Menjaga stabilitas sosial di tengah pandemi dengan menjaga tetap bergulirnya roda ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat harus jadi prioritas pemerintah.
Langkah menjaga stabilitas sosial dalam jangka pendek ini sama pentingnya dengan upaya membendung penyebaran Covid-19. Demikian pesan yang disampaikan Kompas (17/4/2020). Upaya mencegah krisis ekonomi akibat dampak Covid-19 menjadi bagian sentral upaya pemerintah dan dunia mengingat tak ada satu negara atau sektor ekonomi pun yang steril dari dampak korona.
Tuntutan kehadiran negara kian mengemuka, terutama dalam membantu masyarakat paling lemah dan rentan dan juga dunia usaha, untuk bertahan melewati masa sulit, perang melawan pandemi yang belum bisa diprediksi sampai kapan.
Dampak langsung pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah adalah terhentinya kegiatan usaha dan dirumahkannya jutaan pekerja. Angka pengangguran dan kemiskinan seketika melonjak. Ancaman krisis dan resesi sama berbahayanya dengan kian meluasnya amukan pandemi. Ini pertaruhan karena tak seorang pun menginginkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi ini menuntun ke krisis lebih buruk, seperti politik, bahkan berujung ke kegagalan negara.
Tidak ada satu negara pun siap dalam perang semesta melawan korona. Diperlukan langkah drastis dan dukungan anggaran masif, selain strategi dan stamina, untuk melewati masa sulit. IMF dalam outlook ekonomi terakhir menyebut ini krisis terburuk sejak Depresi Besar 1930, dengan perekonomian dunia diprediksi tumbuh minus 3 persen pada 2020 dalam skenario terburuk dan negara maju bahkan minus hingga 6 persen, beberapa mendekati minus 10 persen. Indonesia diprediksi hanya tumbuh 0,5 persen.
Pandemi korona merampok hingga 9 triliun dollar AS PDB dunia. Semakin lama kita menjalankan kebijakan penutupan atau pembatasan sosial/fisik, semakin dahsyat kerusakan terhadap sektor perekonomian dan semakin berat pemulihan. AS menggelontorkan 11 persen PDB, Malaysia 10 persen, Singapura 10,9 persen, Jepang 19 persen, dan Jerman 20 persen. Indonesia menganggarkan Rp 436,1 triliun atau 2,5 persen PDB. Defisit APBN didongkrak hingga 5,07 persen.
Dari mana pembiayaan ini diperoleh di tengah tekanan penurunan tajam penerimaan negara, terutama dari pajak? Opsi tambah utang bukan pilihan mudah dengan pasar surat utang dunia kian ketat, di tengah perburuan likuiditas global. Salah satu yang dijajaki, penerbitan pandemic bond, surat utang nonkonvensional dalam denominasi rupiah untuk dijual ke BI atau eksportir mampu. Dana yang dihimpun terutama untuk menopang likuiditas dunia usaha, mencegah kebangkrutan perusahaan, serta memitigasi gelombang pemutusan hubungan kerja. Salah seorang tokoh bahkan mengusulkan BI mencetak uang untuk membiayai kebijakan stabilisasi sosial.
Situasi ekstrem darurat kesehatan dan ancaman resesi memang menuntut langkah drastis, tetapi jangan sampai membahayakan kepentingan ekonomi jangka panjang. Pencetakan uang akan menambah jumlah uang beredar di masyarakat. Jika tak dibarengi ketersediaan barang, kenaikan uang beredar hanya akan memicu inflasi sehingga pada akhirnya justru akan jadi pukulan balik bagi perekonomian dan juga daya beli masyarakat. Solidaritas dan modal sosial diperlukan untuk bersama melewati masa sulit ke depan.