Tak terbantahkan. Korona sedang menciptakan kegelapan absolut bagi manusia. Titik awal membangun peradaban yang sedang terkoyak ini mesti dimulai dengan menjernihkan keberadaan relasional antar-umat manusia dan semesta.
Oleh
Max Regus
·4 menit baca
Virus korona tipe baru sedang meruntuhkan segenap pranata kehidupan manusia. Negara yang dianggap sebagai institusi paling sistematis dalam mengurus kehidupan publik kalang kabut dihantam pandemi ini.
Bahkan, agama yang selalu menyediakan dirinya untuk menjawab segenap pertanyaan eksistensial manusia tak berkutik di hadapannya. Peradaban, yang begitu mendewakan mobilitas, ambruk di bawah hukum social distancing sebagai resep primer melawan korona.
Luke Kemp (2019), peneliti dari Universitas Cambridge, Inggris, melemparkan pertanyaan ini. Mungkinkah kita sedang berada di jalan menuju keruntuhan peradaban? Ia mendefinisikan keruntuhan peradaban sebagai hilangnya populasi manusia dengan cepat dan abadi.
Hancurnya layanan publik dan kekacauan sosial karena hilangnya kontrol pemerintah atas monopoli kekerasan juga menggambarkan keruntuhan peradaban. Segenap tanda untuk fenomena ini kian memburuk. Virus korona sedang membenarkan arus besar keruntuhan peradaban. Peradaban seolah sedang meringkuk di titik nol.
Sekian lama kita menerima begitu saja bahwa masyarakat adalah sistem. Yang meskipun begitu kompleks, namun tetap teratur. Dia bergerak di atas sokongan teknologi yang makin canggih. Namun, teori ”kecelakaan abnormal” menunjukkan bahwa teknologi yang teratur semacam itu justru sedang memperlihatkan kegagalan akut. Kita mungkin lebih maju secara teknologi. Namun, virus korona sedang meremukkan keteraturan teknologis itu.
Virus korona sedang membenarkan arus besar keruntuhan peradaban.
Kini ada alasan untuk percaya. Peradaban tak pernah imun terhadap intervensi tak terduga yang datang dari mana saja. Sesuatu yang tampak dalam virus korona. Peradaban manusia bukan sesuatu yang memiliki kekebalan abadi.
Kerapuhan peradaban tampak pada skala global. Dia dapat lenyap bahkan terjadi seketika. Dengan itu, serentak juga ada alasan untuk tidak percaya bahwa ukuran kecanggihan teknologi akan meluputkan bubarnya peradaban kita secara tragis.
Tak sekarang saja kita menghadapi krisis mematikan. Belum berselang satu dekade, Eropa menghadapi gelombang resesi ekonomi. Sekurangnya Yunani dan Spanyol mengalaminya dalam periode 2008-2012. Belum lagi krisis demografis global dalam wajah pengungsi yang membanjiri Eropa beberapa tahun ini.
Kondisi suram dalam beragam wajah datang dan pergi. Dan, sebanyak itu pula manusia mencari cara terbaik menjawab tamparan krisis dalam lorong sejarah dan peradaban (Zaimakis, 2015). Sesuatu yang sedang berlaku di bawah ancaman virus korona.
Pertama, tindakan pembangkangan sipil, protes sosial, otoriterianisme kekuasaan menggeliat seiring krisis global di bawah bayang-bayang virus korona. Hampir pasti, deretan tanggapan di atas justru akan menguatkan gejolak sosial yang mungkin sangat sulit dikendalikan. Semuanya mencuat sebagai refleksi telanjang dari kegagapan manusia menghadapi sergapan virus korona, pada setiap relung kehidupan.
Kedua, tanggapan lain ada di sisi politik. Bagaimanapun, korona memungkinkan suara-suara politik yang berbeda dapat mengubah dimensi material peradaban, dengan ekspresi yang kian bermakna. Masa depan demokrasi menghadapi pertanyaan serius. Apakah lembaga-lembaga politik dan kekuasaan demokratis mampu menghadapi krisis korona ini? Satu hal yang sangat pasti, pandemi global ini sedang menggugat perilaku politik yang terlampau boros di bawah kendali demokrasi liberal selama ini.
Ketiga, korona berpeluang membangun ruang alternatif bagi gerakan counter-hegemonik di lanskap peradaban global. Politik yang menantang kebijakan penghematan. Analisis ini melacak cara di mana kita dapat mengalihkan perhatian ke potensi kreatif dan ekspresif semakin luas warga bumi.
Kita dipanggil untuk mengartikulasikan potensi kultural global bagi pembentukan lanskap humanistik peradaban. Ruang kreatif baru terbuka lebar seiring meringkuk tak berdayanya produk-produk peradaban modern dalam amukan korona.
Relasional
Tak terbantahkan. Korona sedang menciptakan kegelapan absolut bagi manusia. Kematian mengurung kehidupan. Ketika berlaku mekanisme terbuka memilih siapa yang harus diselamatkan dan siapa yang tidak di tengah amuk korona, di situ kita niscaya mengakui ketidakberdayaan teknologi canggih dan peradaban kita (Cesari, 2019). Namun, terimpit dalam jeruji kegelapan ini justru membuat manusia mampu menemukan dua hal penting ini.
Pertama, manusia menumbuh dalam elemen-elemen sosial-spiritual yang lebih jernih. Solidaritas sosial jadi ideologi baru. Dan, betapa manusia akan tenggelam ke dalam kawah kegelapan tanpa kesadaran ini.
Kedua, relasi sosial dimengerti dengan makna baru. Keselamatan orang lain hanya dapat dipikirkan dan terjadi pada tanggung jawab personal yang kuat. Titik awal membangun peradaban yang sedang terkoyak ini mesti dimulai dengan menjernihkan keberadaan relasional antar-umat manusia dan semesta yang lebih beradab dan adil.
Kita dipanggil untuk mengartikulasikan potensi kultural global bagi pembentukan lanskap humanistik peradaban.
(Max Regus Doktor Lulusan Universitas Tilburg, Belanda, dan Dekan FKIP Unika St Paulus Ruteng, Flores)