BUMN di Tangan Erick
Depolitisasi diperlukan BUMN yang kerap dipersepsikan pendukung kekuasaan politik. Oleh karena itu maka tak boleh lagi ada campur tangan atau pun gangguan dari kekuasaan politik terhadap jalannya perseroan negara.
Mengikuti perkembangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semenjak didirikannya Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN di Kabinet Pembangunan VII pada 14 Maret 1998, saya teringat pertemuan saya dengan Presiden Soeharto usai ia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 15 Januari 1998.
Saat itu, IMF menjanjikan untuk memberikan pinjaman siaga (standby loan) 43 miliar dollar AS. Seusai acara penandatanganan itu, Soeharto tampil di televisi dan, tanpa teks, berkata kepada bangsa ini: “Jangan khawatir dengan utang. Kita masih punya banyak BUMN yang bisa didayagunakan untuk membayar utang-utang itu.”
Berselang beberapa hari kemudian, Soeharto memanggil saya untuk membicarakan upaya pendayagunaan BUMN yang ia maksudkan. Saat itu pula ia meminta pendapat tentang apa yang mesti dilakukan agar BUMN kita dapat diberdayakan untuk membayar utang.
Seusai acara penandatanganan itu, Soeharto tampil di televisi dan, tanpa teks, berkata kepada bangsa ini: “Jangan khawatir dengan utang.
Saya kemudian mengajukan gagasan yang kemudian menjadi peta jalan (road map) BUMN untuk 10 tahun ke depan. Gagasan itu disetujui Presiden dan sempat dipresentasikan di DPR. Intisari gagasan itu adalah melepaskan BUMN di bawah pembinaan dari 17 menteri teknis. Dengan demikian maka BUMN akan dikelola secara korporasi untuk menciptakan nilai (value creation).
Peta jalan BUMN 1998
Kemudian langkah berikutnya agar BUMN menjadi penopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus mengatasi krisis adalah melakukan tiga langkah strategis yaitu restrukturisasi, profitisasi, kemudian baru privatisasi.
Perlu dicatat bahwa pada saat itu IMF mendesak agar BUMN dijual kepada swasta sehingga penerimaan (revenue)-nya dapat dipakai untuk menutup defisit APBN. Tentunya saya tidak setuju karena saya menempuh strategi profitisasi dulu melalui restrukturisasi.
Restrukturisasi diperlukan untuk membenahi struktur organisasi BUMN agar BUMN dinakhodai oleh para profesional yang mumpuni sehingga dapat bekerja secara lincah dengan budaya korporasi dan bukan budaya birokrasi.
Selanjutnya dibutuhkan konsolidasi menuju struktur holding agar BUMN memiliki kekuatan (power) sekaligus meningkatkan efisiensi menuju profitisasi. Profitisasi diperlukan sebagai strategi agar BUMN ditingkatkan dulu nilainya sehingga menghasilkan profit.
Contohnya, restruksturisasi utang dan manajemen Garuda dan merger empat bank menjadi Bank Mandiri. Baru kemudian jual sebagian sahamnya untuk membayar utang-utang itu. Tujuan awalnya demikian. Untuk maksud itu maka dalam peta jalan yang saya ajukan itu sudah terdapat rencana jangka menengah (2000-2010) yang mencakup pengelompokan BUMN sesuai sektornya. Ini yang dinamakan sektoral holding.
Profitisasi diperlukan sebagai strategi agar BUMN ditingkatkan dulu nilainya sehingga menghasilkan profit.
Pada gilirannya, setelah sektoral holding terbentuk (saat itu direncanakan akan dibentuk sepuluh holding), maka sektoral holding ini akan bekerja di bawah satu payung induk holding yang dinamakan Indonesia Incorporated. Namun keputusan politik Presiden Soeharto adalah membentuk Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN yang saya pimpin. Selagi ada kementerian tentunya tidak diperlukan model Indonesia Incorporated yang sering disebut juga sebagai super holding.
Sejak itu pula saya menyadari, bahkan mengusulkan, bahwa ada tiga hal penting yang mesti dilakukan, yaitu debirokratisasi, depolitisasi, dan de-link. Debirokratisasi dimaksudkan untuk mengganti budaya birokrasi dengan budaya korporasi termasuk struktur manajemennya. Dengan begitu maka BUMN dapat secara leluasa bekerja dan diperlakukan sebagai perseroan, bukan sebagai organ bisnis dari birokrasi.
Depolitisasi diperlukan karena sejak lama BUMN dipersepsikan di masyarakat sebagai pendukung kekuasaan politik. Oleh karena itu maka tak boleh lagi ada campur tangan atau pun gangguan dari kekuasaan politik terhadap jalannya perseroan-perseroan milik negara. Sebab ketika kekuasaan politik mengintervensi atau berselingkuh dengan perseroan, maka BUMN tak mungkin dapat bekerja sebagaimana layaknya suatu perseroan yang sehat.
Sulit lepas dari politisasi
De-link sangat dibutuhkan karena ketika kekayaan negara yang dipisahkan sebagai aset dan modal BUMN itu masih juga tunduk kepada Undang-Undang Keuangan Negara, maka BUMN akan mempunyai loyalitas ganda sehingga tak akan mampu bekerja dengan budaya korporasi penuh. Konsekuensinya BUMN tidak akan berani mengambil langkah-langkah korporasi untuk pengembangan badan usaha itu sendiri. Karena tidak dapat menggunakan Business Judgement Rule dalam melakukan aksi korporasi.
Angin segar bagi manajemen BUMN dengan dibebaskannya mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustian oleh Mahkamah Agung yang menggunakan Business Judgement Rule. Ini adalah preseden yang bagus untuk kemajuan BUMN kita.
Sejak itu pula saya menyadari, bahkan mengusulkan, bahwa ada tiga hal penting yang mesti dilakukan, yaitu debirokratisasi, depolitisasi, dan de-link.
Setelah Soeharto lengser dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie, maka peta jalan yang berupa cetak biru (blue print) itu tuntas diselesaikan oleh lima konsultan internasional yang merupakan warisan dari pemerintahan Habibie kepada pemerintahan berikutnya.
Yang menjadi masalah adalah eksekusi dari peta jalan ini tidak berjalan mulus, bahkan stagnan, karena sering terjadi pergantian pada pucuk pimpinan kementerian BUMN. Semua menteri BUMN sejak terbentuk kementerian ini menjabat paling lama dua setengah tahun.
Baru di era Rini Soemarno kursi menteri BUMN tidak tergoyangkan sampai selesai masa jabatannya. Rini yang memahami betul pentingnya melakukan sektoral holding yang saya canangkan sejak 1998 itu mulai mengambil sejumlah langkah strategis guna melakukan apa yang ingin ia wujudkan sebagai super holding.
Strategi Rini sebetulnya sejalan dengan konsep Indonesia Incorporated itu. Ia mampu melakukan terobosan seperti pembentukan holding bidang energi dan pertambangan yang sangat strategis; di samping persiapan holdingisasi BUMN lain melalui sinergi BUMN.
Masih perlu pembenahan
Rini kemudian diganti oleh Erick Thohir yang kini menakhodai perusahaan-perusahaan pelat merah kita. Di era Erick Thohir ini belum jelas betul arah yang ingin ia tuju dan strategi yang jelas serta prioritas yang harus ditempuhnya. Erick memulai jabatannya dengan sambutan beberapa BUMN yang bermasalah, di antaranya Garuda Indonesia, Krakatau Steel, Jiwasraya dan bahkan PTPN.
Pengamatan saya, Erick lebih fokus untuk memperkuat masing-masing BUMN di bisnis inti (core business)-nya. Ini sudah tepat sebagai langkah prioritas, namun masih banyak masalah lain termasuk penggantian direksi BUMN. Singkatnya, Erick Thohir masih perlu berbenah terlebih dahulu.
Di era Erick Thohir ini belum jelas betul arah yang ingin ia tuju dan strategi yang jelas serta prioritas yang harus ditempuhnya.
Kementerian BUMN yang awalnya terserempet oleh pengaruh birokrasi dan politik dihadirkan sebagai trigger mechanism untuk mendayagunakan perusahaan negara demi penciptaan nilai dan penciptaan kekuatan penyeimbang kekuatan para pelaku ekonomi lainnya. Namun BUMN sering diperlakukan sebagai perpanjangan tangan dari birokrasi dan kekuasaan politik di bidang bisnis. Inilah tantangan yang perlu dicarikan solusinya.
Sebab, selama masih ada intervensi birokrasi dan politik, sulit bagi BUMN kita untuk bisa berkembang secara optimal sebagai korporasi yang tidak saja mampu menopang APBN dan pertumbuhan ekonomi tetapi juga dapat menyisihkan hasil nilai tambah untuk membayar utang negara yang semakin membengkak.
Oleh karena, itu maka rumusan yang saya usulkan untuk mencapai cita-cita ini adalah melakukan debirokratisasi, depolitisasi dan de-link aset negara pada BUMN kita. Inilah tantangan yang harus diperhitungkan oleh Erick Thohir, menteri BUMN yang kesembilan, dalam mengelola peta jalan BUMN ke depannya.
(Tanri Abeng Menteri BUMN pertama (1998-1999))