Merebaknya virus korona membuat warga cemas dan takut. Hampir setiap hari, berbagai media—sosial, cetak, dan elektronik—menyajikan beragam berita seputar virus yang sudah menelan banyak korban ini.
Namun, ada hal yang mengganjal: berbagai informasi yang berkembang banyak menggunakan istilah asing. Masyarakat tambah bingung menghadapi aneka istilah asing terkait korona. Sebut saja, suspect, lockdown, social distancing, work or study from home, stay at home, yang tiba-tiba viral hari-hari ini di tengah masyarakat.
Bukan tidak mungkin, rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap berbagai imbauan seputar virus korona gara-gara minimnya tingkat pemahaman warga terhadap pelbagai istilah yang digunakan.
Mohon kepada pihak terkait agar menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti masyarakat hingga ke akar rumput. Semoga mempercepat atasi korona.
Maksimus Masan Kian
RT 017 RW 004, Kelurahan Sarotari Tengah,
Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT
Koreksi ICJ
Tulisan Prof Ichlasul Amal, ”Aung San Suu Kyi dan Mahkamah Internasional” di Kompas (24/3/2020), perlu dikoreksi karena mengandung banyak kekeliruan, yang dapat membuat pemahaman keliru.
Tertulis, ”Jaksa penuntut umum membawa bukti-bukti gambar....” International Court of Justice (ICJ) bukanlah mahkamah pidana internasional yang memiliki jaksa penuntut umum (prosecutor).
ICJ adalah mahkamah yang mengadili gugatan antarnegara (Pasal 34 (1) Statuta ICJ) atas apa saja perselisihan yang timbul di antara negara, terutama yang dimungkinkan (provided for) oleh Piagam PBB, konvensi, dan traktat yang berlaku saat itu (Pasal 36 (1) ICJ Statuta).
Para pihak yang bersengketa harus sepakat sengketa mereka dibawa ke ICJ. Gambia menggugat Myanmar karena mereka telah meratifikasi Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948. Lebih jauh, keduanya tidak menolak (tidak mereservasi) Pasal 9 Konvensi tentang perselisihan para peratifikasi untuk diselesaikan di ICJ. Jadi, Gambia yang ajukan bukti-bukti, bukan jaksa.
Tertulis, ”Hakim ICJ yang terdiri dari 15 orang....” Hakim yang mengadili kasus ini bukan 15, melainkan 17 orang.
Memang, hakim tetap ICJ berjumlah 15 (Pasal 3 Statuta ICJ), tetapi jika negara yang bersengketa tak memiliki hakim saat sengketa diperiksa, para pihak dapat memasukkan hakim ad hoc untuk ikut mengadili kasus itu (Pasal 31 Statuta ICJ).
Gambia memasukkan Navi Pillay, tokoh hukum internasional dari Afrika Selatan dan Myanmar, menunjuk Klauss Kress, ahli hukum internasional dari Jerman.
Dikatakan, ”ICJ adalah badan hukum tertinggi PBB dan telah diratifikasi semua anggota PBB, kecuali Amerika Serikat. Pihak AS melepaskan diri dari ICJ setelah keterlibatan AS di Nikaragua.”
Semua negara yang menyepakati Piagam PBB menjadi anggota PBB sekaligus menjadi peserta dari Statuta ICJ, bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam PBB. AS adalah anggota PBB. Jadi, sampai hari ini masih peserta ICJ.
Menurut Prof Amal, perkara masuk ICJ jika pengusul negara anggota PBB lewat Majelis Umum (General Assembly) dan diterima apabila tak ada keberatan Dewan Keamanan (Security Council). Padahal, negara dapat mengajukan gugatan kepada negara lain asalkan negara yang digugat sepakat digugat. Tak perlu proses di Majelis Umum dan Dewan Keamanan.
Putusan akhir ICJ tidak dapat diveto. Anggota tetap hanya dapat memveto keputusan Dewan Keamanan.
Penjelasan ICJ dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) adalah dua mahkamah tinggi PBB juga tak tepat. Mahkamah PBB hanya ICJ.
Bekas Presiden Sudan, Omar Al Bashir, tak diajukan negaranya ke ICC. Omar Al Bashir menjadi tersangka di ICC karena hasil penyidikan jaksa ICC yang diminta Dewan Keamanan PBB (Pasal 13b Statuta ICC).
Irfan R Hutagalung
Dosen Hukum Internasional di FISIP UIN Jakarta