Pandemi dan Ekonomi
Wabah Covid-19 mesti dipakai sebagai momentum ubah haluan pembangunan. Bagi Indonesia, ini waktu tepat mengoreksi tiga perkara pokok pembangunan, yaitu pemerataan, imperatif moral, dan daya dukung lingkungan.
Tiap mala, termasuk pandemi, pasti menciptakan isak duka. Tak banyak rasa yang biasa dicatat dari musibah, kecuali daftar angka-angka: kematian, kehilangan, kerugian, dan semacamnya.
Statistika mengabarkan skala bencana yang dialami. Jika jumlah korban meninggal makin banyak, nestapa yang ditimbulkan kian melonjak. Demikian pula terkait kerugian materi. Sebaliknya, deskripsi rasa yang kerap tak diungkap menarasikan kedalaman luka: kecemasan tak terperi, depresi akut, atau harapan hidup yang lenyap.
Frustrasi massal adalah cermin dari tingkat kepahitan bencana. Pandemi virus korona (Covid-19) yang tengah dihadapi dunia, tak terkecuali Indonesia, mewartakan dua hal sekaligus: statistika yang bengkak dan kedalaman duka yang memuncak. Jumlah korban terus melonjak dan kecemasan tiap warga nyaris meledak. Dunia mendadak disergap gulita saat para pemimpin sibuk menyalakan cahaya. Bagaimana pandemi ini mesti dihadapi agar tak melantakkan ekonomi?
Amunisi pengendalian
Kebakaran hutan dan virus korona punya kemiripan: mudah menyebar jika tak lekas dipadamkan. Pengendalian penyebaran ini amat tergantung dari jumlah amunisi yang dimiliki (fasilitas kesehatan, paramedis, relawan, dll). Pada ujungnya, virus ini menyerang manusia sehingga kesadaran dan kesabaran warga jadi pertaruhan.
Pandemi virus korona (Covid-19) yang tengah dihadapi dunia, tak terkecuali Indonesia, mewartakan dua hal sekaligus: statistika yang bengkak dan kedalaman duka yang memuncak.
Jadi, kata kunci pada etape pertama pertempuran ini adalah pengendalian penyebaran, fasilitas kesehatan, dan kesadaran warga. Model pengendalian ini variasinya lumayan banyak, dari yang ekstrem (melumpuhkan total wilayah/lockdown) sampai yang ringan (anjuran membatasi interaksi).
Sampai kini tak ada model tunggal yang mujarab untuk diterapkan pada tiap negara/wilayah, semua terpulang situasi spesifik karakter ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Tiap negara wajib membuat peta pandemi dan pengenalan utuh kondisi ekonomi dan sosiologi masyarakat. Berdasar data dan informasi itu, keputusan pengendalian penyebaran virus ditetapkan.
Hari-hari ini pemerintah dan Satgas Covid-19 yang telah dibentuk sibuk bukan kepalang menyiapkan seluruh perkakas kesehatan. Dokter dan paramedis dimobilisasi, alat-alat kesehatan dibeli dan didatangkan, perangkat keamanan primer diproduksi dan didistribusi (masker, hand sanitizer, baju keamanan medis, dll), kamar isolasi ditambah, dan masih banyak lagi.
Namun, ikhtiar itu semua tampak masih kalah sigap dibanding kecepatan penyebaran virus. Warga dan tenaga medis sulit mendapatkan masker, dokter kehabisan baju keamanan praktik (APD), antrean korban di rumah sakit berjubel, dan ragam keterbatasan lain (ini juga dijumpai di negara lain).
DKI Jakarta sebagai episentrum wabah kewalahan menghadapi mala ini. Bisa dibayangkan kerumitan yang dihadapi daerah lain yang memiliki fasilitas kesehatan lebih rendah dari DKI. Jika isu primer ini tak segera diatasi, penyebaran virus, termasuk meminimalisasi jumlah korban, akan sulit dilakukan.
Waktu jadi pusat pertaruhan. Di atas segala persoalan teknis itu, pengendalian penyebaran merupakan kisah ketepatan antara pilihan kebijakan dan kesadaran warga. Presiden lebih memilih memberikan anjuran agar bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah (plus disiplin jaga jarak, rajin mencuci tangan, dll).
Kebijakan ini diambil tentu dengan segala pertimbangan yang telah diolah. Sambil mencermati sisi baik dan lemah kebijakan ini, soal yang genting diurus adalah meningkatkan derajat kesadaran warga. Pilihan kebijakan boleh dikritik, bahkan sebagian sudah menghujat. Tetapi, begitu keputusan sudah dieksekusi, tugas warga negara adalah menaati.
Di sini pula titik krusialnya. Warga belum seluruhnya sadar. Sebagian jalan lumayan ramai, pusat perbelanjaan masih didatangi, pemilik usaha tak semua patuh anjuran. Bahkan, sebagian warga Jakarta telah lmeakukan mudik dini. Implikasinya, bisa jadi kebijakannya benar, tapi efektivitas rendah karena kesadaran lemah. Solusi yang mesti digarap: penegakan aturan tanpa kecuali.
Gugus makroekonomi
Tiga gugus kebijakan makroekonomi mesti disiapkan sekarang juga untuk mitigasi dampak wabah. Pertama, kebijakan fiskal dirombak total (sebut saja dengan istilah fiskal bencana). Perombakan ini bukan untuk mempertahankan target pertumbuhan ekonomi. Abaikan dulu pertumbuhan, fokus ke pengelolaan dampak.
Tiga gugus kebijakan makroekonomi mesti disiapkan sekarang juga untuk mitigasi dampak wabah.
Sekitar 30 persen belanja kementerian/lembaga (plus belanja lain-lain) didedikasikan untuk keperluan ini (upayakan jangan buka opsi utang baru). Kebijakan fiskal menyasar tiga kegentingan: proteksi sosial, bantuan hidup untuk pelaku usaha kecil dan informal (petani, nelayan, usaha mikro, sektor informal, pekerja), serta pengurangan beban pajak rumah tangga.
Cakupan proteksi sosial dinaikkan, khususnya Rastra dan Program Keluarga Harapan (pemerintah sudah mengumumkan). Iuran BPJS masyarakat bawah digratiskan terlebih dulu, Kartu Prakerja ditunda pelaksanaannya (karena kerumunan orang belum memungkinkan). Bantuan hidup diutamakan bagi pelaku usaha kecil dan ekonomi informal, sebaiknya berbentuk transfer tunai. Nilai nominal disesuaikan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemerintah juga memastikan kecukupan pasokan bahan makanan dengan harga wajar. Pendapatan tidak kena pajak dinaikkan (katakanlah dari Rp 54 juta ke Rp 66 juta per tahun) dan listrik kelompok miskin gratis (misalnya di bawah 900 VA). Gaji pejabat negara, pejabat eselon 1 dan 2, serta direksi dan komisaris BUMN/BUMD dipotong 50 persen selama 6-9 bulan.
Kedua, kebijakan moneter dan sektor keuangan (domain BI dan OJK) didesain lebih masif lagi. Kedua otoritas ini telah mengeluarkan kebijakan, tetapi belum memiliki daya tendang keras. Pembayaran bunga dan angsuran usaha mikro dan kecil sudah dihentikan sampai akhir tahun, tapi pertolongan untuk koperasi (simpan pinjam) dan lembaga keuangan mikro belum dirumuskan.
Usaha menengah dan besar bisa direlaksasi dulu dengan skema lebih moderat sesuai kemampuan sektor keuangan (bank). Bank-bank (khususnya BUMN) wajib menghentikan praktik ”skema ponzi” yang selama ini diberikan ke korporasi atau individu pemilik uang sehingga bunga kredit bisa diturunkan.
BI mengambil inisiatif mendorong kebijakan ini dan OJK melakukan pengawasan dengan keras. Ini waktu terbaik bagi keduanya menunjukkan faedahnya secara langsung bagi masyarakat kecil (misi keadilan). LPS ambil prakarsa menjamin ketangguhan perbankan. Situasi ekonomi yang muram akan mudah tersulut oleh rumor sehingga deposan mesti diberi pesan terang-benderang. Kebijakan dikawal hingga level operasional.
Ketiga, di luar itu, seusai wabah terdapat agenda aksi yang mesti disiapkan sejak sekarang. Dengan asumsi 3-6 bulan ke depan fase penyebaran dan pengendalian virus bisa dihentikan, maka saat itulah momentum pemulihan ekonomi dimulai. Pabrik mulai beroperasi, usaha mikro dan kecil bergeliat kembali, pedagang kaki lima membuka lapak, nelayan melaut, petani mengolah lagi sawah dan kebun, pekerja kerah biru berduyun-duyun memenuhi jalan dan transportasi publik.
Paket insentif ekonomi disiapkan dengan sigap, misalnya untuk usaha padat tenaga kerja, orientasi ekspor, penggunaan bahan baku lokal, peningkatan nilai tambah, dll.
Sendi mikroekonomi
Perekonomian yang mandek akibat wabah separuh bisa pulih kembali secara otomatis, tetapi sebagian lagi tak akan bergerak optimal tanpa campur tangan otoritas (pemerintah). Di level mikroekonomi butuh rincian detail demi memastikan seluruhnya berjalan seperti sebelum pandemi.
Kerentanan sendi mikroekonomi paling pokok adalah kehilangan kapasitas permodalan bagi usaha kecil dan informal. Tabungan mereka amat tipis, bahkan sebagian tak punya sama sekali. Proteksi sosial hanya menjangkau guna menyangga hidup sehari-hari. Mereka tak punya amunisi untuk memulai usaha (lagi). Di sinilah program utama pemerintah, seperti Pembiayaan UMi (ultramikro), PNM Mekaar, Bank Wakaf Mikro, Lembaga Pengelola Dana Bergulir, dll wajib diintensifkan menyasar kelompok ini.
Pekerjaan rumah yang berat adalah identifikasi target dan besaran bantuan yang diberikan. Data mesti akurat dan tak boleh ada ruang untuk perburuan rente. Pemda dan pusat mesti bergandengan tangan.
Agenda mikroekonomi lainnya ialah ancaman pembengkakan angka kemiskinan dan pengangguran. Anjloknya kinerja ekonomi pasti bertautan dengan kelompok rentan, khususnya kaum miskin. Bahkan, penduduk yang di sekitar garis kemiskinan berpotensi jatuh. Kenaikan indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan hampir pasti terjadi. Ini pelik bagi pemerintah, apalagi dalam situasi anggaran negara yang cekak.
Warga miskin yang sudah masuk dalam skema proteksi sosial dikawal agar tak ada keterlambatan bantuan, bila perlu dosis bantuan diperbesar (sudah diumumkan). Warga di sekitar garis kemiskinan dimasukkan dalam program yang sama. Artinya, ada ekspansi populasi.
Terkait pengangguran, angkatan kerja baru atau lama diikutkan ke program Kartu Prakerja sambil menanti keadaan jadi lebih baik. Ini berarti perlu penambahan target peserta program ini. Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dan Dana Desa ditautkan dengan soal ini pula, khususnya untuk pengendalian pengangguran di perdesaan.
Sektor perdagangan, hotel, restoran, pariwisata, dan hiburan adalah di antara sektor paling terpukul. Yang terlibat di usaha ini jumlahnya sangat besar. Perdagangan menyerap sekitar 18 persen total tenaga kerja. Ini nontradeable sector yang paling besar sumbang ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Sementara hotel, restoran, hiburan, pariwisata, dan ekonomi kreatif adalah aktivitas ekonomi yang sedang berada di puncak sehingga pertumbuhannya tinggi.
Di sektor-sektor spesifik ini perlu dirancang khusus stimulan ekonomi agar kinerjanya menjulang. Di luar permodalan, sektor ini butuh skema dukungan sektor lain agar punya daya gugah lebih kuat. Misalnya, subsektor transportasi (penerbangan, kereta api, kapal laut, bus) dibuatkan skema subsidi demi mendorong pariwisata. Pemda lebih banyak punya ruang manuver untuk menyokong skema ini.
Sektor perdagangan, hotel, restoran, pariwisata, dan hiburan adalah di antara sektor paling terpukul.
Imperatif moral
Pembangunan merupakan totalitas proses perubahan sosial yang dirancang secara utuh, ternyata selama ini hanya melulu menafkahi kepentingan ekonomi. Bahkan, ekonomi pun telah disempitkan sekadar perkara pertumbuhan, bukan transformasi kesejahteraan yang bersendikan tiga alas: manusia, alam, dan moral. Maknanya, pembangunan ekonomi mesti ditegakkan di atas altar kemanusiaan, keberlanjutan, dan kebajikan.
Realitasnya, manusia didudukkan cuma setara faktor produksi lain, seperti modal dan tanah. Tak ada hak suara dalam pengambilan keputusan, juga keterlibatan usaha dalam wujud kepemilikan. Sumber daya alam dieksploitasi untuk umbar pertumbuhan ekonomi. Implikasinya, destruksi lingkungan tak bisa dihentikan dan keberlanjutan pembangunan hanya angan-angan.
Insentif material terus dipacu melampaui imperatif moral. Di titik ini, tak dipersoalkan bila ada pelaku (ekonomi) menjual masker dengan harga selangit meski harus mengorbankan warga lain atau tenaga medis yang berjuang menyelamatkan pasien.
Selama puluhan tahun ekonomi dunia, juga Indonesia, mengamalkan model pembangunan semacam itu. Jakarta sebagai ibu kota negara adalah cermin sempurna. Ekonomi digenjot terus-menerus tiada jeda. Seluruh perkakas ekonomi dibangun sehingga gula ekonomi bertebaran. Warga layaknya semut datang dari semua penjuru demi memburu materi yang dijanjikan. Tiap lekuk ruang diisi kerumunan manusia yang berebut lapak ekonomi.
Jakarta dihuni sekitar 16.000 orang per km2. Padahal, rata-rata kepadatan penduduk Indonesia hanya 150 jiwa per km2! Betapa timpang penyebaran penduduk dan sebagian besar akibat insentif ekonomi yang salah. Implikasinya: disparitas ekonomi; persoalan sosial, ekologi, hukum, dan transportasi juga menyeruak.
Melalui cara pandang itu, wabah Covid-19 mesti dipakai sebagai momentum ubah haluan pembangunan. Bagi Indonesia, ini waktu tepat mengoreksi tiga perkara pokok pembangunan.
Pertama, kemaslahatan pembangunan mesti disebar secara merata ke seluruh warga, bukan cuma menempel segelintir umat. Manusia bukan semata faktor produksi, ia adalah pengambil keputusan, perencana, dan pelaksana ekonomi. Jadi, nisbah ekonomi tak hanya bersumber dari produksi/produktivitas.
Kedua, imperatif moral dijadikan pandu melampaui insentif material. Desain ekonomi tak cukup hanya soal pertumbuhan, jauh lebih penting adalah keadilan dan kearifan. Kecukupan ekonomi berbasis ”kebutuhan” wajib dimenangkan ketimbang laku keserakahan yang bertumpu ”keinginan”.
Ketiga, pembangunan mesti sejajar dengan daya dukung lingkungan. Pembangunan yang menodai alam pasti akan diterjang oleh bencana. Ia menjadi mala. Jika ketiga doktrin kebajikan ini diamalkan secara utuh (kafah), pandemi tak akan merobohkan ekonomi.
(Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Ekonom Senior Indef)