Saya seorang pastor Gereja Katolik, yang hampir setiap hari Minggu memimpin perayaan ekaristi untuk umat Katolik di daerah Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun. Miris hati saya setiap melewati jalan jembatan provinsi jalur Pematang Siantar-Tanah Jawa, yang sudah lebih dari satu tahun rusak.
Sudah ada memang jembatan darurat, tetapi untuk melewati jembatan ini kami semua pelintas harus antre dan ”membayar” kepada belasan orang yang mengatur arus kendaraan. Perjalanan menjadi kurang lancar. Masyarakat umumnya juga merasa kurang diperhatikan pemerintah.
Ini jalan vital sebab di daerah ini ada ribuan hektar tanaman kelapa sawit milik PT Perkebunan Nusantara IV yang sudah ada puluhan tahun. Sudah ratusan miliar rupiah uang dihasilkan perkebunan ini tetapi apa yang kembali untuk kesejahteraan masyarakat? Sebagai tambahan, di daerah ini berdiri Pusat Penelitian Sawit Marihad, penghasil bibit sawit kelas dunia.
Saya semakin miris menyaksikan peresmian jalan tol berbiaya triliunan rupiah, lanjutan pembangunan jalan tol dan sedang direncanakan beberapa ruas tol yang lain. Ini tentu kami dukung tetapi pembangunan jembatan di jalan tingkat provinsi jalur Pematang Siantar-Tanah Jawa yang mungkin hanya berbiaya Rp 5 miliar diabaikan.
Jalan di jalur Pematang Siantar-Tanah Jawa merupakan akses utama menuju daerah Tanah Jawa di Kabupaten Simalungun, didiami ribuan petani, peternak ikan, peternak sapi, serta buruh tani dan perkebunan. Maka, Bapak Presiden Jokowi yang kami cintai, kami memohon uluran tangan. Di tangan Bapaklah keputusan diambil dan dijalankan.
Tolong ambil alih pembangunan jalan jembatan tingkat provinsi jalur Pematang Siantar-Tanah Jawa, tepatnya di Dusun Pondok 8 Nagori Marubun Jaya, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Satu tahun lebih sudah cukup untuk pemerintah daerah melihat-lihat dan sudah cukup bagi masyarakat untuk bersabar menahan diri.
Saya sangat yakin hati Presiden Jokowi untuk seluruh rakyat Indonesia. Semoga Bapak dapat memimpin negara ini dengan baik. Doa kami, masyarakat Tanah Jawa.
Moses Elias Situmorang OFMCap Biara Kapusin Kamerino, Desa Panombean,
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
Eksklusivisme Beragama
Tulisan Alissa Wahid dalam rubrik Udar Rasa (Kompas, 1/12/2019) menyadarkan kita tentang bahaya eksklusivisme beragama. Eksklusivisme beragama mendorong pengikutnya meyakini dirinya sebagai umat terpilih dan paling berhak atas bumi ini. Kelompok lainnya tidak punya tempat.
Dalam konteks Indonesia yang plural, sekaligus adanya realitas mayoritas dan minoritas pemeluk agama, ini bisa menimbulkan masalah. Memperdalam agama bagi pemeluknya sebagai wujud peningkatan spiritualitas adalah mulia, tetapi kalau tidak hati-hati bisa berisiko membangun dinding-dinding pemisah dengan pemeluk agama lain, yaitu ketika dibimbing oleh pemuka agama yang kurang bijak atau kurang berwawasan luas.
Di samping ekstremisme beragama (dengan kekerasan ataupun tanpa kekerasan), eksklusivisme beragama dapat menjadi ancaman terkait praktik beragama. Mengapa? Karena eksklusivisme beragama ini dimulai dari sikap berubah menjadi nilai, dari nilai menjadi perilaku.
Eksklusivisme beragama sering tidak melanggar aturan formal, karena itu sering tidak terbaca oleh negara dan bisa mewujud melalui aturan (formal maupun informal) yang diskriminatif dan bisa memecah belah kerukunan masyarakat.
Perlahan masuk ke sendi-sendi kehidupan dan berkelanjutan, akhirnya merusak rumah kebangsaan kita. Contoh-contoh sudah banyak, misalnya ketidakmampuan membedakan rumah ibadah dan ibadah di rumah.
BHAROTO Jl Kelud Timur, Semarang