Sinyal Kuat Defisit Gula
Idealnya memang ada semacam sugar board yang menyusun kebijakan gula yang terintegrasi. Tugasnya antara lain merumuskan sugar fund, revitalisasi PG, pembangunan PG baru, kredit petani, serta jaminan harga bagi petani.
Eskalasi harga barang kebutuhan pokok adalah fenomena biasa sejak harga diserahkan pada mekanisme pasar. Melesatnya harga hingga di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah lebih merupakan konsekuensi logis manajemen stok.
Harga otomatis naik saat jumlah barang yang ditawarkan jauh lebih sedikit dibanding permintaan pasar. Sebaliknya begitu stok berlebih, harga akan terseret ke bawah, bahkan hingga di bawah harga pokok produksi (unit cost).
Karena menyangkut bahan kebutuhan pokok, pemerintah wajib menjaga agar tercapai keseimbangan ketersediaan dan permintaan. Harga terjangkau konsumen, dan produsen pun mendapat keuntungan wajar.
Melesatnya harga hingga di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah lebih merupakan konsekuensi logis manajemen stok.
Fakta empiris meroketnya harga gula sejak awal 2020 telah mengirim sinyal kuat kemungkinan terjadinya defisit gula. Yang paling mencolok ialah kebutuhan gula konsumsi (plantation white sugar) untuk keperluan langsung masyarakat. Kebutuhan gula ini diperkirakan 22,82 juta ton setahun atau rata-rata 235.000 ton sebulan.
Bila produksi dari hasil penggilingan tebu oleh semua pabrik gula (PG) di Indonesia tahun lalu hanya 2,22 juta, semua pihak dapat menghitung kekurangannya sebesar selisih konsumsi terhadap produksi ditambah stok penyangga (buffer stock) selama sebulan.
Insentif ekonomi
Proyeksi tentang produksi gula selama ini jauh panggang dari api. Tidak mengherankan kalau perencanaan pengadaan kekurangannya melalui impor cenderung kurang akurat. Meskipun peran luar Jawa, khususnya Lampung, dalam sistem produksi terus meningkat, Jawa masih memberikan kontribusi signifikan.
PG-PG di Jawa umumnya tidak memiliki tebu sendiri. Tanpa kemandirian dalam penyediaan bahan baku, mereka harus bermitra dengan para petani tebu. Fluktuasi areal dan jumlah tebu tergiling jadi refleksi profitabilitas petani, sementara profitabilitas PG dari produktivitas dan harga.
Melalui pembatasan harga, pemerintah dapat melecut daya saing usaha tani tebu melalui agro-ekoteknologi plus kapabilitas PG menerapkan good maufacturing process.
Harapan swasembada gula tinggal harapan sejalan ketidakberdayaan petani dan PG mereformulasikan arah swasembada. Semakin banyak PG kekurangan tebu sehingga terpaksa beroperasi pada kondisi merugi, bahkan sebagian harus tutup. Kondisi ini ditengarai bakal bertambah tanpa perubahan sistem dan kelembagaan.
Semakin banyak PG kekurangan tebu sehingga terpaksa beroperasi pada kondisi merugi, bahkan sebagian harus tutup.
Untuk menutup defisit tampaknya tidak ada cara lain kecuali mengimpor gula kristal mentah (raw sugar) dengan harapan dapat diolah PG berbasis tebu selama masa giling atau panen raya tebu. Jumlah impor raw sugar mengikuti perolehan jumlah tebu. Dengan kata lain, semakin banyak tebu digiling, semakin besar kuota impor raw sugar. Cara tersebut mungkin akan lebih adil agar semua PG berupaya keras mengembangkan tebu di wilayah binaan.
Proteksi terhadap PG melalui jalur ini berpotensi mengatasi idle capacity dan atau optimalisasi kapasitas tanpa harus menambah biaya operasional. Pengolahan berlangsung selama masa giling karena menjadi beban kalau pengolahan raw sugar di luar masa giling.
Selain PG tidak didesain berbahan baku raw sugar, biaya angkut dari pelabuhan ke lokasi PG perlu dikalkulasi lebih cermat. Kalau PG tetap tidak mampu bersaing, terutama terhadap gula impor dengan harga yang terdistorsi akibat liberalisasi perdagangan gula dunia yang tidak fair, upaya dapat ditunda sambil menyiapkan skema penataan ulang PG agar berdaya saing tinggi dengan konsideransi daya dukung wilayah dan kelayakan ekonomi.
Tidak mudah mencari solusi atas ketidakberdayaan PG menghadapi perubahan. Diperlukan kompetensi mendesain penyesuaian struktural, adaptasi, dan ketajaman intuisi. Yang jelas, sampai kapan pun harga yang menarik bagi petani tetaplah motivator terbaik di tengah makin banyaknya opsi komoditas usaha tani dengan umur panen tak lebih empat bulan, sementara tebu perlu setahun.
Simalakama ini tidak juga menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa kenaikan harga gula berapa pun besarnya tidaklah berdampak signifikan terhadap pengeluaran rumah tangga. Ini karena konsumsi gula relatif kecil, hanya 11 kilogram per kapita per tahun.
Tantangan dalam industri tampaknya juga semakin kompleks dan dilematis dengan berbagai format baru atas nama perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tuntutan dunia kesehatan. Tentu semuanya harus direkonstruksi dalam format PG sebagai industri ramah lingkungan.
Tidak mudah mencari solusi atas ketidakberdayaan PG menghadapi perubahan.
Media pembelajaran
Defisit gula berpotensi membingungkan otoritas perdagangan selaku penerbit izin impor dan pengendali stabilisasi harga. Impor berbentuk raw sugar untuk diolah dalam negeri dengan harapan nilai tambahnya ada di Indonesia tak mungkin dalam waktu dekat.
Masa kritis kelangkaan gula diperkirakan medio April sampai medio Juni, menjelang dimulainya giling sebagian besar PG di Jawa. Dalam periode itu ada bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang pasti diikuti membengkaknya kebutuhan gula.
PG-PG di Lampung mulai giling April, tetapi produksi belum terlalu banyak. Sementara impor gula konsumsi akan memunculkan kritik terhadap kekurangcermatan kalkulasi stok awal 2020 meskipun sudah tahu angka pasti produksi 2019.
Dari sejumlah skenario tampaknya impor gula konsumsi merupakan opsi paling rasional kendati tidak populer. Keterbatasan waktu menjadi faktor pembatas. Ke depan, kondisi demikian tentu tidak dapat dibiarkan jadi bola liar.
Saat kondisi normal atau terencana dengan basis data yang benar, impor gula konsumsi sebaiknya berbentuk raw sugar untuk diprioritaskan pengolahannya selama masa giling. Tentu dengan kuota yang adil berdasarkan perolehan tebu.
Tidak perlu malu kalau angka produksi gula 2021 ditampilkan apa adanya sehingga bisa membantu perencanaan impor secara akuntabel. Yang diperlukan selanjutnya justru keterpaduan program antara kementerian dan instansi untuk bersama-sama membangun kembali industri gula.
Yang diperlukan selanjutnya justru keterpaduan program antara kementerian dan instansi untuk bersama-sama membangun kembali industri gula.
Idealnya memang ada semacam sugar board yang menyusun kebijakan gula yang terintegrasi. Tugasnya antara lain merumuskan sugar fund, revitalisasi PG, pembangunan PG baru, kredit petani, jaminan harga bagi petani, lobi-lobi ekonomi, pengembangan industri hilir, dan diplomasi ekonomi.
(Adig Suwandi Praktisi Agribisnis; Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)