Pilkada Calon Tunggal
Watak dari elektoral yang dikuasai para oligark ialah pemusatan dan sentralisasi kekuasaan pada satu kelompok atau orang kuat. Biasanya politik yang dikembangkan adalah eksklusif, tetapi wacana yang dibangun inklusif.
Tren pasangan calon tunggal diperkirakan masih akan terjadi pada pilkada serentak 2020 (Kompas, 9/3/2020). Calon tunggal pada pilkada sebenarnya telah diperdebatkan sejak pilkada serentak 2015. Persoalannya, mengapa calon tunggal tetap kita akui?
Apakah memilih calon tunggal dalam pilkada sesuai dengan kaidah elektoral dan demokrasi? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali karena prinsip demokrasi elektoral meniscayakan kompetisi dan akuntabilitas.
Sistem demokrasi mendorong terjadinya kompetisi orang dengan orang, bukan orang dengan ”benda” atau sesuatu yang sifatnya abstrak berupa gambar kosong. Meningkatnya calon tunggal pada pilkada serentak 2020 bukan fenomena biasa yang di dalamnya tak akan membawa persoalan bagi demokrasi lokal kita ke depan.
Akuntabilitas politik
Hak memilih dan dipilih memiliki keterhubungan erat dengan konsep akuntabilitas dalam sistem perwakilan. Dalam teori perwakilan, seorang wakil dianggap wali atas orang yang diwakili (delegate atau trustees).
Meningkatnya calon tunggal pada pilkada serentak 2020 bukan fenomena biasa yang di dalamnya tak akan membawa persoalan bagi demokrasi lokal kita ke depan.
Meski prinsip keterwakilan itu berkembang dalam memilih wakil rakyat, dalam perkembangan pemilu (termasuk pilkada) untuk memilih seorang pejabat publik seperti gubernur dan bupati/wali kota, pada hakikatnya ada dimensi representasi (representativeness) di dalamnya.
Representasi politik merupakan basis dari konsep keterwakilan politik karena yang menjadi pemilik kedaulatan (baca: kekuasaan) adalah rakyat (people). Dalam konteks akuntabilitas politik itu, demokrasi tidak membebankan pada kotak kosong (gambar kosong).
Si pemilik akuntabilitas pada dasarnya orang, bukan barang. Dengan demikian, calon tunggal yang diperlawankan dengan kotak kosong (suara kosong) tak memiliki sandaran yang kuat dalam demokrasi.
Alasannya, pemilih tak bisa meminta pertanggungjawaban politik. Padahal, salah satu konsekuensi dari demokrasi elektoral ialah adanya pertanggungjawaban politik setiap orang yang dipilih oleh rakyat sebagai pejabat publik dan/atau kepala daerah.
Dalam kasus pilkada serentak 2018, bagaimana mungkin kotak kosong yang menang di Makassar dimintai akuntabilitas politik oleh para pemilih. Dilema ini tak pernah dipikirkan oleh Mahkamah Konstitusi yang tak melarang pilkada calon tunggal. Kasus kemenangan kotak kosong di Makassar hanya satu dari sekian bias calon tunggal yang sebenarnya tak lazim dalam demokrasi.
Selain persoalan dasar keterwakilan dan akuntabilitas politik di atas, pilkada kotak kosong juga mengandung tiga persoalan mendasar pasca-pemilihan.
Pertama, terjadi kekosongan kekuasaan. Kekuasaan politik tak bisa diduduki kotak kosong karena hak itu melekat pada warga negara. Akibatnya, wali kota Makassar dijabat pelaksana tugas/jabatan. Kekosongan kekuasaan tidak dikenal dalam demokrasi elektoral karena pemenanglah yang diberi mandat untuk menjalankan kedaulatan rakyat.
Kasus kemenangan kotak kosong di Makassar hanya satu dari sekian bias calon tunggal yang sebenarnya tak lazim dalam demokrasi.
Kedua, kekosongan kekuasaan pasca-pemilihan menyebabkan hilangnya ”kepemimpinan politik” di tingkat lokal. Kepala daerah merupakan perwujudan kepemimpinan politik lokal yang diharapkan dapat mendorong, bukan saja proses demokratisasi yang lebih baik, atau terobosan kebijakan yang pro-rakyat, tetapi juga membawa harapan terjadinya peningkatan kesejahteraan rakyat dalam periode pemerintahannya.
Ketiga, beban politik elektoral tak bisa diberikan kepada pelaksana tugas yang menggantikan kedudukan kotak kosong dalam menjalankan roda pemerintahan untuk waktu tertentu. Beban politik melekat pada sosok calon melalui visi dan misi yang harus dijalankan setelah memperoleh kemenangan. Kotak kosong harus diakui tak memiliki visi apa pun, kecuali visi ”perlawanan politik” seperti terjadi pada Pilkada Makassar 2018.
Sejumlah implikasi pilkada calon tunggal tadi tak pernah menjadi pertimbangan bagi MK dalam memutus perkara calon tunggal di pilkada. Fenomena kenaikan calon tunggal dalam pilkada dapat menjadi indikasi penurunan demokrasi elektoral kita.
Tren kenaikan calon tunggal bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain, pertama, untuk menghindari kompetisi politik yang sengit di satu sisi, dan mempermudah kemenangan elektoral, karena angka kemenangan calon tunggal jauh lebih tinggi ketimbang yang kalah dengan kotak kosong.
Kemungkinan kedua, untuk mengurangi biaya politik dalam pilkada yang relatif tak terbatas (unlimited). Dengan memborong suara partai dalam proses pencalonan, pasangan calon kepala daerah yang ingin maju minimal memperoleh kepastian biaya politik yang akan dikeluarkan.
Kemungkinan ketiga, parpol bisa dianggap menghalangi hak pemilih karena pemilih di-fait accompli dengan calon tunggal sehingga tak muncul calon alternatif, apalagi syarat calon independen begitu rumit dan sulit.
Pembatasan akses pemilih seperti itu dapat dianggap bagian dari strategi oligarki parpol yang meluas. Padahal, partai satu-satunya organisasi yang diakui UUD 1945 untuk menjadi sumber kepemimpinan politik di tingkat nasional dan daerah. Pembatasan hak pencalonan menciptakan deviasi politik yang lebar karena pilkada kurang memberikan harapan bagi terjadinya perubahan.
Pembatasan akses pemilih seperti itu dapat dianggap bagian dari strategi oligarki parpol yang meluas.
Dalam konteks lebih strategis, pilkada calon tunggal justru menghilangkan esensi pemilu karena pemilu meniscayakan adanya kompetisi dan persaingan yang sehat, dengan harapan pemilih dapat berpartisipasi secara aktif untuk mencapai tujuan politik bersama, membangun pemerintahan yang lebih baik.
Transformasi oligarki
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari pilkada calon tunggal 2020 mendatang? Menurut hemat saya, ada fenomena electoral rulling oligarchy. Elektoral yang didominasi para orang kuat (oligark) yang berkembang biak dan bertransformasi di era Reformasi melalui bingkai desentralisasi (otonomi daerah).
Desentralisasi telah melahirkan fenomena perebutan jabatan-jabatan strategis (political office) dan birokrasi di tingkat lokal sebagai jalan memperkuat struktur kekuatan yang berbasis keluarga, dinasti, kelompok, dan kepentingan segelintir orang.
Tak hanya proses elektoral yang menjadi agenda untuk dikuasai, tetapi juga bertujuan untuk menguasai jabatan-jabatan strategis di tingkat pemerintahan, juga merambah pada penguasaan partai politik, dan ujungnya untuk mengooptasi organisasi-organisasi kekuatan sipil strategis untuk mobilisasi massa dalam pertarungan politik.
Implikasi dari electoral rulling oligarchy mirip dengan tumbuhnya kekuatan-kekuatan dominan dalam negara otoritarian. Pemilu dijadikan sebagai sarana menghalang-halangi munculnya kekuatan politik penyeimbang yang dianggap sebagai ancaman.
Selain itu, electoral rulling oligarchy pada hakikatnya akan mematikan kekuatan masyarakat sipil dan kekuatan organisasi politik sipil. Padahal, keberadaan keduanya sangat penting dalam mendorong tumbuhnya demokrasi di tingkat lokal.
Demokrasi tanpa masyarakat sipil dan kekuatan organisasi politik sipil yang otonom dari intervensi dan cengkeraman para penguasa hanyalah demokrasi ”pepesan kosong”. Will Kymlicka pernah menyebut ”no civil society, no democracy”, tanpa masyarakat sipil demokrasi sesungguhnya tidak ada.
Watak dari elektoral yang dikuasai para oligark ialah pemusatan dan sentralisasi kekuasaan pada satu kelompok atau orang yang kuat. Biasanya politik yang dikembangkan adalah eksklusif, tetapi wacana yang dibangun inklusif (terbuka). Padahal, dalam praktiknya, kekuasaan dijalankan dengan sifat otoriter atau oligarkis dengan mempertimbangkan kepentingan kekuasaan untuk kelompoknya sendiri.
Will Kymlicka pernah menyebut ”no civil society, no democracy”, tanpa masyarakat sipil demokrasi sesungguhnya tidak ada.
Perkembangan pilkada dalam kerangka electoral rulling oligarchy semacam itu membahayakan demokrasi kita di tingkat lokal. Sebab, praktik politik yang terjadi sebenarnya bukan demokrasi, melainkan bias ke monarki atau kekuasaan bertumpu pada satu kubu.
Pada titik nadirnya akan terjadi penguatan praktik politik-pemerintahan yang dikelola secara tradisional. Praktik semacam itu sebenarnya sudah kita koreksi di era Reformasi karena dampak buruknya bagi kehidupan masyarakat luas akan terasa bertahun-tahun.
(Moch Nurhasim Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI)