
Sungguh memilukan membaca kisah eks pengungsi Timor Timur yang kini hidup merana di tanah air pilihannya (Kompas, 24 Februari 2020). Hebatnya, mereka tidak pernah menyesal dengan pilihan itu.
Tahun 1999 mereka memilih bergabung dengan Indonesia ketika kubu pro integrasi kalah dalam penentuan pendapat. Maka, mereka pun harus meninggalkan tanah kelahirannya di Timtim.
Hal ini sangat berkebalikan dengan para teroris pelintas batas (foreign terrorist fighters) eks WNI eks anggota NIIS yang konon minta dipulangkan ke Indonesia. Mereka pergi atas kemauan sendiri, membakar paspor Indonesia miliknya, dan sudah bersumpah setia kepada NIIS. Syukurlah pemerintah telah memutuskan menolak pemulangan itu. Lupakan saja para pengkhianat bangsa itu.
Kini, pada tahun bertema keadilan sosial dan setiap 20 Februari diperingati sebagai Hari Keadilan Sosial Dunia, mari kita dukung pemerintah untuk memanusiawikan para pengungsi eks Timor Timur dengan memberi perhatian yang bisa membantu memperbaiki kesejahteraan saudara-saudara kita itu.
Mereka sudah membuktikan diri sebagai warga negara yang setia. Sudah selayaknya mereka mendapat keadilan distributif: adil dalam pembagian sumber daya masyarakat kepada individu sesuai peran dan sumbangan masing-masing. Mereka layak mendapat penghargaan atas kesetiaannya pada NKRI.
Renville Almatsier
Jalan KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan, 15411
Dana Reboisasi
Pada era 80-an, salah satu pendapatan negara dari kawasan hutan dikenal sebagai dana reboisasi atau DR. Dana ini dipungut berdasarkan besarnya kubik kayu yang dikeluarkan dari hutan alam dikalikan tarif per kubik.
Mengingat kayu gelondongan yang dikeluarkan dari hutan alam langsung diekspor, maka tarif yang dikenakan pada saat itu mencapai 4 dollar AS per kubik.
Bonanza kayu ini sempat dinikmati selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru. Bahkan, pemasukan negara dari hutan ini digunakan sebagai dana cadangan untuk kepentingan darurat. Misalnya, menambah dana segar bagi industri penerbangan nasional (IPTN) dan dana pinjaman lunak untuk membangun hutan tanaman industri.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 35 Ayat (1) dalam penjelasannya menyatakan bahwa dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
Dana tersebut hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. Sebelum menjadi penerimaan negara bukan pajak seperti sekarang, DR masuk rekening khusus Menteri Kehutanan.
Dana Reboisasi merupakan salah satu pemasukan negara yang jumlahnya cukup besar. Sebagai contoh, Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalteng—yang membuka hutan dengan tebang habis digunakan untuk lahan sawah tanaman padi. Kayu yang keluar kena tarif DR.
Jika rata-rata potensi kayu dihitung 25 meter kubik per hektar, kayu yang dapat diperoleh dari PLG 25 juta meter kubik. Maka, dana DR yang dapat dipungut dari PLG adalah 200 juta dollar AS (asumsi tarif DR saat itu 8 dollar AS per meter kubik).
Tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan meningkat sekitar 600 unit dengan areal hutan lebih dari 64 juta hektar.
Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional. Sumbangan itu, 70 persen berasal dari DR senilai 6,3 miliar dollar AS.
Seiring moratorium hutan alam, kejayaan bonanza kayu telah berlalu. Devisa negara tidak lagi mengandalkan dari sumber daya hutan, apalagi minyak bumi.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor