Namun demikian, di DKI tercatat sebanyak 20.000 lebih karyawan swasta dari 220 perusahaan ikut WFH. Kebijakan WFH diperpanjang pemerintah hingga 21 April mendatang.
Sebanyak 28,9 persen beralasan mudik dini untuk menghindari penularan di tempat kerjanya. Jika diangkakan ini berarti sebanyak 685.061 jiwa yang kemungkinan besar juga dari pekerja sektor formal.
Kantor-kantor pemerintah dengan jumlah pegawai yang sangat besar dan rasio ruang kerja berbanding jumlah pegawai yang ketat, berpotensi kuat untuk menjadi tempat transmisi virus secara cepat.
Selanjutnya, alasan lainnya adalah penerapan belajar/kuliah dari rumah (15,5 persen). Ini berarti sebanyak 367.420 pemudik dini merupakan mahasiswa yang belajar/kuliah dari rumah. Selebihnya, yakni sebanyak 1.271.748 atau setidaknya sebagian besar dari angka ini merupakan pekerja sektor informal yang terpaksa mudik dini karena kehilangan pekerjaan/penghasilan akibat diterapkannya kebijakan tanggap darurat ‘kerja di rumah, belajar di rumah, dan ibadah di rumah’. Di antaranya adalah karena tempat bekerja tutup sementara (6,9 persen), tidak ada pekerjaan (4,3 persen), dan usaha sepi (1,8 persen).
Selain itu terdapat pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasar data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI, hingga awal April tercatat sebanyak 25.956 orang dari 2.881 perusahaan terkena PHK dan 113.332 orang dari 12.591 perusahaan dirumahkan.
Turun drastis
Hasil survei online oleh Balitbang Kementerian Perhubungan, Maret 2020, juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh, atau tepatnya 56 persen tidak akan mudik Lebaran. Namun, karena yang 7 persen sudah mudik duluan, maka hanya 37 persen yang berpotensi mudik pada Mei mendatang.
Dengan adanya larangan bagi ASN, karyawan BUMN dan anggota TNI/Polri untuk mudik Lebaran, praktis sebagian besar (bakal) pemudik Lebaran merupakan karyawan perusahaan swasta yang tetap beroperasi selama tanggap darurat Covid-19, tentunya mudik dengan membawa serta keluarganya. Namun, jumlah ini tentu saja menurun drastis dibanding keadaan normal seperti di 2019.
Salah satu alasan yang sulit dihindari untuk nekat mudik terutama karena tempat tinggal tetap (anak dan istri atau orangtua) di kampung halaman.
Dari jumlah bakal pemudik Jabodetabek sebanyak 4.260.045 jiwa tersebut, yang berencana mudik Lebaran menggunakan pesawat udara 37,9 persen, mobil pribadi 29 persen, dan kereta api 14,6 persen. Selain itu, yang menggunakan sepeda motor 6,6 persen, bus 6,5 persen, dan lainnya.
Ketentuan physical distancing praktis menyebabkan kapasitas kendaraan penumpang turun menjadi sekitar 50 persen. Bus umum yang biasa terisi 50 orang, misalnya, sekarang maksimum hanya bisa diisi 25 orang saja. Konsekuensinya, tarif penumpang bisa naik 100 persen, belum termasuk ‘toeslag’ Lebaran.
Kendatipun pemerintah tidak melarang mudik, para pemudik, terutama yang menggunakan kendaraan umum, perlu mempertimbangkan kembali rencananya untuk mudik Lebaran. Selain tarif transportasi mahal, mereka juga akan berstatus menjadi Orang Dalam Pemantauan (ODP) selama 14 hari di kampung halaman, mudiknya diharamkan dan kondisi ekonomi umumnya memburuk akibat wabah Covid-19.
Alhasil, turun drastisnya jumlah bakal pemudik tahun ini sama sekali tidak berarti beban yang ringan bagi instansi-instansi terkait yang mengelola arus mudik di tengah pandemi Covid-19, terutama dalam menerapkan physical distancing dan disinfeksi sarana /prasarana transportasi publik.
Menjadi pertanyaan besar pula, bagaimana daerah-daerah destinasi utama mudik mampu menangani ODP yang bakal sedemikian masif. Sebab, taruhannya besar sekali, yakni meluasnya wabah Covid-19 hingga ke daerah perdesaan.