Pengerdilan Masyarakat Sipil
Kini, bukan lagi saatnya bagi masyarakat sipil untuk mengeluhkan keadaan. Menghadapi berbagai serangan sebagaimana diuraikan di atas, resiliensi atau daya tahan masyarakat sipil diuji.
Selama beberapa hari berturut-turut harian Kompas mengangkat isu gerakan masyarakat sipil. Terakhir, survei Kompas mengungkap kenyataan yang memprihatinkan: hanya 18,7 persen responden yang memercayai organisasi masyarakat sipil (OMS) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai gerakan masyarakat yang paling efektif. OMS/LSM kalah jauh dari mahasiswa yang paling dipercaya masyarakat dengan 41,5 persen tingkat kepercayaan.
Bisa dibilang ini merupakan pukulan yang telak bagi organisasi masyarakat sipil. Di edisi berikutnya, Kompas mengangkat tantangan, kecenderungan stagnasi, dan bahkan kemunduran gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Tulisan ini sedikit memberi perspektif tambahan untuk itu.
Fenomena global
Masalah yang dialami organisasi masyarakat sipil Indonesia saat ini, dengan segala karakteristik tantangan lokalitasnya, juga dialami masyarakat sipil di berbagai belahan dunia lain. Sebuah fenomena global yang disebut dengan shrinking civic space atau sebuah pengerdilan ruang masyarakat sipil. Semakin susut dan menyempitnya ruang untuk tumbuh dan berpartisipasi, termasuk untuk melakukan fungsi advokasi serta checks and balances.
Bisa dibilang ini merupakan pukulan yang telak bagi organisasi masyarakat sipil.
Pengerdilan masyarakat sipil beriringan dengan semakin menguatnya politik populisme di berbagai belahan dunia. Menguatnya populisme kanan di Eropa, misalnya, dibarengi dengan serangan sistematik kepada organisasi masyarakat sipil yang mempromosikan kebebasan sipil dan demokrasi.
Serangan tersebut dimulai dengan mempersulit akses, memblokir dan mengusir sejumlah lembaga donor internasional, kampanye negatif peran organisasi masyarakat sipil, pembatasan dan pelarangan hak-hak fundamental, kekerasan, hingga cara-cara halus untuk mengooptasi organisasi dan gerakan masyarakat sipil.
Situasi dan pola serupa terjadi di beberapa negara di Amerika Selatan, Afrika, hingga Asia. Maka, tak heran jika Civicus, sebuah jaringan organisasi masyarakat sipil internasional, memberi judul ”People Power di Bawah Serangan”, mengingatkan soal memburuknya situasi kebebasan dan gerakan masyarakat sipil pada tahun 2019.
Kesamaan tantangan
Jika dicermati lebih dalam, ada semacam textbook yang memiliki kesamaan pola dan bahasa yang digunakan dalam fenomena global ini. Ada serangan kepada organisasi masyarakat sipil dan para pembela hak asasi manusia (HAM). Setidaknya ada lima pola utama serangan.
Pertama, serangan kampanye untuk pencitraan negatif atau kampanye hitam. Dilakukanan pula stigmatisasi kepada organisasi masyarakat sipil. Tujuan serangan ini, menghancurkan reputasi, mendelegitimasi peranan dan kedudukan organisasi masyarakat sipil sehingga kehilangan kepercayaan dan dukungan publik. Pada tahap ini, seperti juga terjadi di Indonesia, dampak serangan terlihat dari kalah populer dan rendahnya dukungan publik untuk isu dan agenda yang diadvokasi masyarakat sipil.
Sebaliknya, pemerintah atau politisi melalui dukungan para pendengungnya menikmati dukungan publik yang cukup signifikan. Meskipun di sisi lain hal ini diperoleh dengan memanipulasi ketakutan publik terhadap sesuatu yang kerap dilebih-lebihkan.
Contohnya, kampanye tiga ”is”: radikalis, liberalis, dan separatis. Atau kampanye klasik ancaman bangkitnya komunisme diarahkan kepada mereka atau siapa saja yang dianggap memiliki posisi berseberangan dengan pemerintah.
Tuduhan-tuduhan itu antara lain mengecap para aktivis organisasi masyarakat sipil sebagai antek asing, tidak nasionalis, pengkhianat negara, dan hidup dari hasil upaya menjelek-jelekkan negara. Ini kerap dilontarkan untuk menghancurkan kredibilitas organisasi masyarakat sipil.
Tuduhan lain datang dari kelompok konservatif keagamaan yang menganggap organisasi masyarakat sipil mengampanyekan liberalisme, kebebasan tanpa batas, dan perbuatan-perbuatan tak bermoral lainnya. Dalam tahap terburuk, propaganda dan kampanye hitam juga menghasut dan menggerakkan warga untuk ikut memusuhi dan melakukan serangan kepada organisasi masyarakat sipil, seperti yang dialami YLBHI, Greenpeace, dan serikat buruh.
Ini kerap dilontarkan untuk menghancurkan kredibilitas organisasi masyarakat sipil.
Narasi buruk dibangun. Ini mudah kita jumpai mulai dari pernyataan pejabat negara dan politisi, spanduk yang bergelantungan di jembatan penyeberangan. Kini, serangan semakin masif dilancarkan via media sosial dalam bentuk cyberbullying, doxing, throttling, dan serangan siber lainnya.
Kedua, pengawasan, pembatasan, dan pelarangan melalui berbagai kebijakan dan perundang-undangan. Di Indonesia, tidak banyak yang menyadari dampak dari revisi UU Ormas. Dimulai dan digembar-gemborkan dengan maksud melindungi ideologi negara dari ancaman radikalisme, UU Ormas dalam praktiknya menampakkan muka sesungguhnya, yakni mengontrol independensi organisasi masyarakat sipil.
Melalui Permendagri Nomor 56 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2016, setiap hari organisasi masyarakat sipil baik yang terdaftar maupun tak terdaftar, lokal maupun asing, menjadi sasaran dan obyek pengawasan tim pemerintah yang melibatkan TNI, BIN, dan Polri.
Bahkan seperti yang kita lihat bersama, kondisi di Papua terus-menerus menjadi pengecualian. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah masyarakat sipil bukannya tidak mau diatur atau diawasi. Pengaturan yang baik, jelas, dan tak mudah diselewengkan, ini yang dibutuhkan. Kebijakan dan perundang-undangan itu secara kontras bertentangan dan menegasikan jaminan hukum untuk partisipasi masyarakat sipil dalam pemerintahan yang baik.
Ketiga, membungkam melalui mekanisme hukum. Kriminalisasi, gugatan perdata menjadi ancaman nyata yang dihadapi para aktivis dan siapa saja yang sedang berjuang mempertahankan haknya. Tidak hanya petani dan buruh biasa, bahkan akademisi menjadi sasaran, sebagaimana menimpa Basuki Wasis dan Bambang Hero.
Keempat, serangan fisik dan mengancam keselamatan jiwa. Hal ini dapat berupa teror, serangan, pembubaran kegiatan, kekerasan, dan pembunuhan. Sepanjang 2019 saja, Kontras mencatat 161 kasus serangan pada pembela HAM, termasuk dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap aktivis lingkungan Walhi Sumut, Golfrid Siregar.
Kelima, kooptasi organisasi masyarakat sipil. Di beberapa negara dilakukan dengan pola-pola penjinakan dengan membajak organisasi masyarakat sipil atau membentuk organisasi masyarakat sipil pelat merah yang mudah dikendalikan oleh rezim. Tujuannya ialah untuk menyaingi dan menyerang legitimasi organisasi masyarakat sipil lain yang masih menjaga independensi. Di Indonesia, praktik kooptasi ini bagi sebagian kalangan merujuk pada keterbelahan dukungan masyarakat sipil selama dan setelah kontestasi politik lima tahun terakhir.
Di Indonesia, praktik kooptasi ini bagi sebagian kalangan merujuk pada keterbelahan dukungan masyarakat sipil selama dan setelah kontestasi politik lima tahun terakhir.
Dalam serangan-serangan tersebut, pihak yang terlibat bukan hanya negara atau pemerintah beserta institusi-institusinya, melainkan juga korporasi dan aktor non-negara lainnya. Penelitian Lokataru 2019 menemukan fakta bahwa kriminalisasi dan gugatan perdata terhadap pembela HAM dan lingkungan, aktivis antikorupsi, peniup peluit (whistleblower), jurnalis, dan juru bicara warga lainnya juga kerap melibatkan unsur-unsur dari korporasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain serangan eksternal, di sisi lain, harus diakui kapasitas internal masyarakat sipil juga jauh dari sempurna. Kapasitas manajemen organisasi dalam pengaderan, pengelolaan keuangan, pengelolaan program, dan kapasitas untuk mengembangkan strategi-strategi gerakan baru masih menjadi pekerjaan rumah bagi hampir semua lembaga.
Kombinasi dari semua pola serangan dan kelemahan internal masyarakat sipil tersebut sudah bisa kita lihat. Selain sebagaimana kita lihat dalam survei Kompas, saat ini beberapa NGO sudah mulai merasakan kesulitan karena dihambat atau ditutupnya sejumlah program dukungan donor internasional.
Sebagian NGO bahkan dalam posisi tidak aktif lagi. Sementara itu, di sektor perburuhan, union busting dan kampanye yang gencar mendiskreditkan peran serikat buruh sedikit banyak telah memengaruhi penurunan jumlah pekerja
yang bergabung dalam serikat buruh dalam satu dekade terakhir ini.
Saat ini banyak kalangan mulai menyadari pentingnya berbagi dan memastikan perlindungan civic space. Inisiatif-inisiatif bermunculan di level internasional, mulai dari PBB hingga inisiatif-inisiatif di kalangan dunia usaha. Namun, masyarakat sipil tak boleh berpangku tangan terhadapnya.
Resiliensi masyarakat sipil
Kini, bukan lagi saatnya bagi masyarakat sipil untuk mengeluhkan keadaan. Menghadapi berbagai serangan sebagaimana diuraikan di atas, resiliensi atau daya tahan masyarakat sipil diuji. Hasil utama dari ujian ini bukan semata-mata untuk lolos dan kembali ke keadaan semula atau recovery, tetapi bagaimana mengubah kesulitan dan terpaan ini menjadi peluang emas bagi organisasi masyarakat sipil untuk semakin berkembang, melakukan rebound, dan naik kelas.
Untuk melakukannya tentu mensyaratkan adanya inovasi-inovasi baru dalam gerakan. Untuk pertimbangan tertentu, tentu kita tidak perlu dan tidak tepat mengulasnya di sini. Namun, ada sedikit gambaran. Inovasi itu termasuk bagaimana menjadikan isu-isu yang diadvokasi menjadi urusan setiap orang atau menjadi hajat orang banyak.
Sederhananya, siapa pun atau katakanlah orang biasa sekalipun dapat memainkan peran dalam memberantas korupsi, memajukan hak asasi, memerangi kemiskinan, dan agenda lainnya.
Dengan mengikis kesan bahwa aktivisme hanya urusan para pekerja HAM, masyarakat sipil dapat memperluas basis dan keterlibatan publik dalam gerakan. Pada titik ini, orientasi dan peran organisasi masyarakat sipil harus bergerak lebih cair dan fleksibel.
Dalam semakin menyempitnya ruang sipil, organisasi masyarakat sipil dituntut bergerak menjadi enabler dan fasilitator. Sebagai enabler ruang gerak warga, organisasi masyarakat sipil tidak harus memaksakan diri untuk terus-menerus berupaya mengonsolidasikan dan memimpin gerakan. Biarkan rakyat mengekspresikan perlawanan dan perjuangan dengan cara-cara dan kreativitasnya sendiri. Biarkan gerakan tumbuh secair dan sefleksibel mungkin, sampai menemukan bentuk idealnya secara natural.
Pada titik ini, orientasi dan peran organisasi masyarakat sipil harus bergerak lebih cair dan fleksibel.
Organisasi masyarakat sipil bisa membantu dengan memainkan fungsi-fungsi fasilitasi dan menyediakan banyak ruang alternatif, dan mendukungnya. Kebangkitan gerakan mahasiswa di pengujung 2019 yang tidak terduga dengan segala ekspresi kreatifnya menjadi pelajaran yang berharga. Begitu juga, kelahiran inovasi-inovasi baru dalam mencari alternatif pendanaan gerakan masyarakat menjadi angin segar dalam gerakan masyarakat sipil Indonesia. Tentu masih ada banyak inovasi lainnya.
(Nurkholis Hidayat, Anggota Dewan Pendiri Lokataru Foundation)