Ramifikasi Perang Suriah di Eropa
Pengamat nyaris sepakat, perang Suriah masih akan berlangsung lama, apalagi sudah diwarnai politik proxy war oleh kelompok atau negara tertentu. Turki dan Rusia mungkin saja akan terus berupaya mencari jalan damai.
Alih-alih mereda, perang di Suriah sejak akhir Februari lalu makin brutal.
Dengan dukungan pesawat tempur Rusia, tentara rezim Bashar Assad menggempur pertahanan pemberontak dukungan di Turki di kota Idlib. Sebagai kota provinsi yang masih dikuasai pemberontak, Idlib adalah pertaruhan terakhir baik bagi pemberontak maupun rezim Assad.
Betapa tidak, terletak di jalan raya yang menghubungkan wilayah utara ke Aleppo dengan wilayah selatan ke Damascus, dan juga ke barat ke Latakia dengan akses ke laut Mediterania, Idlib sangat strategis.
Dalam pertempuran mempertahankan Idlib, 36 tentara Turki tewas akibat serangan udara pesawat tempur Rusia. Meski sempat membalas dengan serangan pesawat nir-awak (drone) dan artileri berat, pertempuran di Idlib itu menyadarkan Turki: mereka tidak cukup kuat untuk berperang sendiri melawan pasukan Assad yang didukung Rusia.
Pertempuran di Idlib membuka episode baru perang Suriah: membludaknya pengungsi Suriah ke Yunani. Semula isu pengungsi di perbatasan utara Suriah-Turki dinilai sekadar dampak logis dari perang. Namun ketika Turki membuka pintu barat perbatasannya dengan Yunani pasca-pertempuran Idlib, perang Suriah mulai menimbulkan persoalan yang tidak sederhana bagi Eropa.
Alih-alih mereda, perang di Suriah sejak akhir Februari lalu makin brutal.
Membuka perbatasan
Menjadi pertanyaan, mengapa Turki membuka perbatasannya dengan Yunani? Setidaknya ada dua alasan.
Pertama, terkait komitmen bantuan Uni Eropa (UE) untuk pengungsi Suriah yang terdampar di perbatasan. Pada 2016 ada kesepakatan UE dan Turki berupa dana € 6 miliar Euro untuk menampung pengungsi Suriah di wilayah Turki. Tetapi, setelah 4 tahun berjalan, UE hanya bisa menyalurkan € 3,2 miliar Euro untuk menampung 30 ribu dari 3,6 juta pengungsi. Ini mengecewakan Turki.
Di Turki isu pengungsi Suriah menjadi “gorengan” oposisi untuk mengganggu kredibilitas Presiden Erdogan. Akibatnya sudah jelas: partai Erdogan kalah dalam pemilihan wali kota Istanbul Juni lalu. Untuk mengurangi dampak politik lebih jauh, Erdogan mendorong pengungsi Suriah masuk ke Yunani.
Kedua, untuk mendukung pemberontak mempertahankan Idlib, Erdogan meminta bantuan UE berupa perlengkapan militer dan dukungan politik NATO untuk menerapkan safe zone dan no-flight zone di kawasan Idlib.
UE ogah-ogahan memenuhi, terkait hubungan Turki dengan Rusia. Hubungan UE dengan Rusia berada pada titik terendah sejak serangan dan pendudukan Rusia atas Crimea dan wilayah timur Ukraina pada 2014.
Justru di tengah dinginnya hubungan itu, Turki bermain mata dengan Rusia untuk pengadaan sistem pertahanan anti-serangan udara S-400. Sebagai sesama anggota NATO, UE tentu tidak senang dengan politik dua kaki Turki ini, karena sistem pertahanan yang dibeli dari Rusia itu sebenarnya kompatibel dan bisa disediakan NATO. Akibatnya, UE tidak mau membantu Turki menghadapi gempuran Suriah yang didukung Rusia di Idlib.
Kedua alasan itu melatarbelakangi keputusan Turki membuka pintu perbatasan barat Turki-Yunani. Dalam benak Turki, arus pengungsi yang masuk lewat Yunani, cepat atau lambat, akan membebani negara-negara UE, sehingga UE terpaksa memenuhi permintaan Turki agar pengungsi tetap di wilayahnya.
Terlihat Turki memainkan kartu pengungsi untuk “memeras“ UE agar bersedia membantu Turki berperang melawan Suriah dan Rusia. Pemerasan politik (political blackmail) ini menghadapkan UE pada banyak dilema.
Pertama, Turki dan Yunani adalah anggota NATO. Ini menempatkan UE pada posisi serba salah. Jika sebagai anggota NATO Turki tidak dibantu, khususnya militer, hal itu membuka kesempatan bagi Rusia semakin dekat dengan Turki, apalagi bila mereka bisa mencapai deal politik dalam penyelesaian konflik di Suriah.
Menjadi beban
Kedekatan Rusia dan Turki akan menyulitkan posisi NATO dan UE mengambil keputusan terkait kepentingan geo-politik strategis di Eropa. Pun jika UE memutuskan membuka pintu bagi arus pengungsi Suriah masuk Yunani, hal itu akan mendapat tentangan dari negara anggota UE lain, sebab pengungsi dianggap beban.
Kedua, karena dianggap sebagai beban, UE bisa saja menolak pengungsi Suriah via Yunani. Tetapi itu akan menuai kecaman masyarakat internasional. Bukankah selama ini UE dikenal sebagai entitas regional yang mengusung nilai kemanusiaan dan kebebasan, selain demokrasi?
Membantu mengurangi nestapa pengungsi adalah wujud konsistensi idealisme paling nyata dalam kemanusiaan. Sungguh, isu pengungsi Suriah menjadi test case komitmen UE terhadap salah satu pilar ideologinya: kemanusiaan.
Sungguh, isu pengungsi Suriah menjadi test case komitmen UE terhadap salah satu pilar ideologinya: kemanusiaan.
Ketiga, ramifikasi isu pengungsi perang Suriah bisa juga dilihat dalam konteks politik domestik anggota UE. Dalam beberapa tahun terakhir ayunan politik Eropa perlahan bergerak ke kanan: nasionalisme, anti-imigran dan anti-UE.
Di Denmark, Hongaria, Finlandia, Perancis, Swedia, dan Belanda, popularitas partai sayap kanan meningkat dan berhasil meraup suara pemilihan parlemen di atas 10 persen. Partai kanan mendukung kebijakan pembatasan migran dari negara-negara Muslim dan menolak schengen visa (bebas kunjungan antar-anggota UE).
Bagi pemerintah, menampung pengungsi itu karena alasan kemanusiaan. Namun, bagi rakyat awam itu berarti berkurangnya kesempatan kerja dan tunjangan sosial. Pengungsi Suriah yang muslim dikhawatirkan tak dapat beradaptasi dengan nilai-nilai lokal sehingga menggerus identitas nasional.
Sentimen seperti inilah yang kemudian dimainkan oleh partai kanan yang memang secara ideologis antimigran. Media internasional pun melaporkan telah terjadi kekerasan oleh warga Yunani terhadap pengungsi Suriah di perbatasan timur Yunani-Turki dan di Pulau Lesbos. Wajar jika elite UE melihat fenomena ini akan menghadirkan ramifikasi yang tidak ringan bagi politik domestik di Eropa.
Setelah Turki membuka pintu perbatasan dan melepas ribuan pengungsi Suriah ke Yunani, perang Suriah ternyata memunculkan ramifikasi politik bagi Eropa. Nyatalah sekarang, perang Suriah harus dipahami tidak hanya dalam konteks siapa melawan siapa atau siapa mendukung siapa.
Pengamat nyaris sepakat, perang Suriah masih akan berlangsung lama, apalagi sudah diwarnai politik proxy war oleh kelompok atau negara tertentu. Turki dan Rusia mungkin saja akan terus berupaya mencari jalan damai. UE boleh jadi masih galau menghadapi tekanan politik pengungsi yang sengaja dimainkan Turki.
Pengamat nyaris sepakat, perang Suriah masih akan berlangsung lama, apalagi sudah diwarnai politik proxy war oleh kelompok atau negara tertentu.
Apa pun penyebab, tujuan perang, dan langkah diplomasi untuk mengakhiri perang itu, tak mudah mencari jawaban tunggal. Satu hal yang pasti: perang Peranadalah tragedi kemanusiaan.
(Darmansjah Djumala Dubes RI untuk Austria dan PBB di Vienna; Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung)