Tantangan Harga Gas yang Pas
Dengan pasokan terjamin dengan harga yang kompetitif, semestinya tidak ada celah bagi pelaku industri pengguna gas berdalih tidak mampu bersaing gara-gara harga gas yang tinggi.
Saat menyoal daya saing industri nasional, salah satu kendala yang kerap disebut adalah harga gas yang dinilai tidak pas. Industri nasional menjadi tidak kompetitif karena konsumsi gas mahal, plus problem pasokan yang tidak sepenuhnya lancar.
Padahal kegiatan operasional sejumlah sektor industri sangat bergantung kepada biaya gas bumi yang bisa mencapai 5-70 persen dari total biaya produksi. Lantas, benarkah menekan harga gas menjadi pilihan yang bebas risiko?
Sejauh ini, total kebutuhan gas untuk sektor industri nasional mencapai 3.000 Million Standard Cubic Meters per Day (MMSCFD). Enam sektor industri menjadi pengguna 80 persen volume gas Indonesia, yakni pembangkit listrik, industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, dan industri gelas. Dalam struktur biaya produksi industri petrokimia hulu, misalnya, porsi biaya gas mencapai 20-30 persen.
Industri nasional menjadi tidak kompetitif karena konsumsi gas mahal, plus problem pasokan yang tidak sepenuhnya lancar.
Harga dan ketersediaan
Secara umum, keluhan mereka berpangkal pada harga gas yang tinggi dan problem ketersediaan untuk memasok kebutuhan produksi. Pelaku industri petrokimia mendaku, dengan patokan harga gas 6 dollar AS per MMBTU ada potensi penghematan 2,5-7,5 persen.
Bayangkan signifikansinya untuk industri pupuk di mana gas merupakan komponen biaya produksi yang terbesar, yakni bisa mencapai 70 persen dari total biaya produksi. Logislah alur pemikiran bahwa penetapan harga gas bumi menjadi faktor kunci pembangunan industri yang berdaya saing dan berkelanjutan. Terlebih sektor industri pengguna gas bumi disebut menjadi penggerak ekonomi nasional, dengan menjadi sumber devisa, ekspor, pajak, dan penyerapan tenaga kerja langsung bagi jutaan orang.
Presiden Joko Widodo, pada Rapat Terbatas (Ratas) tentang Migas, 6 Januari 2020, pernah mengutarakan tiga opsi supaya harga gas industri turun, pilihan-pilihan yang pernah dikemukakan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang.
Pilihan pertama adalah pengurangan porsi pemerintah dalam hasil kegiatan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), di mana pemerintah bisa memperoleh 2,2 dollar AS per MMBTU. Termasuk di dalamnya adalah efisiensi penyaluran gas melalui penurunan biaya transmisi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera bagian selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Opsi pertama ini mengandung pertanyaan, jika porsi pendapatan negara dikurangi, kompensasinya dari mana? Logikanya, jika ada penurunan di satu sektor, harus ada kenaikan penerimaan di sektor lain. Pilihan kedua adalah menerapkan kewajiban pasok domestik (domestic market obligation, DMO) untuk gas bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), sehingga harga gas dapat digunakan untuk industri.
KKKS diwajibkan memasok gas untuk mencukupi kebutuhan domestik melalui PGN dengan harga spot 4,5 dollar AS. Praktik untuk menjamin pasokan bagi pelaku industri nasional itu sudah diterapkan untuk komoditas batubara.
Berikutnya, opsi ketiga adalah bebas impor bagi industri.
Perusahaan swasta yang belum memiliki jaringan gas nasional diberi kemudahan impor untuk pengembangan kawasan industri yang belum terhubung dengan jaringan gas nasional. Namun, Kementerian ESDM sudah mengesampingkan opsi ini karena memungkinkan tumbuhnya makelar gas dan defisit neraca perdagangan.
Logikanya, jika ada penurunan di satu sektor, harus ada kenaikan penerimaan di sektor lain.
Praktik yang berjalan selama ini, penentuan harga hulu di Indonesia menerapkan skema Regulation Cost of Services (RCS), di mana penetapan harga gas berdasarkan keekonomian di setiap mata rantai. Peraturan perundang-undangan menyebutkan, harga jual gas bumi hilir terdiri atas komponen harga gas bumi ditambah biaya pengelolaan infrastruktur gas bumi dan biaya niaga.
Pembiayaan
Rincian kegiatan yang masuk pembebanan komponen pengelolaan infrastruktur dan persentase biaya niaga telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Struktur harga gas bumi sesuai aturan pemerintah adalah harga gas hulu 3,4-8,24 dollar AS, biaya transmisi 0,02-1,55 dollar AS, biaya distribusi 0,02-2 dollar AS, biaya niaga 0,24-0,58 dollar AS, serta iuran usaha 0,02-0,06 dollar AS. Total 3.70-12.43 dollar AS.
Sebagai perbandingan, harga patokan gas hulu di Thailand 5,5 dollar AS per MMBTU, Malaysia 4,5 dollar AS, Singapura di atas 15 dollar AS, dan di China telah mencapai 8 dollar AS per MMBTU. Thailand dan juga China menerapkan model indeksasi ke harga minyak, imbasnya harga gas pasti naik manakala harga minyak naik dan demikian sebaliknya.
Di Indonesia, Perusahaan Gas Negara (PGN) menjual gas kepada pelanggan akhir 8-11 dollar AS per MMBTU. Para pelaku industri nasional meminta harga gas dapat diturunkan menjadi 6 dollar AS per MMBTU. Alhasil, ketika PGN berencana menaikkan harga jual gas akhir 2019, pelaku industri berteriak menolak.
Salah satunya muncul dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), yang meminta pengimplementasian Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas untuk Industri Tertentu agar harga gas bisa mendukung persaingan dunia usaha nasional.
Perkembangan terbaru, pemerintah berencana memperluas cakupan sektor dalam Perpres tersebut, termasuk di antaranya Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga telah meminta dimasukkan Perpres.
Dari sisi produksi, Indonesia dengan cadangan gas 142,72 triliun standar kaki kubik (TSCF) atau 1,5 persen dunia, sebenarnya bukan negara yang kaya sumber daya gas bumi. Namun dalam tiga skenario pasokan dan kebutuhan dalam Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027 —disusun oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)— secara umum neraca gas nasional masih “aman”. Surplus gas sampai 2024.
Dari sisi produksi, Indonesia dengan cadangan gas 142,72 triliun standar kaki kubik (TSCF) atau 1,5 persen dunia, sebenarnya bukan negara yang kaya sumber daya gas bumi.
Proyeksi lifting gas bumi bakal berfluktuasi, yaitu 7,452 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2018 dan mencapai puncaknya tahun 2022 sebesar 8,661 MMSCFD kemudian turun menjadi 8,048 MMSCFD tahun 2027.
Namun, masih ada tantangan berupa infrastruktur jaringan yang belum memadai dan juga keterbatasan anggaran negara untuk investasi pembangunan jaringan gas. Sebagian cadangan gas bumi berada di wilayah Timur Indonesia, sementara konsumen terbesar di bagian Barat. Mahalnya gas dipengaruhi oleh kebijakan biaya transportasi gas (tol fee), buah dari tidak terbangunnya infrastruktur gas.
Dari kebutuhan 15 ribu km, jaringan gas yang tersedia saat ini baru sekira 9.300 km. Tanpa jaringan transmisi dan distribusi, gas harus diubah menjadi cair sebelum dipindahkan lintas pulau. Muncul biaya tinggi untuk regasifikasi dan memindahkan gas antar pulau, menjadikan harga jual gas tidak bisa murah. Gas bumi yang memadai tidak akan berarti jika infrastruktur tidak mencukupi.
Pemerintah mengharapkan pendanaan pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi berasal dari APBN, APBD, dan investasi swasta. Kementerian ESDM mengusulkan dana APBN Rp 3,2 triliun pada tahun 2020 untuk pembangunan infrastruktur gas. Sementara pihak swasta terkendala tingkat keekonomian proyek, sehingga swasta enggan terlibat. Praktis hanya PGN, sebagai sub holding migas, yang mengambil peran.
Realitas saat ini, penetapan rerata harga tertimbang secara nasional akan menjadi timpang karena perbedaan biaya dari setiap wilayah, terkait nilai investasi infrastruktur yang sangat tergantung medan dan kebutuhan serta biaya operasional yang juga sangat tergantung wilayah dan besaran investasi.
Jalan keluar
Mengingat harga gas industri menjadi salah satu komponen penting bagi daya saing industri di Indonesia, sudah sewajarnya upaya menjaga stabilitas harga dan pasokan gas untuk industri harus dipikirkan matang. Hanya saja, tentunya opsi yang diambil nantinya harus menimbang secara komprehensif konsekuensi pada pelbagai pihak. Jangan sampai niat untuk mendongkrak kinerja satu sektor justru menambah beban pada sektor yang lain.
Pemerintah sudah menyatakan tiga opsi yang bisa diambil, satu di antaranya kecil peluang untuk dilaksanakan. Namun, opsi pertama dengan pengurangan porsi pemerintah hasil kegiatan KKKS, di mana pemerintah bisa memperoleh 2,2 dollar AS per MMBTU, juga bakal riskan.
Jangan sampai niat untuk mendongkrak kinerja satu sektor justru menambah beban pada sektor yang lain.
Ketika ada pos penerimaan negara yang berkurang, harus dipastikan pos penerimaan baru yang menjadi penambal. Benarkah pengurangan itu bakal berimbas seketika pada penurunan harga gas dan ada imbal balik kontribusi industri yang menikmati harga gas lebih murah itu?
Penurunan harga gas untuk industri akan meningkatkan laba, sehingga meningkatkan pula pendapatan negara dari pajak. Namun, penerimaan tambahan pajak diperkirakan tidak lebih besar dari penerimaan negara 2.2 dollar AS per MMBTU.
Kebijakan DMO untuk gas bumi sebagaimana terjadi pada batubara adalah pilihan yang lebih rasional saat ini. Kebijakan DMO gas bumi bisa menghambat impor yang tentunya bakal menekan neraca transaksi berjalan. Kebijakan DMO juga akan menjaga pertumbuhan industri nasional, dengan memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan dalam jangka panjang, yakni pemerintah dan investor hulu.
Daya serap hasil produksi gas bumi nasional akan lebih optimal yang akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tambahan lagi, perhitungan ulang harga gas bumi akan membuat investasi di hulu semakin menarik, meliputi setidaknya sisi penetapan harga, formula yang menetapkan cost structure, ataupun elemen lain dalam perhitungan seperti tingkat IRR yang sesuai cost of capital.
Pilihan rasional
Kebijakan DMO untuk gas bumi sebagaimana terjadi pada batubara adalah pilihan yang lebih rasional saat ini.
Paket kebijakan DMO meliputi volume dalam prosentase produksi, disalurkan kepada industri apa, serta harga yang ditetapkan baik hulu maupun hilir, sehingga kebijakan pemerintah atas gas dan industri berada dalam satu paket. Produksi dan niaga gas di luar DMO setelah memperhitungkan bagian pemerintah sepenuhnya diserahkan kepada pasar.
Dengan Paket Kebijakan DMO tersebut, PGN selaku pengusaha gas nasional merupakan public service obligation (PSO) pemerintah. Di luar DMO sepenuhnya bisnis murni. Sedangkan bagi pemerintah paket kebijakan DMO menjadi jelas, terukur dan merupakan trade off antara penerimaan bagian pemerintah, harga yang ditetapkan serta volume yang diberikan. Dengan demikian baik pemerintah maupun PGN memiliki tolok ukur yang jelas, transparan dan akuntabel.
Dengan Paket Kebijakan DMO tersebut, PGN selaku pengusaha gas nasional merupakan public service obligation (PSO) pemerintah.
Berikutnya, dengan pasokan terjamin dengan harga yang kompetitif, semestinya tidak ada celah bagi pelaku industri pengguna gas berdalih tidak mampu bersaing gara-gara harga gas yang tinggi.
Bagi sektor industri dengan komposisi konsumsi gas yang besar, harga gas tentu menjadi faktor determinan. Namun, bagi sektor industri lain —di mana gas bukanlah bahan baku utama— tentunya ada faktor yang perlu digenjot untuk meningkatkan efisiensi operasi dan optimalisasi investasi.
Tanpa semua itu, keluhan soal ketidakmampuan industri bersaing di pasar akan terus bermunculan.
(Agus Pambagio Pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen dari PH& H Public Policy Interest Group)