Jika DPR memahami sistem merit yang benar, memahami watak dan hakikat sistem birokrasi pemerintah, DPR akan mencabut keinginan membubarkan Komisi Aparatur Sipil Negara.
Oleh
Miftah Thoha
·5 menit baca
Tahun ini tahun Covid-19 yang menggemparkan Indonesia. Tahun ini pula DPR mau meresahkan aparatur sipil negara (ASN) dengan upaya mau merencanakan penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), komisi penjamin sistem merit dalam manajemen ASN. Komisi ini keberadaannya secara sah berada di dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN. UU ini dulu inisiatif DPR tahun 2009-2014.
Seingat saya, DPR sudah dua kali mau membubarkan KASN. Mengapa KASN mau dibubarkan, menurut catatan saya, karena belum tertata secara baik hubungan kerja antara politik dan birokrasi pemerintah di Indonesia. Upaya merevisi UU ini muncul kembali, perlu segera dipikirkan bagaimana sebaiknya politik dan birokrasi pemerintah tertata secara tepat dalam menyelenggarakan tata kepemerintahan yang baik.
Dalam pelaksanaan sistem merit di administrasi pemerintahan kita semenjak kemerdekaan sampai saat ini, belum pernah berhenti menciptakan sistem pemerintahan yang baik, bersih, benar, dan jujur. Namun, godaan paling tajam untuk penyimpangan adalah faktor politik.
Kekuasaan negara dan pemerintahan itulah yang ingin didapatkan. Sebelum mencapai kekuasaan itu di dalam manajemen pemerintah sudah ada terlebih dulu kekuatan birokrasi yang dikenal dengan ASN. Karena itu, parpol yang berkuasa dalam pemerintahan itu termasuk yang ingin dikuasai adalah kekuatan birokrasi pemerintah yang kini kita kenal dengan sebutan ASN.
Namun, godaan paling tajam untuk penyimpangan adalah faktor politik.
Dalam birokrasi pemerintahan, sistem manajemen birokrasi dijalankan dengan netral tidak boleh memihak pada kekuasaan lain selain menjalankan kompetensi, keahlian, profesionalitas, integritas dan susunan hierarkial yang sistematis (Max Weber). Politik yang dijalankan parpol tak mau tahu karakteristik, sifat, dan watak sistem birokrasi Weber tersebut. Maka, terjadilah intervensi politik sejak dahulu sampai sekarang, tidak pernah surut semangatnya.
Posisi netralitas aparatur negara
Aparatur negara kita ini terdiri dari aparatur militer (TNI dan Polri) dan sipil (ASN). Aparatur militer semenjak reformasi tidak lagi melakukan kegiatan politik praktis seperti yang dilakukan parpol.
Politik militer adalah politik negara, kata Jenderal Gatot Nurmantyo. Dengan demikian, untuk kebaikan dan kesalehan demokrasi, partai-partai politik jangan mencoba menarik-narik aparatur militer dengan alasan HAM dan demokrasi.
Demikian pula seharusnya bagi ASN sebagai aparatur sipil negara tidak lagi bermain-main di arena politik praktis ini. Bagi TNI, Polri, dan ASN agar tak dituduh melanggar hak politik individu, para anggota TNI, Polri, dan ASN bisa menduduki jabatan politik jika mereka sudah mengakhiri atau pensiun dari jabatan aparatur militer dan sipil tersebut.
Mereka yang baru pensiun diberi waktu iddah (menunggu) dua tiga tahun setelah itu baru bisa merealisasi hak politik individunya masing-masing, jangan seperti jenderal aktif diangkat sebagai pelaksana tugas gubernur, menteri, bupati, bahkan presiden sekalipun. Profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri dengan tegas menyatakan, semua anggota dan keluarganya tidak ikut dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, termasuk pilkada.
Lain lagi dengan ASN, sama-sama aparatur negara ASN tidak menyatakan tegas seperti TNI dan Polri, semua aparatur sipil dan keluarganya boleh ikut berpartisipasi memilih calon pejabat politik dari partai politik dalam pemilu dan pilkada. Memilih calon pejabat politik berarti ASN dan keluarga tidak bisa dikatakan netral dari pilihan politik praktis.
Ada baiknya pemerintah atau lebih tepatnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melakukan perbaikan melalui peraturan pemerintah atau revisi Undang-Undang ASN tahun 2014 yang memperbaiki celah-celah intervensi politik bagi ASN. Mestinya jika DPR merencanakan revisi ASN, DPR atas nama rakyat ingin mencipatakan tata pemerintahan yang baik
Pejabat pembina ASN
Celah intervensi politik yang sangat mengganggu netralitas ASN adalah posisi pejabat Pembina Kepegawaian ASN. Secara nasional tugas Pembina Kepegawaian ASN berada di dalam posisi jabatan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Konstitusi kita memang menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia itu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan ini, presiden dibantu para menteri di pemerintah pusat, serta gubernur, bupati, dan wali kota di pemerintah daerah.
Secara struktural administratif pelimpahan kewenangan presiden sebagai pembina karier ASN tak salah kalau dilimpahkan kepada para menteri, gubernur, bupati dan wali kota. Namun, para pejabat dari presiden ke wali kota itu adalah pejabat politik yang dicalonkan parpol-parpol untuk menduduki jabatan-jabatan itu.
Maka, di sinilah rawannya jabatan itu dari netralitas. Dulu ketika RUU ASN ini dibahas di Komisi II DPR tahun 2010, perdebatan akademis yang santun antara anggota DPR Komisi II dan empat guru besar penulis naskah akademis ASN terjadi sangat panjang. Akhirnya diputuskan seperti yang sekarang ditulis dalam UU No 5 Tahun 2014 UU ASN.
Oleh karena itu, agar konsep netralitas itu bisa dilaksanakan dengan baik dan tidak sama sekali terkena imbas politisi ASN, besar harapan kepada DPR, khususnya Komisi II, bisa memperbaikinya melalui revisi UU ASN.
Kedudukan KASN
Kedudukan Komisi ASN sekarang ini berbeda dengan kedudukan saat dilantik pertama kali. Menurut UU No 5 Tahun 2014 kedudukan KASN ini merupakan Komisi Negara di bawah kewibawaan kepemimpinan Presiden RI. Dahulu ketika menyusun UU kedudukannya dan kewibawaannya kita inginkan sama dengan KPK. Sama- sama memberantas penyimpangan, satu untuk korupsi dan satunya penyimpangan ketidakjujuran dalam sistem merit.
Dahulu ketika menyusun UU kedudukannya dan kewibawaannya kita inginkan sama dengan KPK.
Jika DPR memahami sistem merit yang benar, memahami watak dan hakikat sistem birokrasi pemerintah yang dicita-citakan Max Weber, DPR akan mencabut keinginan membubarkan KASN.
Kementerian PAN-RB jangan menganggap KASN aparat di bawah kewenangannya, tetapi meletakkan KASN sebagai penjamin terlaksananya sistem merit dalam manajemen sistem pemerintahan. KASN bisa mengontrol pelaksanaan sistem merit di semua instansi pusat dan daerah, termasuk di Kementerian PAN-RB. Kedudukan inilah yang kita inginkan waktu dulu kita diminta menyusun UU ASN.
(Miftah Thoha, Guru Besar Universitas Gadjah Mada)